DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Rabu, 23 Maret 2016

TABU NIKAH PADA MASYARAKAT ONJE-CIPAKU DI PURBALINGGA MARITAL TABOOS AMONG ONJE-CIPAKU COMMUNITY IN PURBALINGGA


ABSTRAK

This study aims at discovering (1) the variety of socio-cultural backgrounds in the rural community of Onje, (2) the social conflicts which the community experienced leading to the marital taboos, and (3) the symbolic meanings of the taboos remaining to work at present. The study employs the historical method combined with the folklore and philological method. The two latter methods are applied to provide the historical sources with the texts and folklores. Then, the historical method is taken to produce a historiography, i.e. the cultural history or the intellectual history in the local scope of Onje. The result of study shows that the marital taboos in the rural community of Onje suggests the socio-cultural phenomena rested upon the socio-political legitimacy. The marital taboos are inflicted by social conflicts, such as those manifested in incest marriage, social rivalry, and legitimate battle, in which the communities of Onje represent the troublemakers.

Kata kunci: tabu perkawinan, konflik sosial, pembuat gara-gara,
perkawianan incest, persaingan sosial, peperangan sah













PENDAHULUAN

Babad Onje adalah pencerminan sejarah masyarakat Onje dan sekitarnya. Onje yang kini masuk wilayah Kecamatan Mrebet, Purbalingga dikenal sebagai daerah kadipaten yang ditetapkan pada masa Pajang. Di bagian lain wilayah Purbalingga juga terdapat kadipaten lain, yaitu Wirasaba yang juga mengaku di bawah Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 203 kekuasaan raja Pajang tersebut. Kalau Wirasaba sejak awal, para adipatinya mengklaim sebagai keturunan Majapahit, maka Onje mengaku keturunan Pajang. Di samping dua kadipaten tadi, di Purbalingga juga ditemukan pusat Islamisasi yang  terdapat di wilayah Cahyana yang identik dengan wilayah Perdikan Cahyana. Perdikan tersebut ditetapkan oleh Sultan Demak yang kemudian diikuti dengan pernyataan yang sama oleh raja-raja sesudahnya, yakni Pajang dan Mataram (Hasselman 1887: 84-86). Eksistensi Perdikan Cahyana berkembang dari satu daerah perdikan menjadi dua puluh satu perdikan yang dihapuskan setelah Republik Indonesia merdeka (Hasselman 1887: 92-93). Uraian di atas menunjukkan bahwa masa kelampauan masyarakat Purbalingga selalu dihubungkan dengan ketiga pusat dengan urutan yang lebih tua, yaitu Wirasaba,
Cahyana, dan Onje. Masing-masing pusat itu memang ada gejala yang menyatakan bahwa mereka lebih berpengaruh dan tinggi kedudukannya daripada yang lain. Hal itu memang terkait dengan tujuan yang senantiasa dikumandangkan oleh setiap karya sejarah, baik tradisional maupun modern. Faktor legitimasi bagi kelampauan suatu lokalitas tentu sangat diperlukan agar mereka dapat tampil dan diakui di atas panggung sejarah. Tanpa adanya legitimasi tersebut, maka lokalitas tadi tidak dianggap eksistensinya, bahkan mungkin mereka dicemoohkan oleh lokalitas lain yang merasa dirinya lebih tinggi. Dahulu banyak lokalitas yang tidak mampu menunjukkan keberadaannya sehingga lokalitas itu dalam konteks lokalitas yang lain dianggap lebih rendah. Contohnya, Onje menurut teks Babad Onje dinyatakan sebagai daerah kadipaten yang di kemudian hari akan diperintah oleh Adipati Ore-ore. Namun, tokoh ini menurut teks Babad Purbalingga-Sokaraja disebut dengan nama Ki Ageng Ngorean yang kedudukannya lebih rendah daripada Bupati Purbalingga dan Bupati Sokaraja. Agar orang Onje tidak merasa dilecehkan, maka babad tersebut tidak menyebut Onje sebagai tempat tinggal Ki Ageng Ngorean, tetapi Kendhal Bolong (versi lain Kendhang Bolong) yang berada di wilayah Bobotsari. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide. Tujuan penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya, konflik-konflik sosial yang terjadi, dan makna simbolik tabu nikah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini ditempuh dengan metode sejarah yang dikombinasikan dengan metode filologi dan metode penelitian folklor. Metode filologi dan folklor dipakai disini karena kedua ilmu tersebut dimanfaatkan sebagai ilmu bantu dalam penelitian sejarah. Kedua metode tersebut dipakai untuk menyediakan data sejarah berupa naskah dan folklor. Sebelum data atau sumber itu siap pakai, maka kedua metode itu penting dilakukan. Metode filologi ditempuh karena sebagian data penelitiannya  adalah naskah (Sulastin-Sutrisno 1994: 65) yang meliputi enam, yaitu (1) inventarisasi naskah, (2) deskripsi naskah, (3) perbandingan teks, (4) dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi, (5) singkatan teks, dan (6) transliterasi naskah (Djamaris 1977: 23-24). Enam langkah tersebut merupakan kerja filologi yang harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan analisis teks. Penelitian ini tidak bermaksud untuk menerbitkan teks dengan edisi tertentu dan tidak berusaha memurnikan teks sebagaimana tujuan yang dicanangkan oleh filologi tradisional, melainkan versi dan variasi teks dihargai sebagai bentuk kreatif dari masing-masing penulis atau penyalin teks (Teeuw 1988: 270). Karena data-data lain yang dikumpulkan berbentuk folklor, metode pengumpulan folklor yang dikembangkan oleh Danandjaja (1985: 1-21) dapat diterapkan. Informan kunci yang harus ditemukan adalah para pewaris aktif folklore dan bukan para pewaris pasif folklor. Pewaris aktif pada umumnya adalah dalang, dukun bayi, tokoh masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang terpelajar dipedesaan. Teknik pencarian pewaris aktif tadi bisa dimulai dari seorang yang kemudian yang bersangkutan akan menunjuk orang-orang lain yang mungkin bisa member keterangan lebih lanjut mengenai folklor yang sedang dikumpulkan sehingga bagaikan
