ABSTRAK
This study aims at discovering (1) the variety of socio-cultural
backgrounds in the rural community of Onje, (2) the social conflicts which the community
experienced leading to the marital taboos, and (3) the symbolic meanings of the
taboos remaining to work at present. The study employs the historical method
combined with the folklore and philological method. The two latter methods are
applied to provide the historical sources with the texts and folklores. Then,
the historical method is taken to produce a historiography, i.e. the cultural
history or the intellectual history in the local scope of Onje. The result of
study shows that the marital taboos in the rural community of Onje suggests the
socio-cultural phenomena rested upon the socio-political legitimacy. The
marital taboos are inflicted by social conflicts, such as those manifested in
incest marriage, social rivalry, and legitimate battle, in which the
communities of Onje represent the troublemakers.
Kata kunci: tabu perkawinan, konflik sosial, pembuat gara-gara,
perkawianan incest, persaingan sosial, peperangan sah
PENDAHULUAN
Babad Onje adalah pencerminan sejarah
masyarakat Onje dan sekitarnya. Onje yang kini masuk wilayah Kecamatan Mrebet,
Purbalingga dikenal sebagai daerah kadipaten yang ditetapkan pada masa
Pajang. Di bagian lain wilayah Purbalingga juga terdapat kadipaten lain, yaitu
Wirasaba yang juga mengaku di bawah Tabu
Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 203 kekuasaan raja Pajang
tersebut. Kalau Wirasaba sejak awal, para adipatinya mengklaim sebagai
keturunan Majapahit, maka Onje mengaku keturunan Pajang. Di samping dua
kadipaten tadi, di Purbalingga juga ditemukan pusat Islamisasi yang terdapat di wilayah Cahyana yang identik
dengan wilayah Perdikan Cahyana. Perdikan tersebut ditetapkan oleh Sultan Demak
yang kemudian diikuti dengan pernyataan yang sama oleh raja-raja sesudahnya,
yakni Pajang dan Mataram (Hasselman 1887: 84-86). Eksistensi Perdikan Cahyana
berkembang dari satu daerah perdikan menjadi dua puluh satu perdikan yang
dihapuskan setelah Republik Indonesia merdeka (Hasselman 1887: 92-93). Uraian di
atas menunjukkan bahwa masa kelampauan masyarakat Purbalingga selalu
dihubungkan dengan ketiga pusat dengan urutan yang lebih tua, yaitu Wirasaba,
Cahyana, dan Onje. Masing-masing pusat itu memang ada gejala yang
menyatakan bahwa mereka lebih berpengaruh dan tinggi kedudukannya daripada yang
lain. Hal itu memang terkait dengan tujuan yang senantiasa dikumandangkan oleh
setiap karya sejarah, baik tradisional maupun modern. Faktor legitimasi bagi
kelampauan suatu lokalitas tentu sangat diperlukan agar mereka dapat tampil dan
diakui di atas panggung sejarah. Tanpa adanya legitimasi tersebut, maka
lokalitas tadi tidak dianggap eksistensinya, bahkan mungkin mereka dicemoohkan
oleh lokalitas lain yang merasa dirinya lebih tinggi. Dahulu banyak lokalitas
yang tidak mampu menunjukkan keberadaannya sehingga lokalitas itu dalam konteks
lokalitas yang lain dianggap lebih rendah. Contohnya, Onje menurut teks Babad
Onje dinyatakan sebagai daerah kadipaten yang di kemudian hari akan
diperintah oleh Adipati Ore-ore. Namun, tokoh ini menurut teks Babad
Purbalingga-Sokaraja disebut dengan nama Ki Ageng Ngorean yang kedudukannya
lebih rendah daripada Bupati Purbalingga dan Bupati Sokaraja. Agar orang Onje
tidak merasa dilecehkan, maka babad tersebut tidak menyebut Onje sebagai
tempat tinggal Ki Ageng Ngorean, tetapi Kendhal Bolong (versi lain Kendhang
Bolong) yang berada di wilayah Bobotsari. Tujuan penelitian berkisar pada
sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide. Tujuan
penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial
budaya, konflik-konflik sosial yang terjadi, dan makna simbolik tabu nikah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini ditempuh dengan metode sejarah yang dikombinasikan
dengan metode filologi dan metode penelitian folklor. Metode filologi dan
folklor dipakai disini karena kedua ilmu tersebut dimanfaatkan sebagai ilmu
bantu dalam penelitian sejarah. Kedua metode tersebut dipakai untuk menyediakan
data sejarah berupa naskah dan folklor. Sebelum data atau sumber itu siap
pakai, maka kedua metode itu penting dilakukan. Metode filologi ditempuh karena
sebagian data penelitiannya adalah
naskah (Sulastin-Sutrisno 1994: 65) yang meliputi enam, yaitu (1) inventarisasi
naskah, (2) deskripsi naskah, (3) perbandingan teks, (4) dasar-dasar penentuan naskah
yang akan ditransliterasi, (5) singkatan teks, dan (6) transliterasi naskah (Djamaris
1977: 23-24). Enam langkah tersebut merupakan kerja filologi yang harus dilakukan
sebelum dilanjutkan dengan analisis teks. Penelitian ini tidak bermaksud untuk
menerbitkan teks dengan edisi tertentu dan tidak berusaha memurnikan teks sebagaimana
tujuan yang dicanangkan oleh filologi tradisional, melainkan versi dan variasi
teks dihargai sebagai bentuk kreatif dari masing-masing penulis atau penyalin teks
(Teeuw 1988: 270). Karena data-data lain yang dikumpulkan berbentuk folklor,
metode pengumpulan folklor yang dikembangkan oleh Danandjaja (1985: 1-21) dapat
diterapkan. Informan kunci yang harus ditemukan adalah para pewaris aktif folklore
dan bukan para pewaris pasif folklor. Pewaris aktif pada umumnya adalah dalang,
dukun bayi, tokoh masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang terpelajar
dipedesaan. Teknik pencarian pewaris aktif tadi bisa dimulai dari seorang yang
kemudian yang bersangkutan akan menunjuk orang-orang lain yang mungkin bisa member
keterangan lebih lanjut mengenai folklor yang sedang dikumpulkan sehingga
bagaikan
bola salju, lama-kelamaan peneliti dapat menemukan para pewaris
aktif dalam jumlah yang banyak. Setelah para pewaris aktif ditemukan, dilakukan
wawancara dengan dua cara, yaitu wawancara tidak terarah dan wawancara terarah
(Danandjaja 1984:187). Selanjutnya, metode sejarah terdiri dari empat langkah,
yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) Interpretasi (Penafsiran),
dan (4) historiografi (Penulisan Sejarah) (Notosusanto 1978: 35-43: bdk.