bola salju, lama-kelamaan peneliti dapat menemukan para pewaris aktif dalam jumlah yang banyak. Setelah para pewaris aktif ditemukan, dilakukan wawancara dengan dua cara, yaitu wawancara tidak terarah dan wawancara terarah (Danandjaja 1984:187). Selanjutnya, metode sejarah terdiri dari empat langkah, yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) Interpretasi (Penafsiran), dan (4) historiografi (Penulisan Sejarah) (Notosusanto 1978: 35-43: bdk. Gottschalk 1983: 34 dan Kuntowijoyo 1995: 89-105). Langkah heuristik (pengumpulan sumber) sudah dilakukan pada penelitian filologi. Begitu pula dengan langkah kritik yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern telah dilakukan ketika mendeskripsikan naskah, sedangkan kritik intern ketika melaksanakan kritik teks. Dengan demikian, telah didapatkan fakta yang berupa fakta mental atau kejiwaan (mentifact). Karena tujuan penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya, konflikkonflik sosial yang terjadi, dan makna simbolik tabu nikah, maka kritik teks lebih dipertajam sehingga interpretasi yang dihasilkan pada langkah yang ketiga ini lebih maksimal. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide. Oleh karena itu, pada langkah interpretasi terhadap fenomena sejarahnya, khususnya mentifact diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sosial-budaya masyarakat Purbalingga Banyumas karena karya historiografi tradisional sering cenderung mengaburkan dua macam realitas sejarah, yaitu realitas yang objektif terjadi dan realitas yang riil dalam diri. Yang pertama adalah fakta yang merupakan pengalaman yang aktual, sedangkan yang kedua adalah fakta yang berupa penghayatan kultural kolektif (Abdullah 1985: 22-23). Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 205 Penghayatan kultural kolektif menjadi penting manakala peneliti berusaha memahami makna karena setiap peristiwa itu selalu dimaknai oleh masyarakat sehingga terjalin menjadi pandangan dunia yang utuh (Abdullah 1985: 24). Pemaknaan terhadap suatu peristiwa itulah yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu realitas yang baru sehingga bisa terjadi perubahan bentuk (metamorfose) peristiwa, nilai, dan tokoh (Van Peursen 1990: 58). Selanjutnya, hasil interpretasi tersebut disajikan pada langkah terakhir, yakni historiografi berupa sejarah kebudayaan atau sejarah intelektual di tingkat lokal Purbalingga Banyumas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Orang Onje mengklaim dirinya keturunan langsung raja Pajang melalui putrid Menoreh yang sedang hamil empat bulan yang diserahkan kepada Ki Tepus Rumput (versi lain Syekh Maulana Maghribi). Pengakuan semacam ini penting bagi suatu pusat di lokalitas tertentu agar mereka beserta keturunannya dapat lebih eksis dan melewati masa kekuasaan yang panjang sehingga mereka akan bisa melegitimasikan diri sebagai penguasa lokalitas yang sah. Oleh karena itu, Babad Onje senantiasa menghubungkan diri dengan penguasa pusat yang lain seperti kadipaten Cipaku dan Medang (versi lain Pasirluhur), bahkan pusat kerajaan Jawa yang berkuasa pada masa itu sehingga nama-nama raja itu disebut secara berurutan seperti tampak pada teks Babad Onje, yaitu Sultan Pajang, Ki Ageng Mataram, Pangeran Sayidiyah Kemuning, Pangeran Sayidiyah Krapyak, Sultan Kuwasa, Suhunan Plered, Suhunan Mas, dan Suhunan Paku Buwana (Purwaningsih 1986: 20-21). Penyebutan rajaraja itu memang tidak konsisten, terutama nama dan gelarnya, bahkan nama
Mangkurat Amral tidak disebutkan. Tampaknya keberadaan raja-raja tersebut itu penting karena Susuhunan Mangkurat Mas atau Mangkurat III pernah mengambil gadis Onje sebagai salah seorang selirnya (Teeuw tt: 22). Teks Babad Tanah Jawi edisi Meinsma menyatakan bahwa Pangeran Adipati Anom yang sudah memiliki istri utama (raden ayu adipati) kehidupannya tidak akur dengan istrinya itu karena Adipati Anom mengambil dua orang selir, yaitu satu keturunan orang Kalang dan
yang lainnya berasal dari Onje (Olthof 1941: 247). Rupanya gadis Onje ini bisa merebut cinta kasih Adipati Anom sehingga statusnya dinaikkan menjadi garwa meskipun Raden Ayu dari Kapugeran itu terkenal kecantikannya. Namun, Raden Ayu akhirnya dikembalikan kepada ayahnya, yakni Pangeran Puger dan gadis Onje itu diangkat kedudukannya dengan nama Ratu Kencana (Olthof 1941: 250-262). Ketika Pangeran Puger menjadi raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwana I, Kadipaten Onje menurut teks Babad Onje itu berakhir. Keberakhiran Onje sebagai kadipaten kemudian statusnya menjadi desa perdikan dibawah kekuasaan Kiai Ngabehi Denok di Pamerden. Ki Pangulu Onje (Kiai Ngabdullah) ditetapkan sebagai orang yang mengurusi perdikan dengan wilayah Tuwanwisa, Pesawahan, dan Onje, serta berkewajiban memelihara makam leluhur di Onje dan mendirikan salat Jumat (Purwaningsih 1986: 21). Demikianlah sekilas gambaran Onje secara umum sebagaimana dilukiskan oleh teks Babad Onje. Teks tersebut, sebagai suatu karya sejarah masa lalu Onje, perlu dijelaskan keberadaannya karena teks tersebut masih eksis, baik dalam bentuk naskah, manuskrip, maupun tradisi lisan (folklor). Babad Onje yang disebut di atas adalah teks yang terkandung dalam naskah yang dimiliki atau tersimpan oleh S.Warnoto, seorang penduduk desa Onje yang secara tradisi berhak menyimpan naskah. Ia adalah kakak kepala desa Onje Soepono Adi Warsito yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Seseorang yang mempunyai dua orang anak laki-laki berhak menyimpan naskah Babad Onje tersebut (Purwaningsih 1986: 5). Naskah pegon yang berukuran 10,5 X 8,5 cm dan tebal 137 halaman (30 halaman di antaranya kosong) menyatakan judulnya Punika Serat Sejarah Babad Onje. Naskah tersebut setiap halamannya berisi 7 baris dengan teks berbahasa Jawa (Purwaningsih 1986:12). Babad Onje, sebagai produk kebudayaan, tampaknya merupakan teks yang menjelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal masyarakat Onje dengan segala pengaruh kekuasaan politiknya. Kesejarahan Onje diakui oleh kalangan yang lebih luas berkat hadirnya teks Babad Onje tersebut. Tanpa adanya teks Babad Onje, masyarakat yang hidup di lokasi tersebut tidak mengakui kehadiran Onje di tengah-tengah interaksi sosial. Hal itu berbeda dengan Cipaku yang dikenal sebagai rival Onje. Cipaku sebagai daerah kadipaten memang tidak disebut dalam teks Babad Onje sebagai daerah bagian Onje. Jadi, Cipaku berdiri sendiri sebagai kadipaten yang setara dengan Onje. Namun, Onje lebih menonjol karena mereka menghasilkan Babad Onje, sedangkan Cipaku tidak memiliki karya yang serupa untuk menunjukkan eksistensinya. Anehnya, masyarakat Cipaku justru menghasilkan naskah yang sejenis dengan Babad Onje, yaitu naskah yang berjudul Serat Sejarah Rupi Onje. Naskah tersebut merupakan koleksi Baruna, seorang yang menjabat sebagai Penatus Cipaku, Kecamatan Mrebet (Darmosoetopo, 1977). Kiranya naskah produk Cipaku tersebut adalah naskah salinan dari milik S. Warnoto. Istilah rupi yang dipakai mengisyaratkan adanya proses penyalinan langsung. Perbandingan teks diantara kedua naskah memang menunjukkan bahwa naskah yang kedua disalin dari naskah yang pertama. Berdasarkan naskah Cipaku, dapat dinyatakan bahwa pengaruh Babad Onje cukup meluas dan melewati batas-batas wilayah kadipaten atau perdikan Onje sebagaimana yang disebut di dalam teks tersebut, termasuk di antaranya adalah Cipaku. Bahkan, di kemudian hari teks Babad Onje dipakai sebagai suatu pengantar terhadap teks yang baru, yang berkaitan dengan keluarga para bupati Purbalingga sehingga teks Babad Purbalingga lahir. Kelahiran teks tersebut disebabkan adanya hubungan kekerabatan bupati Purbalingga dengan Onje melalui tokoh Arsantaka yang diyakini oleh penulis Babad Purbalingga bahwa tokoh Arsantaka adalah anak Adipati Onje, Ore-ore dengan Nyai Pingen, setelah kasus pembunuhan kedua orang istri sang adipati tersebut yang berasal dari Medang dan Cipaku. Ada fenomena yang menarik disini karena Babad Onje dipakai sebagai alat legitimasi yang baru. Babad Onje tidak lagi hanya sebagai alat pengesahan dan penegasan terhadap keberadaan masyarakat Onje pada masa lampau, tetapi juga sebagai legitimasi asalmula para bupati Purbalingga setelah ada dua orang keturunan Banyumas yang mengawali jabatan tersebut. Para bupati Purbalingga tampaknya lebih memilih Onje daripada dua pusat yang lain, yakni Cahyana dan Wirasaba. Wirasaba sebagai pusat yang lebih tua daripada Onje kelihatannya sudah dipakai oleh keturunan para bupati Banyumas sehingga Purbalingga merelakan diri untuk melepaskan hubungan psikologisnya dengan Wirasaba karena kedudukan Wirasaba lebih dekat dengan Banyumas daripada Purbalingga. Hal itu sudah disadari oleh Purbalingga sehingga mereka harus mencari pusat lain yang masih bebas dari klaim keluarga yang lain. Klaim orang Banyumas yang terlalu kuat terhadap Wirasaba membuat orang Purbalingga kehilangan. Padahal, Wirasaba sebagai pusat yang tertua keberadaannya sangat penting bagi Purbalingga, tetapi akibat klaim Banyumas, maka mereka mencoba melepaskan hubungan mereka dengan Wirasaba. Purbalingga menciptakan tokoh baru, yakni Arsantaka (Wangsantaka) dan Yudantaka sebagai penghubung Purbalingga dengan Onje meskipun hubungan itu diragukan. Untuk menyaingi Banyumas mereka menjelek-jelekkan dua orang tokoh Banyumas yang pernah berkuasa di Pamerden, yaitu Ngabehi Dipayuda I atau Dipayuda Seda Jenar dan Dipayuda II atau Dipayuda Seda Banda. Persaingan keluarga Arsantaka dengan keturunan Ngabehi Dipayuda I menyebabkan munculnya tabu nikah diantara keluarga tersebut yang dilontarkan dari pihak Ngabehi Dipayuda Seda Jenar karena keluarga tersebut merasa menjadi korban permainan ilmu hitam. Keluarga Arsantaka merasa kehadiran keluarga Dipayuda I bisa mengganggu kedudukan mereka. Ngabehi Dipayuda I sebagai adik Tumenggung Yudanegara III, bupati Banyumas disebut juga di dalam teks Babad Onje dengan nama Ngabehi Denok, sedangkan Dipayuda II sering disebut Dipayuda Gabug. Tokoh Dipayuda yang kedua ini adalah putra Tumenggung Yudanegara III yang di dalam teks Babad Banyumas disebut orang yang meninggal karena Seda Banda ‘terkena penyakit kelamin’ sehingga ia dikenal tidak meninggalkan keturunan yang pantas menggantikan kedudukannya. Justru yang menjadi penggantinya adalah Dipayuda III yang disebut berasal dari keturunan Demang Panggendolan, Arsantaka. Cukup jelas bahwa keturunan Banyumas atau lebih dekatnya keturunan Wirasaba di Purbalingga harus disingkirkan pengaruhnya agar nama Arsantaka lebih harum daripada keturunan Yudanegara III. Teks Babad Banyumas agaknya juga ikut mengharumkan nama Arsantaka yang dikatakan sebagai salah seorang demang yang cukup heroik dalam peristiwa Perang Mangkubumen. Ketika Ngabehi Dipayuda I dan beberapa demang gugur di medan perang, Arsantaka ini justru yang selamat dari cengkeraman maut, bahkan ia menjadi orang yang sangat berjasa karena ia berhasil menemukan jasad Ngabehi Dipayuda I yang diserahkan kepada kakaknya, yaitu Tumenggung Yudanegara III. Karena jasa-jasanya itu, anak Arsantaka yang bernama Arsayuda dijadikan patih untuk mendampingi Dipayuda II. Anak Arsantaka juga dijadikan menantu oleh Tumenggung Banyumas tersebut sehingga lengkaplah kedudukan Arsantaka dan putranya di Purbalingga. Namun, istri dari Banyumas itu tidak ditonjolkan meskipun kedudukannya lebih tinggi daripada Arsayuda sendiri. Penggeseran istri dari Banyumas itu dilakukan agar keturunan Banyumas tidak menonjol lagi di Purbalingga sebagaimana hal itu juga sudah dilakukan terhadap Dipayuda I dan Dipayuda II. Istri yang derajatnya lebih rendah yang berasal dari putri Kanduruan I Roma itu ditampilkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati Purbalingga selanjutnya. Dengan demikian, Purbalingga benar-benar berusaha dengan keras untuk menyingkirkan pengaruh Banyumas dan Wirasaba. Purbalingga sudah berhasil menampilkan Arsantaka dan Arsayuda