Gottschalk 1983: 34 dan Kuntowijoyo 1995: 89-105). Langkah heuristik (pengumpulan
sumber) sudah dilakukan pada penelitian filologi. Begitu pula dengan langkah
kritik yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern
telah dilakukan ketika mendeskripsikan naskah, sedangkan kritik intern ketika
melaksanakan kritik teks. Dengan demikian, telah didapatkan fakta yang berupa
fakta mental atau kejiwaan (mentifact). Karena tujuan penelitian ini
berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya,
konflikkonflik sosial yang terjadi, dan makna simbolik tabu nikah, maka kritik
teks lebih dipertajam sehingga interpretasi yang dihasilkan pada langkah yang
ketiga ini lebih maksimal. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual
yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide. Oleh karena itu, pada langkah interpretasi
terhadap fenomena sejarahnya, khususnya mentifact diperlukan
pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sosial-budaya masyarakat
Purbalingga Banyumas karena karya historiografi tradisional sering cenderung
mengaburkan dua macam realitas sejarah, yaitu realitas yang objektif terjadi
dan realitas yang riil dalam diri. Yang pertama adalah fakta yang
merupakan pengalaman yang aktual, sedangkan yang kedua adalah fakta yang berupa
penghayatan kultural kolektif (Abdullah 1985: 22-23). Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng
Priyadi) 205 Penghayatan
kultural kolektif menjadi penting manakala peneliti berusaha memahami makna
karena setiap peristiwa itu selalu dimaknai oleh masyarakat sehingga terjalin menjadi
pandangan dunia yang utuh (Abdullah 1985: 24). Pemaknaan terhadap suatu
peristiwa itulah yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu realitas
yang baru sehingga bisa terjadi perubahan bentuk (metamorfose) peristiwa, nilai,
dan tokoh (Van Peursen 1990: 58). Selanjutnya, hasil interpretasi tersebut disajikan
pada langkah terakhir, yakni historiografi berupa sejarah kebudayaan atau
sejarah intelektual di tingkat lokal Purbalingga Banyumas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Orang Onje mengklaim dirinya keturunan langsung raja Pajang
melalui putrid Menoreh yang sedang hamil empat bulan yang diserahkan kepada Ki
Tepus Rumput (versi lain Syekh Maulana Maghribi). Pengakuan semacam ini penting
bagi suatu pusat di lokalitas tertentu agar mereka beserta keturunannya dapat
lebih eksis dan melewati masa kekuasaan yang panjang sehingga mereka akan bisa
melegitimasikan diri sebagai penguasa lokalitas yang sah. Oleh karena itu,
Babad Onje senantiasa menghubungkan diri dengan penguasa pusat yang lain
seperti kadipaten Cipaku dan Medang (versi lain Pasirluhur), bahkan
pusat kerajaan Jawa yang berkuasa pada masa itu sehingga nama-nama raja itu
disebut secara berurutan seperti tampak pada teks Babad Onje, yaitu Sultan
Pajang, Ki Ageng Mataram, Pangeran Sayidiyah Kemuning, Pangeran Sayidiyah
Krapyak, Sultan Kuwasa, Suhunan Plered, Suhunan Mas, dan Suhunan Paku Buwana
(Purwaningsih 1986: 20-21). Penyebutan rajaraja itu memang tidak konsisten,
terutama nama dan gelarnya, bahkan nama
Mangkurat Amral tidak disebutkan. Tampaknya keberadaan raja-raja
tersebut itu penting karena Susuhunan Mangkurat Mas atau Mangkurat III pernah
mengambil gadis Onje sebagai salah seorang selirnya (Teeuw tt: 22). Teks Babad
Tanah Jawi edisi Meinsma menyatakan bahwa Pangeran Adipati Anom yang sudah
memiliki istri utama (raden ayu adipati) kehidupannya tidak akur dengan
istrinya itu karena Adipati Anom mengambil dua orang selir, yaitu satu
keturunan orang Kalang dan
yang lainnya berasal dari Onje (Olthof 1941: 247). Rupanya gadis
Onje ini bisa merebut cinta kasih Adipati Anom sehingga statusnya dinaikkan
menjadi garwa meskipun Raden Ayu dari Kapugeran itu terkenal kecantikannya.
Namun, Raden Ayu akhirnya dikembalikan kepada ayahnya, yakni Pangeran Puger dan
gadis Onje itu diangkat kedudukannya dengan nama Ratu Kencana (Olthof 1941:
250-262). Ketika Pangeran Puger menjadi raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwana
I, Kadipaten Onje menurut teks Babad Onje itu berakhir. Keberakhiran
Onje sebagai kadipaten kemudian statusnya menjadi desa perdikan dibawah
kekuasaan Kiai Ngabehi Denok di Pamerden. Ki Pangulu Onje (Kiai Ngabdullah)
ditetapkan sebagai orang yang mengurusi perdikan dengan wilayah Tuwanwisa,
Pesawahan, dan Onje, serta berkewajiban memelihara makam leluhur di Onje dan
mendirikan salat Jumat (Purwaningsih 1986: 21). Demikianlah sekilas gambaran
Onje secara umum sebagaimana dilukiskan oleh teks Babad Onje. Teks tersebut, sebagai
suatu karya sejarah masa lalu Onje, perlu dijelaskan keberadaannya karena teks
tersebut masih eksis, baik dalam bentuk naskah, manuskrip, maupun tradisi lisan
(folklor). Babad Onje yang disebut di atas adalah teks yang terkandung dalam
naskah yang dimiliki atau tersimpan oleh S.Warnoto, seorang penduduk desa Onje
yang secara tradisi berhak menyimpan naskah. Ia adalah kakak kepala desa Onje
Soepono Adi Warsito yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Seseorang yang
mempunyai dua orang anak laki-laki berhak menyimpan naskah Babad Onje tersebut