sebagai cikal-bakal yang baru dengan menggeser Wirasaba sebagai pusat yang tertua. Dengan kata lain, Wirasaba tidak mempunyai makna kesejarahan dengan para bupati Purbalingga. Purbalingga hanya mengakui bahwa dahulu ada Wirasaba yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Bukateja. Onje lebih berarti kedudukan dan hubungan kesejarahannya daripada Wirasaba. Maka dari itu, Onje juga memerlukan klaim yang kuat dengan cara menghubungkan diri dengan beberapa keluarga sebagai bentuk interaksi sosial, yaitu dengan Cipaku, Medang, dan Arenan. Hubungan tersebut sangat mencolok sebagaimana dituturkan oleh folklor yang berasal dari lokalitas tersebut, yaitu para pewaris aktif folklor yang meliputi Go Tien Tjwan, kepala desa Mangunegaran, dan Sanurji (Penatus Onje). Ketiga versi folklor tersebut menyatakan adanya hubungan perkawinan antara Adipati Onje (Ore-ore menurut versi pertama dan kedua, sedangkan versi ketiga adalah Cakrakusuma) dengan putri dari ketiga kadipaten. Putri yang pertama dikenal dengan nama Pakuwati atau Dewi Pakuwati, putri Adipati Cipaku. Menurut ketiga orang penutur folklor tersebut, istri dari Cipaku inilah yang memberi keturunan kepada Adipati Ore-ore. Versi pertama dan ketiga menyebut ada lima orang anak yang tinggal di Tegal, Cirebon, Ciamis, Cilacap, dan Onje, sedangkan versi kedua menyebut enam orang yang tinggal di Gondokusuma, Cilacap, Cirebon, Tegalarum, Ciamis, dan Mangunegara. Ketiga versi sepakat bahwa istri yang kedua tidak memiliki keturunan. Namun, agaknya istri yang kedua tadi berasal dari kadipaten yang cukup dikenal dengan luas. Versi pertama menyatakan bahwa istri kedua itu berasal dari Medang atau Pasirluhur sehingga disebut nama dirinya, yaitu Dewi Medang. Versi kedua menyebut nama Kalinggawati yang berasal dari Keling, sedangkan versi ketiga hanya menyebut istri kedua berasal dari Kalingga. Di samping kawin dengan kedua putri tadi, Adipati Ore-ore juga menikah dengan putri Adipati Arenan yang secara sepakat disebutkan oleh ketiga orang sumber folklor, yaitu Nyi Pingen (versi pertama), Raden Ayu Pingen atau Paingan (versi kedua), atau Nyi Paingan (versi ketiga). Nama Pingen atau Paingan ini kiranya berpengaruh terhadap topografi lokal karena nama itu juga dipakai untuk nama sungai yang mengalir di sebelah selatan desa Onje yang membatasi desa itu dengan Cipaku (Tohirin 2001: 26). Dari istri yang ketiga inilah, Adipati Ore-ore mendapatkan dua orang anak laki-laki menurut versi pertama dan kedua, sedangkan versi ketiga tidak menyebutkan masalah tentang hal itu. Versi kedua menyatakan bahwa kedua anak lelaki itu adalah Wangsantaka (Arsantaka) yang tua dan Yudantaka yang muda. Versi pertama menyebut secara terbalik, yaitu Yudantaka yang tua yang tinggal di Kalimanah sebagai petani, sedangkan yang muda adalah Arsantaka yang menjadi pejabat demang di Panggendolan (wilayah Kabupaten Banjarnegara). Akibat dibunuhnya istri pertama dari Cipaku dan kedua dari Pasirluhur (atau Medang atau Kalingga), maka muncul reaksi yang cukup keras dari Cipaku. Pasirluhur tidak bereaksi seperti halnya Cipaku. Kemungkinan Pasirluhur tidak lagi mempersoalkan masalah pembunuhan itu lebih lanjut. Reaksi Cipaku inilah yang memunculkan adanya pantangan atau tabu nikah atau saling berbesanan antara Cipaku dengan Onje. Ketiga versi folklor sepakat dengan tabu tersebut, hanya ada tambahan yang perlu dijelaskan dari versi pertama dan kedua. Tambahan pada versi pertama menyatakan bahwa tabu itu tidak dimutlakkan, atau dengan kata lain tidak berlaku jika kedua desa itu mempunyai dua pasang kakak-beradik laki-laki dan perempuan atau silang laki-laki dan perempuan dengan perempuan dan laki-laki. Cara menghambarkan atau meniadakan tabu semacam itu disebut tambangan. Peniadaan tabu hanya disebut oleh versi yang pertama, sedangkan versi yang kedua justru menambahkan tabu, yaitu orang Onje tidak boleh mempunyai dua orang istri pada waktu yang bersamaan. Ketiga folklor di atas rupanya juga sepakat bahwa tabu nikah itu dinyatakan oleh Adipati Ore-ore dan bukan Adipati Cipaku (Balai Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 52-54). Kesaksian folklor mengenai tabu nikah memang tidak didukung oleh naskah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje yang sudah disebutkan di atas. Kedua teks tersebut memang ada kecenderungan untuk berbicara pada wilayah politis. Artinya, kedua teks itu menghindari penuturan yang memungkinkan adanya kesan yang buruk terhadap Adipati Onje karena kedua teks itu memang bertujuan untuk melegitimasikan penguasa Onje sebagai keturunan Sultan Pajang dan memegang hegemoni politik di Onje. Jadi, kesan baik yang harus selalu ditampilkan oleh kedua teks yang resmi, terutama Babad Onje yang amat dikeramatkan oleh masyarakat desa Onje. Untuk membaca teks Onje tersebut, maka orang harus memenuhi syarat tertentu dengan berbagai sesaji yang harus disiapkan. Sesaji itu meliputi tumpeng kuat, kelapa hijau, klepon, apam pasuk, kepok, gapitan kreweng, pepesan menir, dua biji pisang kluthuk, air teh, kopi pahit, dua buah rokok kemenyan, serta yang paling penting adalah ayam berbulu putih. Ayam putih setelah disembelih diambil sayap, hati, dan perut besarnya. Hati dipotong kecil-kecil, sayap bagian atas, dan ingkung disajikan bersama dengan tumpeng kuat (Balai Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 54). Upacara sesaji tersebut menjadi syarat seseorang itu bisa atau dibolehkan membaca teks Babad Onje. Penyakralan terhadap naskah Babad Onje di desa Onje inilah yang memungkinkan banyak orang yang berusaha menghafalkan teks tersebut dalam bentuk folklor atau ditulis kembali sebagaimana tampak pada kasus naskah Cipaku, Serat Sejarah Rupi Onje. Karena naskah disakralkan, maka Babad Onje tidak layak jika menuturkan peristiwa yang dianggap aib oleh keluarga. Bagaimanapun Dewi Cipaku yang diyakini memiliki keturunan dan mereka sebagai anak korban dan sekaligus pelaku tentu tidak sampai hati menceritakan aib ayah mereka sebagai seorang pembunuh. Di sisi lain, mereka juga akan selalu terkenang dan sedih jika peristiwa pembunuhan ibu mereka itu selalu diceritakan kembali secara terus-menerus. Penyakralan terhadap naskah Babad Onje bisa jadi merupakan upaya untuk menghapus kenangan pahit oleh keluarga atau keturunan Adipati Onje, khususnya yang dilahirkan dari Dewi Pakuwati. Namun, masyarakat umum masih mencatat dan mengenang peristiwa kelabu yang tidak bisa dilupakan itu sehingga diceritakan dari mulut ke mulut secara terus-menerus dan melahirkan folklor yang dikenal hingga sekarang. Ada folklor yang berkaitan dengan Onje yang sudah mengalami proses penulisan teks sehingga sekarang sudah menjadi naskah meskipun dengan judul yang menafikan Onje, yakni naskah Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga yang ditulis oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda. Naskah pertama ditulis pada tahun 1939, sedangkan naskah yang kedua pada tahun 1967. Meskipun ditulis oleh orang yang sama, yaitu A.M. Kartosoedirdjo ternyata kedua teksnya tidak sama persis. Isi Babad Purbalingga yang berisi masalah Onje adalah nomor 1-7, sedangkan isi Diktat Riwajat Purbalingga pada nomor 2-8. Selebihnya, baik teks yang pertama (nomor 8-11) maupun teks yang kedua (nomor 9-12) adalah tambahan yang menyebabkan teks Babad Onje berubah judul menjadi Babad Purbalingga atau Diktat Riwajat Purbalingga. Dengan kata lain, teks Babad Onje adalah teks pembuka bagi kedua teks yang baru tadi. Hubungan teks Babad Onje dengan teks yang baru itu dilukiskan oleh penulisnya, yakni A.M. Kartosoedirdjo karena para bupati Purbalingga itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan Onje meskipun agak dipaksakan bahwa seolah-olah para bupati itu keturunan Arsantaka dan Arsantaka adalah putra Adipati Ore-ore (Adipati Onje II) dengan putri dari Arenan,
Nyai Paingen atau Paingan. Untuk memperjelas garis besar di atas, maka perlu dibandingkan dengan kedua teks karya A.M. Kartosoedirdjo seperti tampak pada

Perbandingan Teks Babad Purbalingga dengan Diktat Riwajat Purbalingga
No. Teks Babad Purbalingga Diktat Riwajat Purbalingga
1. Nama Cincin Sasraludira Sasraludira
2. Kakek Tepus Rumput Kiai Kantharaga Embah Kantharaga
3. Cikal-bakal Ki Tepus Rumput Ki Tepus Rumput
4. Selir Sultan Pajang Putri Adipati Menoreh Kencana Wungu
5. Nama Adipati Onje Adipati Onje II Raden Ore-ore
6. Istri Adipati Onje 1. Putri Cipaku
2. Putri Medang
3. Nyai Pingen
1. Putri Pakuwati
2. Dewi Medang
3. Rara Pingen
7. Mertua Adipati Onje 1. Adipati Cipaku
2. Adipati Kandhadaha
3. Adipati Arenan
1. Adipati Cipaku
2. Adipati Kandhadaha
3. Kiai Singayuda (Arenan)
8. Anak (istri Cipaku) 1. Raden Cakrakusuma
2. Raden Mangunjaya
1. Mas Wangsarudin
2. Mas Tarudin
3. Mas Sutarudin
4. Mas Amirudin
9. Anak (istri Medang) 1. Putri (istri Sayid Abdullah)
2. Putri (istri Adipati Tegal)
1. Raden Mangunjaya
2. Raden Cakrakesuma
3. Dewi Banowati (istri Sayid Abdullah)
10 Anak (istri Arenan) 1. Arsantaka 1. Kiai Yudantaka
2. Kiai Arsantaka
11. Ayah Adipati Arenan -- Pangeran Makhdum Wali Prakosa
12. Cucu Adipati Onje Putri I Putri II dari istri Medang 1.Sutarudin
2.Ditarudin
3.Sabarudin
4.Samarudin
5.Wangsarudin Raja Namrut
13. Tabu Adipati Onje Orang Onje tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan diwayuh (dimadu) Orang Onje tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan diwayuh (dimadu)
14. Tabu Adipati Cipaku Keturunan Adipati Cipaku dilarang berbesanan dengan Onje Sampai kiamat keturunan Cipaku tidak boleh berbesanan dengan orang Onje yang jahat. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa tabu nikah itu berasal dari Adipati Cipaku yang merasa dirinya menjadi korban dari kejahatan Adipati Onje yang digolongkan olehnya sebagai orang jahat, sedangkan Adipati Onje sendiri juga menyatakan tabu bagi laki-laki Onje untuk memadu dua orang istri atau lebih dan perempuan Onje tidak boleh dimadu oleh suaminya. Tabu dari Adipati Onje ini berdasarkan pengalaman pahit dirinya. Tabu Adipati Onje juga ditemukan pada folklor yang dituturkan oleh pewaris aktif folklor yang berasal dari kepala desa Mangunegaran. Ketiga Sumber folklor di bawah ini sepakat bahwa tabu nikah berasal dari Adipati Onje dan bukan dari Adipati Cipaku seperti tampak pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Teks Folklor
No. Teks Go Tien Tjwan Mangunegaran Sanurji
1. Cikal-bakal Ki Tepus Rumput Syekh Maulana Maghribi
Syekh Maulana Maghribi (Adipati Ore-ore)
2. Nama Cincin Socaludira Sasraludira Cahyaningrat
3. Nama Adipati Onje Raden Ore-ore Raden Ore-ore Cakrakusuma
4. Istri Adipati Onje
1. Dewi Pakuwati
2. Dewi Medang
3. Nyi Pingen
1. Pakuwati
2. Kalinggawati
3. R.A. Pingen
1. Pakuwati
2. —
3. Nyi Paingan
5. Asal-usul istri Adipati Onje
1. Cipaku
2. Pasirluhur
3. Arenan
1. Cipaku
2. Keling
3. Arenan
1. Cipaku
2. Kalingga
3. Arenan
6. Anak Adipati Onje dari istri Cipaku (disebut tempat tinggalnya)
1.Tegal
2.Cirebon
3.Ciamis
4.Cilacap
5.Onje
1.Gondokusuma
2.Cilacap
3.Cirebon
4.Tegalarum
5.Ciamis
6.Mangunegaran
1.Tegal
2.Cirebon
3.Ciamis
4.Cilacap
5.Onje
7. Anak Adipati Onje dari istri Nyi Pingen
1.Yudantaka (Petani di Kalimanah)
2.Arsantaka (Demang Panggendolan)
1.Wangsataka (Arsantaka)
2.Yudantaka
--
8. Tabu Adipati Onje Cipaku dan Onje tidak boleh berbesanan, kecuali tambangan
1. Onje dan Cipaku dilarang berbesanan
2. Penduduk Onje dilarang berbini dua Onje dan Cipaku tidak boleh berbesanan