(Purwaningsih 1986: 5). Naskah pegon yang berukuran 10,5 X 8,5 cm dan
tebal 137 halaman (30 halaman di antaranya kosong) menyatakan judulnya Punika
Serat Sejarah Babad Onje. Naskah tersebut setiap halamannya berisi 7
baris dengan teks berbahasa Jawa (Purwaningsih 1986:12). Babad Onje,
sebagai produk kebudayaan, tampaknya merupakan teks yang menjelaskan
peristiwa sejarah cikal-bakal masyarakat Onje dengan segala pengaruh kekuasaan
politiknya. Kesejarahan Onje diakui oleh kalangan yang lebih luas berkat hadirnya
teks Babad Onje tersebut. Tanpa adanya teks Babad Onje, masyarakat yang
hidup di lokasi tersebut tidak mengakui kehadiran Onje di tengah-tengah interaksi
sosial. Hal itu berbeda dengan Cipaku yang dikenal sebagai rival Onje. Cipaku
sebagai daerah kadipaten memang tidak disebut dalam teks Babad Onje sebagai
daerah bagian Onje. Jadi, Cipaku berdiri sendiri sebagai kadipaten yang
setara dengan Onje. Namun, Onje lebih menonjol karena mereka menghasilkan
Babad Onje, sedangkan Cipaku tidak memiliki karya yang serupa untuk
menunjukkan eksistensinya. Anehnya, masyarakat Cipaku justru
menghasilkan naskah yang sejenis dengan Babad Onje, yaitu naskah yang
berjudul Serat Sejarah Rupi Onje. Naskah tersebut merupakan
koleksi Baruna, seorang yang menjabat sebagai Penatus Cipaku, Kecamatan
Mrebet (Darmosoetopo, 1977). Kiranya naskah produk Cipaku tersebut adalah
naskah salinan dari milik S. Warnoto. Istilah rupi yang dipakai
mengisyaratkan adanya proses penyalinan langsung. Perbandingan teks diantara
kedua naskah memang menunjukkan bahwa naskah yang kedua disalin dari
naskah yang pertama. Berdasarkan naskah Cipaku, dapat dinyatakan bahwa
pengaruh Babad Onje cukup meluas dan melewati batas-batas wilayah kadipaten
atau perdikan Onje sebagaimana yang disebut di dalam teks
tersebut, termasuk di antaranya adalah Cipaku. Bahkan, di kemudian hari
teks Babad Onje dipakai sebagai suatu pengantar terhadap teks yang baru,
yang berkaitan dengan keluarga para bupati Purbalingga sehingga teks Babad
Purbalingga lahir. Kelahiran teks tersebut disebabkan adanya hubungan
kekerabatan bupati Purbalingga dengan Onje melalui tokoh Arsantaka yang
diyakini oleh penulis Babad Purbalingga bahwa tokoh Arsantaka adalah anak Adipati
Onje, Ore-ore dengan Nyai Pingen, setelah kasus pembunuhan kedua orang istri
sang adipati tersebut yang berasal dari Medang dan Cipaku. Ada fenomena yang
menarik disini karena Babad Onje dipakai sebagai alat legitimasi yang baru. Babad
Onje tidak lagi hanya sebagai alat pengesahan dan penegasan terhadap keberadaan
masyarakat Onje pada masa lampau, tetapi juga sebagai legitimasi asalmula para
bupati Purbalingga setelah ada dua orang keturunan Banyumas yang mengawali
jabatan tersebut. Para bupati Purbalingga tampaknya lebih memilih Onje daripada
dua pusat yang lain, yakni Cahyana dan Wirasaba. Wirasaba sebagai pusat yang
lebih tua daripada Onje kelihatannya sudah dipakai oleh keturunan para bupati
Banyumas sehingga Purbalingga merelakan diri untuk melepaskan hubungan psikologisnya
dengan Wirasaba karena kedudukan Wirasaba lebih dekat dengan Banyumas daripada
Purbalingga. Hal itu sudah disadari oleh Purbalingga sehingga mereka harus
mencari pusat lain yang masih bebas dari klaim keluarga yang lain. Klaim orang
Banyumas yang terlalu kuat terhadap Wirasaba membuat orang Purbalingga
kehilangan. Padahal, Wirasaba sebagai pusat yang tertua keberadaannya sangat
penting bagi Purbalingga, tetapi akibat klaim Banyumas, maka mereka mencoba
melepaskan hubungan mereka dengan Wirasaba. Purbalingga menciptakan tokoh baru,
yakni Arsantaka (Wangsantaka) dan Yudantaka sebagai penghubung Purbalingga
dengan Onje meskipun hubungan itu diragukan. Untuk menyaingi Banyumas mereka
menjelek-jelekkan dua orang tokoh Banyumas yang pernah berkuasa di Pamerden,
yaitu Ngabehi Dipayuda I atau Dipayuda Seda Jenar dan Dipayuda II atau Dipayuda
Seda Banda. Persaingan keluarga Arsantaka dengan keturunan Ngabehi Dipayuda I
menyebabkan munculnya tabu nikah diantara keluarga tersebut yang dilontarkan
dari pihak Ngabehi Dipayuda Seda Jenar karena keluarga tersebut merasa menjadi
korban permainan ilmu hitam. Keluarga Arsantaka merasa kehadiran keluarga
Dipayuda I bisa mengganggu kedudukan mereka. Ngabehi Dipayuda I sebagai adik
Tumenggung Yudanegara III, bupati Banyumas disebut juga di dalam teks Babad
Onje dengan nama Ngabehi Denok, sedangkan Dipayuda II sering disebut Dipayuda
Gabug. Tokoh Dipayuda yang kedua ini adalah putra Tumenggung Yudanegara III
yang di dalam teks Babad Banyumas disebut orang yang meninggal karena Seda
Banda ‘terkena penyakit kelamin’ sehingga ia dikenal tidak meninggalkan
keturunan yang pantas menggantikan kedudukannya. Justru yang menjadi
penggantinya adalah Dipayuda III yang disebut berasal dari keturunan Demang
Panggendolan, Arsantaka. Cukup jelas bahwa keturunan Banyumas atau lebih
dekatnya keturunan Wirasaba di Purbalingga harus disingkirkan pengaruhnya agar
nama Arsantaka lebih harum daripada keturunan Yudanegara III. Teks Babad
Banyumas agaknya juga ikut mengharumkan nama Arsantaka yang dikatakan sebagai
salah seorang demang yang cukup heroik dalam peristiwa Perang Mangkubumen.
Ketika Ngabehi Dipayuda I dan beberapa demang gugur di medan perang, Arsantaka
ini justru yang selamat dari cengkeraman maut, bahkan ia menjadi orang yang
sangat berjasa karena ia berhasil menemukan jasad Ngabehi Dipayuda I yang
diserahkan kepada kakaknya, yaitu Tumenggung Yudanegara III. Karena
jasa-jasanya itu, anak Arsantaka yang bernama Arsayuda dijadikan patih untuk
mendampingi Dipayuda II. Anak Arsantaka juga dijadikan menantu oleh Tumenggung
Banyumas tersebut sehingga lengkaplah kedudukan Arsantaka dan putranya di
Purbalingga. Namun, istri dari Banyumas itu tidak ditonjolkan meskipun
kedudukannya lebih tinggi daripada Arsayuda sendiri. Penggeseran istri dari
Banyumas itu dilakukan agar keturunan Banyumas tidak menonjol lagi di
Purbalingga sebagaimana hal itu juga sudah dilakukan terhadap Dipayuda I dan
Dipayuda II. Istri yang derajatnya lebih rendah yang berasal dari putri
Kanduruan I Roma itu ditampilkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati Purbalingga
selanjutnya. Dengan demikian, Purbalingga benar-benar berusaha dengan keras
untuk menyingkirkan pengaruh Banyumas dan Wirasaba. Purbalingga sudah berhasil
menampilkan Arsantaka dan Arsayuda sebagai cikal-bakal yang baru dengan menggeser
Wirasaba sebagai pusat yang tertua. Dengan kata lain, Wirasaba tidak mempunyai
makna kesejarahan dengan para bupati Purbalingga. Purbalingga hanya mengakui
bahwa dahulu ada Wirasaba yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Bukateja. Onje
lebih berarti kedudukan dan hubungan kesejarahannya daripada Wirasaba. Maka
dari itu, Onje juga memerlukan klaim yang kuat dengan cara menghubungkan diri
dengan beberapa keluarga sebagai bentuk interaksi sosial, yaitu dengan Cipaku, Medang,
dan Arenan. Hubungan tersebut sangat mencolok sebagaimana dituturkan oleh
folklor yang berasal dari lokalitas tersebut, yaitu para pewaris aktif folklor
yang meliputi Go Tien Tjwan, kepala desa Mangunegaran, dan Sanurji (Penatus
Onje). Ketiga versi folklor tersebut menyatakan adanya hubungan perkawinan
antara Adipati Onje (Ore-ore menurut versi pertama dan kedua, sedangkan versi
ketiga adalah Cakrakusuma) dengan putri dari ketiga kadipaten. Putri
yang pertama dikenal dengan nama Pakuwati atau Dewi Pakuwati, putri Adipati
Cipaku. Menurut ketiga orang penutur folklor tersebut, istri dari Cipaku inilah
yang memberi keturunan kepada Adipati Ore-ore. Versi pertama dan ketiga
menyebut ada lima orang anak yang tinggal di Tegal, Cirebon, Ciamis, Cilacap,
dan Onje, sedangkan versi kedua menyebut enam orang yang tinggal di
Gondokusuma, Cilacap, Cirebon, Tegalarum, Ciamis, dan Mangunegara. Ketiga versi
sepakat bahwa istri yang kedua tidak memiliki keturunan. Namun, agaknya istri
yang kedua tadi berasal dari kadipaten yang cukup dikenal dengan luas.
Versi pertama menyatakan bahwa istri kedua itu berasal dari Medang atau
Pasirluhur sehingga disebut nama dirinya, yaitu Dewi Medang. Versi kedua
menyebut nama Kalinggawati yang berasal dari Keling, sedangkan versi ketiga hanya
menyebut istri kedua berasal dari Kalingga. Di samping kawin dengan kedua putri
tadi, Adipati Ore-ore juga menikah dengan putri Adipati Arenan yang secara sepakat
disebutkan oleh ketiga orang sumber folklor, yaitu Nyi Pingen (versi pertama), Raden
Ayu Pingen atau Paingan (versi kedua), atau Nyi Paingan (versi ketiga). Nama Pingen
atau Paingan ini kiranya berpengaruh terhadap topografi lokal karena nama itu
juga dipakai untuk nama sungai yang mengalir di sebelah selatan desa Onje yang membatasi
desa itu dengan Cipaku (Tohirin 2001: 26). Dari istri yang ketiga inilah, Adipati
Ore-ore mendapatkan dua orang anak laki-laki menurut versi pertama dan kedua,
sedangkan versi ketiga tidak menyebutkan masalah tentang hal itu. Versi kedua menyatakan
bahwa kedua anak lelaki itu adalah Wangsantaka (Arsantaka) yang tua dan
Yudantaka yang muda. Versi pertama menyebut secara terbalik, yaitu Yudantaka
yang tua yang tinggal di Kalimanah sebagai petani, sedangkan yang muda adalah
Arsantaka yang menjadi pejabat demang di Panggendolan (wilayah Kabupaten
Banjarnegara). Akibat dibunuhnya istri pertama dari Cipaku dan kedua dari
Pasirluhur (atau Medang atau Kalingga), maka muncul reaksi yang cukup keras dari
Cipaku. Pasirluhur tidak bereaksi seperti halnya Cipaku. Kemungkinan Pasirluhur
tidak lagi mempersoalkan masalah pembunuhan itu lebih lanjut. Reaksi Cipaku
inilah yang memunculkan adanya pantangan atau tabu nikah atau saling berbesanan
antara Cipaku dengan Onje. Ketiga versi folklor sepakat dengan tabu tersebut,
hanya ada tambahan yang perlu dijelaskan dari versi pertama dan kedua. Tambahan
pada versi pertama menyatakan bahwa tabu itu tidak dimutlakkan, atau dengan
kata lain tidak berlaku jika kedua desa itu mempunyai dua pasang kakak-beradik
laki-laki dan perempuan atau silang laki-laki dan perempuan dengan perempuan
dan laki-laki. Cara menghambarkan atau meniadakan tabu semacam itu disebut tambangan.
Peniadaan tabu hanya disebut oleh versi yang pertama, sedangkan versi yang
kedua justru menambahkan tabu, yaitu orang Onje tidak boleh mempunyai dua orang
istri pada waktu yang bersamaan. Ketiga folklor di atas rupanya juga sepakat
bahwa tabu nikah itu dinyatakan oleh Adipati Ore-ore dan bukan Adipati Cipaku
(Balai Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 52-54). Kesaksian folklor
mengenai tabu nikah memang tidak didukung oleh naskah Babad Onje dan Serat
Sejarah Rupi Onje yang sudah disebutkan di atas. Kedua teks tersebut memang
ada kecenderungan untuk berbicara pada wilayah politis. Artinya, kedua teks itu
menghindari penuturan yang memungkinkan adanya kesan yang buruk terhadap
Adipati Onje karena kedua teks itu memang bertujuan untuk melegitimasikan
penguasa Onje sebagai keturunan Sultan Pajang dan memegang hegemoni politik di
Onje. Jadi, kesan baik yang harus selalu ditampilkan oleh kedua teks yang
resmi, terutama Babad Onje yang amat dikeramatkan oleh masyarakat desa Onje.