Tabel 1 dan 2 yang disajikan diatas menunjukkan bahwa teks Babad Onje itu eksis dalam bentuk folklor yang masih lisan dan folklor yang sudah tertulis. Folklor tentang Onje menggambarkan adanya gejala yang beranekaragam dalam menuturkan tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat Onje dan sekitarnya. Keanekaragaman Itu memang wajar karena folklor selalu disebarkan melalui media mulut yang mudah sekali berubah teksnya. Kiranya folklor Onje ini yang paling menonjol bertujuan untuk menyampaikan proyeksi keinginan yang terpendam sebagai alat legitimasi bagi masyarakat Onje bahwa desanya dahulu merupakan suatu kadipaten yang berwibawa sejak zaman Pajang hingga masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana I. Maka dari itu, teks yang terkandung dalam naskah Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje berusaha untuk memproyeksikan keinginan legitimasi tersebut dengan menyajikan 10 orang yang pernah menjadi penguasa Onje dan 9 orang di antaranya adalah turun-temurun 9 generasi. Agak aneh kiranya kedua teks di atas karena orang yang terakhir ternyata tidak sesuai dengan teks folklor. Kiai Yudantaka bukanlah nenek moyang penguasa Purbalingga yang berkedudukan sebagai bupati. Kedua teks tidak menyebut tokoh yang sangat penting, yaitu Arsantaka meskipun secara samar-samar pada bagian akhir menyebut putranya yang sudah disebut dengan nama Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan. Kadipaten Onje setelah berakhir statusnya dijadikan perdikan dengan wilayah yang meliputi Tuwanwisa (Tuwanwisesa), Pesawahan, dan Onje. Pengelolaan daerah perdikan diserahkan kepada Kiai Ngabdullah di Onje yang berkewajiban memelihara makam para leluhur Onje dan mendirikan salat Jumat. Perdikan Onje mengalami pengurangan dua wilayahnya, yaitu Tuwanwisesa dan Pesawahan. Akhirnya, perdikan Onje pun dikurangi lagi wilayahnya dan hanya sebatas Onje Pekauman saja. Hal itu menunjukkan bahwa Onje mengalami kemerosotan status dan kepemilikan wilayahnya. Ketika Kadipaten Onje berakhir, maka yang muncul adalah para penguasa Pamerden atau Pra-Purbalingga atau Pasca-Onje seperti yang disebutkan oleh kedua teks yang berasal dari naskah Onje dan Cipaku. Meskipun Arsantaka tidak disebutkan sebagai salah seorang yang pernah berkuasa di Onje, tetapi anaknya disebut sebagai penguasa Pamerden. Panggendolan meskipun terletak di luar wilayah Purbalingga, atau tepatnya di Banjarnegara, tetapi daerah itu sudah menjadi trademark bagi Arsantaka dan keturunannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan tidak disebutkannya Arsantaka pada naskah sakral tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Arsantaka itu diragukan eksistensinya ? Pertanyaan ini sulit karena pada teks-teks folklor, Yudantaka dikenal sebagai seorang petani yang tinggal di Kalimanah, sedangkan Arsantaka lebih senang menjadi pejabat daripada saudaranya itu sehingga ia dikenal dengan jabatan daerah lungguhnya, yakni Demang Panggendolan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa nama Arsantaka tercecer dari daftar silsilah karena ia tidak pernah menjadi penguasa Onje, tetapi ia hanyalah penguasa daerah perdikan seperti halnya Kiai Ngabdullah sepeninggal Yudantaka berkuasa. Jadi, ketika Yudantaka berakhir kedudukan sebagai penguasa Onje, ia tersingkir dan kemudian berpindah ke Kalimanah, sedangkan perdikan Onje diserahkan kepada Kiai Ngabdullah. Sementara itu, Arsantaka sudah terlanjur menjadi demang di Panggendolan. Menurut Kartosoedirdjo (1941: 19), teks Babad Purbalingga menyebutkan bahwa Arsantaka sebagai keturunan keempat atau buyut dari Kiai Ageng Gendhani yang tinggal di Bangkong Reyang (Banjarnegara) dekat Panggendolan melalui Kiai Barata dan Kiai Candrataka. Kiai Candrataka inilah ayah Kiai Arsantaka. Jika silsilah yang berasal dari Gumelem ini benar, maka Kiai Arsantaka itu tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Onje sebagaimana ia tidak disebut dalam teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje. Namun, karena Arsayuda mengalami mobilitas sosial dengan naiknya status sebagai ngabehi di Pamerden dan selanjutnya menjadi leluhur para bupati Purbalingga, diperlukan legitimasi yang menguatkan posisinya. Rupanya masalah perkawinan Arsayuda menjadi penting untuk dipersoalkan. Naskah Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas menyebutkan bahwa Arsayuda mempunyai dua orang istri utama, yaitu yang pertama adalah putri Tumenggung Yudanegara III dari Banyumas dan yang kedua adalah putri Tumenggung Kanduruan I Roma di Gombong. Istri utama kedua yang dikisahkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati Purbalingga (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo 1969: 91). Jadi, teks tersebut masih mengakui keturunan Banyumas karena Tumenggung Kanduruan I masih trah Banyumas. Lain halnya dengan Sasono dan Tri Atmo (1993: 62) yang menyatakan bahwa yang menurunkan para bupati adalah istri selir kedua yang berasal dari keturunan Pangeran Makhdum Wali Prakosa melalui Adipati Arenan, Kiai Singayuda, yaitu Nyai Tegal Pingen (Atmo 1984: 64). Kedua penulis itu kiranya memang berusaha menghapus eksistensi Banyumas sebagaimana diduga di muka. Nyai Tegal Pingen ini sesungguhnya tidak lain adalah Nyai Pingen yang disebutkan oleh A.M. Kartosoedirdjo (1969) dalam teks Diktat Riwajat Purbalingga sebagai istri yang ketiga Adipati Onje yang melahirkan dua orang anak laki-laki yang bernama Kiai Yudantaka dan Kiai Arsantaka. Jadi, ada kemungkinan bahwa kedua penulis kontemporer itu melakukan kesalahan kutip yang fatal atau barangkali memang ada unsur kesengajaan untuk menghapus trah Banyumas agar tidak tercampur dengan para bupati Purbalingga. Kedua penulis ini kiranya juga bermaksud untuk melegitimasikan para bupati Purbalingga sebagai keturunan orang penting dan berpengaruh di Perdikan Cahyana. Teks-teks Cahyana sendiri tidak pernah menjelaskan dalam silsilahnya bahwa Pangeran Makhdum Wali Prakosa mempunyai keturunan di luar Perdikan Cahyana yang bernama Kiai Singayuda. Intinya, kedua penulis tersebut mencoba membuat sensasi yang tidak didasarkan sumber yang cukup bisa dipertanggungjawabkan hanya untuk keperluan melegitimasikan anak Arsantaka yang merasa dirinya sudah besar karena mengalami kenaikan status atau mobilitas sosial.