Untuk membaca teks Onje tersebut, maka orang harus memenuhi syarat tertentu
dengan berbagai sesaji yang harus disiapkan. Sesaji itu meliputi tumpeng
kuat, kelapa hijau, klepon, apam pasuk, kepok, gapitan kreweng,
pepesan menir, dua biji pisang kluthuk, air teh, kopi pahit, dua buah rokok
kemenyan, serta yang paling penting adalah ayam berbulu putih. Ayam putih
setelah disembelih diambil sayap, hati, dan perut besarnya. Hati dipotong
kecil-kecil, sayap bagian atas, dan ingkung disajikan bersama dengan tumpeng
kuat (Balai Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 54). Upacara sesaji
tersebut menjadi syarat seseorang itu bisa atau dibolehkan membaca teks Babad
Onje. Penyakralan terhadap naskah Babad Onje di desa Onje inilah yang
memungkinkan banyak orang yang berusaha menghafalkan teks tersebut dalam bentuk
folklor atau ditulis kembali sebagaimana tampak pada kasus naskah Cipaku, Serat
Sejarah Rupi Onje. Karena naskah disakralkan, maka Babad Onje tidak layak
jika menuturkan peristiwa yang dianggap aib oleh keluarga. Bagaimanapun Dewi
Cipaku yang diyakini memiliki keturunan dan mereka sebagai anak korban dan
sekaligus pelaku tentu tidak sampai hati menceritakan aib ayah mereka sebagai
seorang pembunuh. Di sisi lain, mereka juga akan selalu terkenang dan sedih
jika peristiwa pembunuhan ibu mereka itu selalu diceritakan kembali secara
terus-menerus. Penyakralan terhadap naskah Babad Onje bisa jadi merupakan upaya
untuk menghapus kenangan pahit oleh keluarga atau keturunan Adipati Onje,
khususnya yang dilahirkan dari Dewi Pakuwati. Namun, masyarakat umum masih
mencatat dan mengenang peristiwa kelabu yang tidak bisa dilupakan itu sehingga
diceritakan dari mulut ke mulut secara terus-menerus dan melahirkan folklor
yang dikenal hingga sekarang. Ada folklor yang berkaitan dengan Onje yang sudah
mengalami proses penulisan teks sehingga sekarang sudah menjadi naskah meskipun
dengan judul yang menafikan Onje, yakni naskah Babad Purbalingga dan Diktat
Riwajat Purbalingga yang ditulis oleh orang yang sama pada waktu yang
berbeda. Naskah pertama ditulis pada tahun 1939, sedangkan naskah yang kedua
pada tahun 1967. Meskipun ditulis oleh orang yang sama, yaitu A.M.
Kartosoedirdjo ternyata kedua teksnya tidak sama persis. Isi Babad
Purbalingga yang berisi masalah Onje adalah nomor 1-7, sedangkan isi Diktat
Riwajat Purbalingga pada nomor 2-8. Selebihnya, baik teks yang pertama
(nomor 8-11) maupun teks yang kedua (nomor 9-12) adalah tambahan yang
menyebabkan teks Babad Onje berubah judul menjadi Babad Purbalingga atau
Diktat Riwajat Purbalingga. Dengan kata lain, teks Babad Onje adalah
teks pembuka bagi kedua teks yang baru tadi. Hubungan teks Babad Onje dengan
teks yang baru itu dilukiskan oleh penulisnya, yakni A.M. Kartosoedirdjo karena
para bupati Purbalingga itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan Onje meskipun
agak dipaksakan bahwa seolah-olah para bupati itu keturunan Arsantaka dan Arsantaka
adalah putra Adipati Ore-ore (Adipati Onje II) dengan putri dari Arenan,
Nyai Paingen atau Paingan. Untuk memperjelas garis besar di atas,
maka perlu dibandingkan dengan kedua teks karya A.M. Kartosoedirdjo seperti
tampak pada
Perbandingan Teks Babad
Purbalingga dengan Diktat Riwajat Purbalingga
No. Teks Babad Purbalingga Diktat Riwajat Purbalingga
1. Nama Cincin Sasraludira Sasraludira
2. Kakek Tepus Rumput Kiai Kantharaga Embah Kantharaga
3. Cikal-bakal Ki Tepus Rumput Ki Tepus Rumput
4. Selir Sultan Pajang Putri Adipati Menoreh Kencana Wungu
5. Nama Adipati Onje Adipati Onje II Raden Ore-ore
6. Istri Adipati Onje 1. Putri Cipaku
2. Putri Medang
3. Nyai Pingen
1. Putri Pakuwati
2. Dewi Medang
3. Rara Pingen
7. Mertua Adipati Onje 1. Adipati Cipaku
2. Adipati Kandhadaha
3. Adipati Arenan
1. Adipati Cipaku
2. Adipati Kandhadaha
3. Kiai Singayuda (Arenan)
8. Anak (istri Cipaku) 1. Raden Cakrakusuma
2. Raden Mangunjaya
1. Mas Wangsarudin
2. Mas Tarudin
3. Mas Sutarudin
4. Mas Amirudin
9. Anak (istri Medang) 1. Putri (istri Sayid Abdullah)
2. Putri (istri Adipati Tegal)
1. Raden Mangunjaya
2. Raden Cakrakesuma
3. Dewi Banowati (istri Sayid Abdullah)
10 Anak (istri Arenan) 1. Arsantaka 1. Kiai Yudantaka
2. Kiai Arsantaka
11. Ayah Adipati Arenan -- Pangeran Makhdum Wali Prakosa
12. Cucu Adipati Onje Putri I Putri II dari istri Medang
1.Sutarudin
2.Ditarudin
3.Sabarudin
4.Samarudin
5.Wangsarudin Raja Namrut
13. Tabu Adipati Onje Orang Onje tidak boleh mayuh (memadu
dua atau lebih istri) dan diwayuh (dimadu) Orang Onje
tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan diwayuh (dimadu)
14. Tabu Adipati Cipaku Keturunan Adipati Cipaku dilarang
berbesanan dengan Onje Sampai kiamat keturunan Cipaku tidak boleh berbesanan dengan
orang Onje yang jahat. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa tabu nikah itu
berasal dari Adipati Cipaku yang merasa dirinya menjadi korban dari kejahatan
Adipati Onje yang digolongkan olehnya sebagai orang jahat, sedangkan Adipati
Onje sendiri juga menyatakan tabu bagi laki-laki Onje untuk memadu dua orang
istri atau lebih dan perempuan Onje tidak boleh dimadu oleh suaminya. Tabu dari
Adipati Onje ini berdasarkan pengalaman pahit dirinya. Tabu Adipati Onje juga
ditemukan pada folklor yang dituturkan oleh pewaris aktif folklor yang berasal
dari kepala desa Mangunegaran. Ketiga Sumber folklor di bawah ini sepakat bahwa
tabu nikah berasal dari Adipati Onje dan bukan dari Adipati Cipaku seperti
tampak pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Teks Folklor
No. Teks Go Tien Tjwan Mangunegaran Sanurji
1. Cikal-bakal Ki Tepus Rumput Syekh Maulana Maghribi
Syekh Maulana Maghribi (Adipati Ore-ore)
2. Nama Cincin Socaludira Sasraludira Cahyaningrat
3. Nama Adipati Onje Raden Ore-ore Raden Ore-ore Cakrakusuma
4. Istri Adipati Onje
1. Dewi Pakuwati
2. Dewi Medang
3. Nyi Pingen
1. Pakuwati
2. Kalinggawati
3. R.A. Pingen
1. Pakuwati
2. —
3. Nyi Paingan
5. Asal-usul istri Adipati Onje
1. Cipaku
2. Pasirluhur
3. Arenan
1. Cipaku
2. Keling
3. Arenan
1. Cipaku
2. Kalingga
3. Arenan
6. Anak Adipati Onje dari istri Cipaku (disebut tempat tinggalnya)
1.Tegal
2.Cirebon
3.Ciamis
4.Cilacap
5.Onje
1.Gondokusuma
2.Cilacap
3.Cirebon
4.Tegalarum
5.Ciamis
6.Mangunegaran
1.Tegal
2.Cirebon
3.Ciamis
4.Cilacap
5.Onje
7. Anak Adipati Onje dari istri Nyi Pingen
1.Yudantaka (Petani di Kalimanah)
2.Arsantaka (Demang Panggendolan)
1.Wangsataka (Arsantaka)
2.Yudantaka
--
8. Tabu Adipati Onje Cipaku dan Onje tidak boleh berbesanan,
kecuali tambangan
1. Onje dan Cipaku dilarang berbesanan
2. Penduduk Onje dilarang berbini dua Onje dan Cipaku tidak boleh berbesanan
Tabel 1 dan 2 yang disajikan diatas menunjukkan bahwa teks Babad
Onje itu eksis dalam bentuk folklor yang masih lisan dan folklor yang sudah
tertulis. Folklor tentang Onje menggambarkan adanya gejala yang beranekaragam
dalam menuturkan tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat Onje dan
sekitarnya. Keanekaragaman Itu memang wajar karena folklor selalu disebarkan
melalui media mulut yang mudah sekali berubah teksnya. Kiranya folklor Onje ini
yang paling menonjol bertujuan untuk menyampaikan proyeksi keinginan yang
terpendam sebagai alat legitimasi bagi masyarakat Onje bahwa desanya dahulu
merupakan suatu kadipaten yang berwibawa sejak zaman Pajang hingga masa
pemerintahan Susuhunan Paku Buwana I. Maka dari itu, teks yang terkandung dalam
naskah Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje berusaha
untuk memproyeksikan keinginan legitimasi tersebut dengan menyajikan 10 orang
yang pernah menjadi penguasa Onje dan 9 orang di antaranya adalah turun-temurun
9 generasi. Agak aneh kiranya kedua teks di atas karena orang yang terakhir
ternyata tidak sesuai dengan teks folklor. Kiai Yudantaka bukanlah nenek moyang
penguasa Purbalingga yang berkedudukan sebagai bupati. Kedua teks tidak
menyebut tokoh yang sangat penting, yaitu Arsantaka meskipun secara samar-samar
pada bagian akhir menyebut putranya yang sudah disebut dengan nama Ngabehi
Dipayuda dari Panggendolan. Kadipaten Onje setelah berakhir statusnya
dijadikan perdikan dengan wilayah yang meliputi Tuwanwisa (Tuwanwisesa),
Pesawahan, dan Onje. Pengelolaan daerah perdikan diserahkan kepada Kiai
Ngabdullah di Onje yang berkewajiban memelihara makam para leluhur Onje dan
mendirikan salat Jumat. Perdikan Onje mengalami pengurangan dua wilayahnya,
yaitu Tuwanwisesa dan Pesawahan. Akhirnya, perdikan Onje pun dikurangi
lagi wilayahnya dan hanya sebatas Onje Pekauman saja. Hal itu menunjukkan bahwa
Onje mengalami kemerosotan status dan kepemilikan wilayahnya. Ketika Kadipaten
Onje berakhir, maka yang muncul adalah para penguasa Pamerden atau
Pra-Purbalingga atau Pasca-Onje seperti yang disebutkan oleh kedua teks yang
berasal dari naskah Onje dan Cipaku. Meskipun Arsantaka tidak disebutkan
sebagai salah seorang yang pernah berkuasa di Onje, tetapi anaknya disebut
sebagai penguasa Pamerden. Panggendolan meskipun terletak di luar wilayah Purbalingga,
atau tepatnya di Banjarnegara, tetapi daerah itu sudah menjadi trademark bagi
Arsantaka dan keturunannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan tidak
disebutkannya Arsantaka pada naskah sakral tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya Arsantaka itu diragukan eksistensinya ? Pertanyaan ini sulit karena pada
teks-teks folklor, Yudantaka dikenal sebagai seorang petani yang tinggal di Kalimanah,
sedangkan Arsantaka lebih senang menjadi pejabat daripada saudaranya itu
sehingga ia dikenal dengan jabatan daerah lungguhnya, yakni Demang Panggendolan.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa nama Arsantaka tercecer dari daftar
silsilah karena ia tidak pernah menjadi penguasa Onje, tetapi ia hanyalah penguasa
daerah perdikan seperti halnya Kiai Ngabdullah sepeninggal Yudantaka berkuasa.