Sehubungan dengan hal itu, status dan identitas Arsantaka itu kembali dimunculkan dengan adanya nama Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan, suatu nama yang sudah paten karena telah menggusur nama dua orang Dipayuda yang lain. Anak Arsantaka sesungguhnya adalah Arsayuda dan nama Dipayuda dipakai setelah mengganti Dipayuda sebelumnya yang disebut Dipayuda Seda Banda. Hal lain yang menarik adalah munculnya nama Cakrayuda yang berasal dari keturunan Toyamas atau Banyumas. Nama ini kurang dikenal dalam teks Babad Banyumas sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi tokoh peralihan dari Dipayuda Seda Banda ke Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan tersebut. Uraian diatas telah menjelaskan bahwa Onje memiliki hubungan kekerabatan yang cukup panjang dengan Purbalingga. Di samping berusaha untuk menonjolkan Onje sendiri di lokalitasnya, juga keluar dari wilayah Onje. Hal itu berarti bahwa Onje berkedudukan penting di tengah pusaran sejarah tradisional di Purbalingga sehingga Adipati Ore-ore menurut folklor itu identik dengan Kiai Adipati Anyakrapati menurut teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje, yang masih keturunan langsung atau anak biologis Sultan Pajang. Sebagai keturunan langsung seorang raja, Adipati Ore-ore layak memiliki sikap dirinya lebih tinggi kedudukannya daripada penguasa lokal di sekitarnya meskipun ia lahir hanya dari istri selir yang terbuang sehingga ketika lahir, ia hanya disebut sebagai anak tiri Ki Tepus Rumput. Pada hakikatnya, Adipati Ore-ore atau Adipati Anyakrapati telah mengalami mobilitas sosial menjadi adipati di lokalitas Onje. Keturunannya atau orang yang mengaku keturunannya memakai namanya sebagai alat legitimasi, termasuk di antaranya adalah Kiai Arsantaka dan Arsayuda. Namun, gejala aneh muncul ketika di tingkat lokal seorang tokoh keturunan Onje dilupakan, justru nama itu cukup berkibar di dalam teks Babad Tanah Jawi, yaitu Raja Namrut atau Namrud (Olthof 1941: 204 & 207). Raja Namrut dikenal sebagai tokoh pemberontak yang tinggal di Slinga (De Graaf & Pigeaud 1985: 64). Menurut folklor yang dicatat oleh Kartosoedirdjo (1941) bahwa Raja Namrut itu masih keturunan Adipati Onje dari istri Medang atau keturunan Adipati Pasirluhur, Kandhadaha. Selain itu, ia disebutkan sebagai anak Adipati Tegal meskipun nama ayahnya itu tidak diidentifikasikan namanya. Jadi, seandainya Raja Namrut menjadi pemberontak kepada Raja Mangkurat Amral, maka ia memang memiliki bibit keturunan seperti itu dari Pasirluhur (Adipati Thole) dan Adipati Tegal sesuai dengan semboyan bantheng loreng binoncengan yang menunjukkan bahwa orang Tegal bertabiat gagah berani seperti banteng dan bisa agak kasar seperti warna loreng jika diperlakukan tidak baik (Suputro 1959: 47). Jadi, pada intinya orang-orang Onje mempunyai sikap tinggi hati dan keras hati karena ia merasa masih keturunan raja Pajang sehingga muncul konflik dan rasa antipati dari pihak lain, yaitu Cipaku untuk kasus pembunuhan Putri Pakuwati dan keturunan Ngabehi Dipayuda Seda Jenar untuk kasus persaingan kekuasaan di Pamerden dengan permainan ilmu hitam. Jika orang Onje perangainya tinggi hati dan keras hati sebagaimana tampak pada karya babad mereka, maka bagaimana dengan orang Cipaku? Apakah orang Cipaku memiliki karakter yang sama dengan orang Onje? Seperti yang sudah dibicarakan di muka bahwa masyarakat Cipaku tidak menghasilkan karya sejarah sejenis babad yang bisa menjelaskan kedudukan mereka sebagai rival sehubungan dengan adanya pantangan atau tabu yang dinyatakan oleh Adipati Cipaku. Pernyataan Adipati Cipaku yang tertera dalam Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga menunjukkan bahwa tidak ada tawar-menawar lagi dengan tabu tersebut, bahkan sampai kiamat sekalipun. Jika Onje masih membolehkan dengan cara tambangan, yaitu saling tukar-menukar antara Cipaku dengan Onje berupa pasangan kakak beradik laki-laki dan perempuan dengan pasangan kakak beradik perempuan dan laki-laki. Atau, yang penting di dalam pernikahan itu masing-masing desa harus membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai mempelai yang akan dipertemukan di dalam acara pernikahan. Tambangan adalah suatu cara untuk sedikit membuat tawar terhadap tabu. Mengapa Adipati Cipaku begitu keras dalam menanggapi kasus pembunuhan putrinya oleh Adipati Onje ? Pertanyaan tadi sudah menunjukkan bahwa Adipati Cipaku juga orang yang berkarakter keras juga karena Putri Pakuwati adalah pihak yang dijadikan korban. Sikap Adipati Cipaku memang telah mengisyaratkan kemaskulinan daripada femininitas karena kata Cipaku itu identik dengan phallus atau lingga sebagai simbol kejantanan, sedangkan kata Onje berarti buah yang lebat (ngronje) yang menyimbolkan perempuan (Tohirin 2001: 25). Jika kata Onje dijadikan kata ulang, maka onje-onje berarti danawa bajang (Winter Sr. & Ranggawarsita 1988: 189) atau buta bajang atau raksasa kecil. Sementara itu, nama Pakuwati sudah menunjukkan adanya perpaduan antara simbol kejantanan dengan kesuburan, sebab kata paku identik dengan lingga dan kata vatin berarti tanah atau bumi. Jadi, perkawinan antara Adipati Onje dengan putri Cipaku itu tidak relevan dengan adat-istiadat yang berlaku. Tampaknya pada masa yang lalu, Onje adalah pihak pemberi wanita kepada laki-laki Cipaku dan bukan sebaliknya. Keharusan seperti itu menggambarkan bahwa ada sistem tukar-menukar perempuan di antara komunitas di sekitar Onje dan Cipaku dan hubungan yang jelas di antara mereka adalah Cipaku menjadi pihak penerima perempuan dari Onje. Pihak Onje akan menjadi pihak penerima perempuan dari desa atau daerah lain yang berdekatan sehingga terjadi saling tukar-menukar. Di situ, ada dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk memberi dan kewajiban untuk menerima (Mauss 1992: 15-17). Cipaku berkewajiban untuk memberi perempuan kepada pihak lain (bukan Onje) dan juga
berkewajiban untuk menerima perempuan dari pihak yang lain lagi (mungkin Onje). Kalau laki-laki Cipaku berkewajiban untuk menerima perempuan Onje itu bisa dilihat adanya tawaran cara tambangan agar kedua desa itu bisa saling memberi dan menerima perempuan. Hal itu kelihatannya dipakai untuk mengesahkan tindakan Adipati Onje yang tidak benar. Sumber folklor dari Cipaku menyatakan bahwa Adipati Cipaku menolak lamaran Adipati Onje terhadap putrinya (Tohirin 2001: 20). Penolakan ini jelas dimaksudkan agar rantai tukar-menukar yang sudah berlangsung tidak mengalami kerancuan dan kekacauan karena Onje harus menerima perempuan bukan dari Cipaku. Ada kemungkinan bahwa Onje harus menerima perempuan dari pihak Citrakusuma. Folklor Cipaku tersebut menjelaskan bahwa Adipati Onje melakukan tindakan yang berada di luar kebiasaan, yaitu mengambil Pakuwati dengan cara paksa dan melanggar adat (Tohirin 2001: 20). Sistem pertukaran yang berlaku pada masa itu terjadi karena jika laki-laki Onje menikahi perempuan Cipaku, maka status perkawinan mereka itu incest sehingga laki-laki Onje harus menerima perempuan dari pihak Citrakusuma. Peristiwa incest dalam suatu perkawinan itu terjadi bila pihak perempuan itu berkedudukan lebih tua daripada pihak laki-laki seperti anggapan orang Sunda selama ini