Jadi, ketika Yudantaka berakhir kedudukan sebagai penguasa Onje, ia tersingkir
dan kemudian berpindah ke Kalimanah, sedangkan perdikan Onje diserahkan kepada
Kiai Ngabdullah. Sementara itu, Arsantaka sudah terlanjur menjadi demang di
Panggendolan. Menurut Kartosoedirdjo (1941: 19), teks Babad Purbalingga
menyebutkan bahwa Arsantaka sebagai keturunan keempat atau buyut dari Kiai
Ageng Gendhani yang tinggal di Bangkong Reyang (Banjarnegara) dekat Panggendolan
melalui Kiai Barata dan Kiai Candrataka. Kiai Candrataka inilah ayah Kiai
Arsantaka. Jika silsilah yang berasal dari Gumelem ini benar, maka Kiai Arsantaka
itu tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Onje sebagaimana ia tidak
disebut dalam teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi
Onje. Namun, karena Arsayuda mengalami mobilitas sosial dengan naiknya
status sebagai ngabehi di Pamerden dan selanjutnya menjadi leluhur para bupati
Purbalingga, diperlukan legitimasi yang menguatkan posisinya. Rupanya masalah
perkawinan Arsayuda menjadi penting untuk dipersoalkan. Naskah Inti Silsilah
dan Sedjarah Banjumas menyebutkan bahwa Arsayuda mempunyai dua orang
istri utama, yaitu yang pertama adalah putri Tumenggung Yudanegara III dari Banyumas
dan yang kedua adalah putri Tumenggung Kanduruan I Roma di Gombong. Istri utama
kedua yang dikisahkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati Purbalingga (Brotodiredjo
& Ngatidjo Darmosuwondo 1969: 91). Jadi, teks tersebut masih mengakui
keturunan Banyumas karena Tumenggung Kanduruan I masih trah Banyumas. Lain
halnya dengan Sasono dan Tri Atmo (1993: 62) yang menyatakan bahwa yang
menurunkan para bupati adalah istri selir kedua yang berasal dari keturunan
Pangeran Makhdum Wali Prakosa melalui Adipati Arenan, Kiai Singayuda, yaitu
Nyai Tegal Pingen (Atmo 1984: 64). Kedua penulis itu kiranya memang berusaha menghapus
eksistensi Banyumas sebagaimana diduga di muka. Nyai Tegal Pingen ini
sesungguhnya tidak lain adalah Nyai Pingen yang disebutkan oleh A.M. Kartosoedirdjo
(1969) dalam teks Diktat Riwajat Purbalingga sebagai istri yang ketiga
Adipati Onje yang melahirkan dua orang anak laki-laki yang bernama Kiai Yudantaka
dan Kiai Arsantaka. Jadi, ada kemungkinan bahwa kedua penulis kontemporer itu
melakukan kesalahan kutip yang fatal atau barangkali memang ada unsur
kesengajaan untuk menghapus trah Banyumas agar tidak tercampur dengan para
bupati Purbalingga. Kedua penulis ini kiranya juga bermaksud untuk melegitimasikan
para bupati Purbalingga sebagai keturunan orang penting dan berpengaruh di
Perdikan Cahyana. Teks-teks Cahyana sendiri tidak pernah menjelaskan dalam
silsilahnya bahwa Pangeran Makhdum Wali Prakosa mempunyai keturunan di luar
Perdikan Cahyana yang bernama Kiai Singayuda. Intinya, kedua penulis tersebut
mencoba membuat sensasi yang tidak didasarkan sumber yang cukup bisa
dipertanggungjawabkan hanya untuk keperluan melegitimasikan anak Arsantaka yang
merasa dirinya sudah besar karena mengalami kenaikan status atau mobilitas sosial.
Sehubungan dengan hal itu, status dan identitas Arsantaka itu
kembali dimunculkan dengan adanya nama Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan,
suatu nama yang sudah paten karena telah menggusur nama dua orang Dipayuda yang
lain. Anak Arsantaka sesungguhnya adalah Arsayuda dan nama Dipayuda dipakai setelah
mengganti Dipayuda sebelumnya yang disebut Dipayuda Seda Banda. Hal lain yang
menarik adalah munculnya nama Cakrayuda yang berasal dari keturunan Toyamas
atau Banyumas. Nama ini kurang dikenal dalam teks Babad Banyumas sehingga
memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi tokoh peralihan dari Dipayuda
Seda Banda ke Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan tersebut. Uraian diatas telah
menjelaskan bahwa Onje memiliki hubungan kekerabatan yang cukup panjang dengan
Purbalingga. Di samping berusaha untuk menonjolkan Onje sendiri di
lokalitasnya, juga keluar dari wilayah Onje. Hal itu berarti bahwa Onje
berkedudukan penting di tengah pusaran sejarah tradisional di Purbalingga sehingga
Adipati Ore-ore menurut folklor itu identik dengan Kiai Adipati Anyakrapati menurut
teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje, yang masih
keturunan langsung atau anak biologis Sultan Pajang. Sebagai keturunan langsung
seorang raja, Adipati Ore-ore layak memiliki sikap dirinya lebih tinggi kedudukannya
daripada penguasa lokal di sekitarnya meskipun ia lahir hanya dari istri selir
yang terbuang sehingga ketika lahir, ia hanya disebut sebagai anak tiri Ki Tepus
Rumput. Pada hakikatnya, Adipati Ore-ore atau Adipati Anyakrapati telah mengalami
mobilitas sosial menjadi adipati di lokalitas Onje. Keturunannya atau orang
yang mengaku keturunannya memakai namanya sebagai alat legitimasi, termasuk di
antaranya adalah Kiai Arsantaka dan Arsayuda. Namun, gejala aneh muncul ketika
di tingkat lokal seorang tokoh keturunan Onje dilupakan, justru nama itu cukup
berkibar di dalam teks Babad Tanah Jawi, yaitu Raja Namrut atau Namrud (Olthof
1941: 204 & 207). Raja Namrut dikenal sebagai tokoh pemberontak yang tinggal
di Slinga (De Graaf & Pigeaud 1985: 64). Menurut folklor yang dicatat oleh Kartosoedirdjo
(1941) bahwa Raja Namrut itu masih keturunan Adipati Onje dari istri Medang
atau keturunan Adipati Pasirluhur, Kandhadaha. Selain itu, ia disebutkan sebagai
anak Adipati Tegal meskipun nama ayahnya itu tidak diidentifikasikan namanya.