kepada perempuan Jawa sehingga laki-laki Sunda tabu kawin dengan wanita Jawa. Kedudukan tua bagi perempuan Jawa dilihat dari sistem kekerabatannya pada masa lampau.Rupanya Cipaku memang berkedudukan lebih tua karena masyarakat Cipaku berasal dari masa yang lebih tua, yakni masa Hindu Buddha. Di Cipaku ditemukan situs kesejarahan berupa Prasasti Cipaku dan arca Ganesa. Prasasti Cipaku meskipun tulisan yang lain sudah kabur hurufnya, tetapi baris yang lain menyebut seorang tokoh yang memakai gelar Indrawardhaya Wikramadewa (Priyadi 2000a). Tokoh itu memang tidak jelas identitasnya, tetapi jika dilihat gaya tulisannya yang menunjukkan abad ke-8 dan 9 masehi, maka zaman itu bersamaan dengan eksistensi Wangsa Sailendra di Jawa Tengah. Hal itu diperkuat adanya Prasasti Bukateja yang menggunakan bahasa Melayu Kuna yang berbunyi ini padehanda Hawang Payangnan. Oleh Casparis, kalimat itu diterjemahkan dengan these (presumably the deposit of bhasma) are the corporeal remains of Hawang (title) Payangnan (name). Jadi, Hawang adalah gelar, sedangkan Payangnan adalah orang yang memiliki gelar tersebut (Casparis 1956: 208-209). Hawang Payangnan dimungkinkan adalah tokoh cikal-bakal yang mungkin setara dengan Dapunta Selendra (Priyadi 2000b) seperti yang disebut dalam Prasasti Sojomerto yang juga berbahasa Melayu Kuna (Boechari 1966: 243). Jika pengaruh Wangsa Sailendra itu sampai di Cipaku, maka nama Indrawardhaya Wikramadewa itu mungkin bisa diidentikkan dengan Raja Dharanindra yang bergelar vairivaravimardana dalam Prasasti Kelurak (782 masehi), atau Çailendraraja dalam Prasasti Kalasan (778 masehi), atau Çri Maharaja Çailendravamça yang memiliki gelar sarwarimadavimathana dalam Prasasti Ligor, atau Raja Yawabhumipala yang berasal dari Çailendravamçatilaka yang bergelar viravairimathana dalam Prasasti Nalanda (860 masehi) (Bosch 1975: 24). Jadi, Cipaku meskipun tidak menghasilkan karya babad, tetapi masyarakat mereka jauh lebih tua dan memiliki peristiwa kesejarahan yang mantap. Maka dari itu, masyarakat Cipaku itu wajar apabila mereka lebih bijaksana dan lebih sabar sebagaimana nama Indrawardhaya Wikramadewa dalam menghadapi pembelotan adat yang dilakukan Adipati Onje. Namun, ketika Adipati Onje membunuh Pakuwati, maka Adipati Cipaku berteriak lantang untuk menyatakan antipatinya. Hal itu juga sesuai dengan nama Indrawardhaya Wikramadewa yang mungkin bisa diartikan penggempur musuh dan menjadi pahlawan yang bijaksana bagi para dewa yang setara dengan gelar-gelar yang disandang oleh salah seorang raja dari keluarga Sailendra di atas.














SIMPULAN

Teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje merupakan teks yang berfungsi sebagai alat legitimasi politik terhadap keberadaan Onje pada masa lampau. Maka dari itu, naskah yang pertama disakralkan oleh masyarakat desa Onje. Siapa pun yang membaca teks tersebut harus melalui ritual penyembelihan ayam yang berbulu putih. Kedua teks di atas tidak pernah memberikan informasi mengenai tradisi tabu nikah di Onje dan Cipaku. Informasi tabu nikah ditemukan pada folklor yang sudah menjadi naskah (Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga) dan folklor yang masih berbentuk lisan seperti yang dituturkan oleh Go Tien Tjwan, kepala desa Mangunegaran, dan Sanurji. Dalam folklor lisan, tabu nikah selalu dinyatakan oleh Adipati Onje, padahal ia sendiri yang menjadi pelaku pembunuhan atau ia bukan berasal dari pihak korban. Sebaliknya, pada folklore yang sudah menjadi naskah, tabu nikah dinyatakan oleh Adipati Cipaku yang merasa dirinya dirugikan akibat terbunuhnya Dewi Pakuwati oleh Adipati Onje. Namun, disini ada tambahan tabu dari Adipati Onje yang menyatakan bahwa laki-laki Onje tidak boleh mayuh (memadu dua orang istri atau lebih) atau wanita Onje diwayuh (dimadu oleh suaminya). Secara keseluruhan, teks-teks yang disebutkan di atas berfungsi sebagai alat legitimasi bagi leluhur Onje, Arsantaka, dan para bupati Purbalingga.







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Atmo, Tri. 1984. Babad dan Sejarah Purbalingga. Purbalingga: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga. Balai Penelitian Sejarah dan Budaya. 1981-1982. Sejarah dan Budaya: Seri Folklore.
Yogyakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Boechari. 1966. “Preliminary Report on the Discovery of an Old-Malay Inscription at Sodjomerto,” Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Oktober, Djilid III, No. 2 & 3.
Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 219
Bosch, F.D.K. 1975. Çrivijaya, Çailendra, dan Sanjayavamça. Jakarta: Bhratara.
Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo. 1969. Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas. Bogor: tanpa penerbit.
Casparis, J.G. de. 1956. Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D. Bandung: Masa Baru.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lainlain. Jakarta: Grafitipers.
___. 1985. “Mengumpulkan Folklore Bali Aga di Trunyan,” dalam Koentjaraningrat & Donald D. Emmerson. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Gramedia.
Darmosoetopo, Riboet. 1977. Serat Sejarah Rupi Onje: Naskah dan Transkripsi.
Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi,” dalam Bahasa
dan Sastra, Tahun III, Nomor 1.
Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI-Press.
Hasselman, C.J. 1887. “De Perdikan Dessa’s is het District Tjahijana (Afdeeling Poerbolinggo, Residentie Banjoemas),” Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur, deel I: 72-104.
Kartosoedirdjo, A.M. 1941. Babad Poerbalingga. Yogyakarta: Museum Sana Budaya.
___. 1969. Diktat Riwajat Purbalingga. Selanegara: stensil.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Idayu.
220 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 202-220
Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Priyadi, Sugeng. 2000a. “Indrawardhaya Wikramadewa (1),” Radar Banyumas, edisi 10 Februari, Kamis Legi.
___. 2000b. “Indrawardhaya Wikramadewa (2),” Radar Banyumas, edisi 17 Februari, Kamis Pon.
Purwaningsih, Endang. 1986. “Babad Onje (Transliterasi, Terjemahan, Perbandingan dengan Babad Purbalingga),” Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Sasono & Tri Atmo. 1993. Mengenal Purbalingga (Banyumas): Daerah Tempat Lahir Jenderal Sudirman. Jakarta: Paguyuban Arsakusuma.
Sulastin-Sutrisno, 1994. “Teori Filologi dan Penerapannya.” dalam Siti Baroroh
Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Suputro. 1959. Tegal dari Masa ke Masa. Djakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, Kementrian P.P. dan K.
Teeuw, A. tt. Register op de Tekst en Vertaling van de Babad Tanah Djawi (uitgave 1941). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya-Girirmukti Pasaka.
Tohirin. 2001. “Tabu Nikah Orang Desa Onje dengan Desa Cipaku Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga,” Skripsi. Purwokerto: FKIP-Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Van Peursen, C.A. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa tentang Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Jakarta: Gramedia.

Winter Sr., C.F. & R. Ng. Ranggawarsita. 1988. Kamus Kawi Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.