Jadi, seandainya Raja Namrut menjadi pemberontak kepada Raja Mangkurat Amral,
maka ia memang memiliki bibit keturunan seperti itu dari Pasirluhur (Adipati
Thole) dan Adipati Tegal sesuai dengan semboyan bantheng loreng binoncengan
yang menunjukkan bahwa orang Tegal bertabiat gagah berani seperti banteng
dan bisa agak kasar seperti warna loreng jika diperlakukan tidak baik (Suputro
1959: 47). Jadi, pada intinya orang-orang Onje mempunyai sikap tinggi hati dan
keras hati karena ia merasa masih keturunan raja Pajang sehingga muncul konflik
dan rasa antipati dari pihak lain, yaitu Cipaku untuk kasus pembunuhan Putri Pakuwati
dan keturunan Ngabehi Dipayuda Seda Jenar untuk kasus persaingan kekuasaan di
Pamerden dengan permainan ilmu hitam. Jika orang Onje perangainya tinggi hati
dan keras hati sebagaimana tampak pada karya babad mereka, maka bagaimana
dengan orang Cipaku? Apakah orang Cipaku memiliki karakter yang sama dengan
orang Onje? Seperti yang sudah dibicarakan di muka bahwa masyarakat Cipaku
tidak menghasilkan karya sejarah sejenis babad yang bisa menjelaskan kedudukan
mereka sebagai rival sehubungan dengan adanya pantangan atau tabu yang
dinyatakan oleh Adipati Cipaku. Pernyataan Adipati Cipaku yang tertera dalam Babad
Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga menunjukkan bahwa
tidak ada tawar-menawar lagi dengan tabu tersebut, bahkan sampai kiamat
sekalipun. Jika Onje masih membolehkan dengan cara tambangan, yaitu
saling tukar-menukar antara Cipaku dengan Onje berupa pasangan kakak beradik
laki-laki dan perempuan dengan pasangan kakak beradik perempuan dan laki-laki.
Atau, yang penting di dalam pernikahan itu masing-masing desa harus membawa
seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai mempelai yang akan dipertemukan
di dalam acara pernikahan. Tambangan adalah suatu cara untuk sedikit membuat
tawar terhadap tabu. Mengapa Adipati Cipaku begitu keras dalam menanggapi kasus
pembunuhan putrinya oleh Adipati Onje ? Pertanyaan tadi sudah menunjukkan bahwa
Adipati Cipaku juga orang yang berkarakter keras juga karena Putri Pakuwati
adalah pihak yang dijadikan korban. Sikap Adipati Cipaku memang telah
mengisyaratkan kemaskulinan daripada femininitas karena kata Cipaku itu identik
dengan phallus atau lingga sebagai simbol kejantanan, sedangkan
kata Onje berarti buah yang lebat (ngronje) yang menyimbolkan
perempuan (Tohirin 2001: 25). Jika kata Onje dijadikan kata ulang, maka onje-onje
berarti danawa bajang (Winter Sr. & Ranggawarsita 1988: 189)
atau buta bajang atau raksasa kecil. Sementara itu, nama Pakuwati
sudah menunjukkan adanya perpaduan antara simbol kejantanan dengan kesuburan,
sebab kata paku identik dengan lingga dan kata vatin berarti tanah atau bumi.
Jadi, perkawinan antara Adipati Onje dengan putri Cipaku itu tidak relevan
dengan adat-istiadat yang berlaku. Tampaknya pada masa yang lalu, Onje adalah
pihak pemberi wanita kepada laki-laki Cipaku dan bukan sebaliknya. Keharusan
seperti itu menggambarkan bahwa ada sistem tukar-menukar perempuan di antara
komunitas di sekitar Onje dan Cipaku dan hubungan yang jelas di antara mereka
adalah Cipaku menjadi pihak penerima perempuan dari Onje. Pihak Onje akan
menjadi pihak penerima perempuan dari desa atau daerah lain yang berdekatan sehingga
terjadi saling tukar-menukar. Di situ, ada dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk
memberi dan kewajiban untuk menerima (Mauss 1992: 15-17). Cipaku berkewajiban
untuk memberi perempuan kepada pihak lain (bukan Onje) dan juga
berkewajiban untuk menerima perempuan dari pihak yang lain lagi
(mungkin Onje). Kalau laki-laki Cipaku berkewajiban untuk menerima perempuan
Onje itu bisa dilihat adanya tawaran cara tambangan agar kedua desa itu
bisa saling memberi dan menerima perempuan. Hal itu kelihatannya dipakai untuk
mengesahkan tindakan Adipati Onje yang tidak benar. Sumber folklor dari Cipaku
menyatakan bahwa Adipati Cipaku menolak lamaran Adipati Onje terhadap putrinya
(Tohirin 2001: 20). Penolakan ini jelas dimaksudkan agar rantai tukar-menukar
yang sudah berlangsung tidak mengalami kerancuan dan kekacauan karena Onje
harus menerima perempuan bukan dari Cipaku. Ada kemungkinan bahwa Onje harus
menerima perempuan dari pihak Citrakusuma. Folklor Cipaku tersebut menjelaskan
bahwa Adipati Onje melakukan tindakan yang berada di luar kebiasaan, yaitu
mengambil Pakuwati dengan cara paksa dan melanggar adat (Tohirin 2001: 20).
Sistem pertukaran yang berlaku pada masa itu terjadi karena jika laki-laki Onje
menikahi perempuan Cipaku, maka status perkawinan mereka itu incest sehingga
laki-laki Onje harus menerima perempuan dari pihak Citrakusuma. Peristiwa incest
dalam suatu perkawinan itu terjadi bila pihak perempuan itu berkedudukan
lebih tua daripada pihak laki-laki seperti anggapan orang Sunda selama ini
kepada perempuan Jawa sehingga laki-laki Sunda tabu kawin dengan wanita Jawa.
Kedudukan tua bagi perempuan Jawa dilihat dari sistem kekerabatannya pada masa
lampau.Rupanya Cipaku memang berkedudukan lebih tua karena masyarakat Cipaku berasal
dari masa yang lebih tua, yakni masa Hindu Buddha. Di Cipaku ditemukan situs
kesejarahan berupa Prasasti Cipaku dan arca Ganesa. Prasasti Cipaku meskipun tulisan
yang lain sudah kabur hurufnya, tetapi baris yang lain menyebut seorang tokoh yang
memakai gelar Indrawardhaya Wikramadewa (Priyadi 2000a). Tokoh itu memang tidak
jelas identitasnya, tetapi jika dilihat gaya tulisannya yang menunjukkan abad
ke-8 dan 9 masehi, maka zaman itu bersamaan dengan eksistensi Wangsa Sailendra
di Jawa Tengah. Hal itu diperkuat adanya Prasasti Bukateja yang menggunakan
bahasa Melayu Kuna yang berbunyi ini padehanda Hawang Payangnan.
Oleh Casparis, kalimat itu diterjemahkan dengan these (presumably the
deposit of bhasma) are the corporeal remains of Hawang (title) Payangnan (name).
Jadi, Hawang adalah gelar, sedangkan Payangnan adalah orang yang memiliki gelar
tersebut (Casparis 1956: 208-209). Hawang Payangnan dimungkinkan adalah tokoh
cikal-bakal yang mungkin setara dengan Dapunta Selendra (Priyadi 2000b) seperti
yang disebut dalam Prasasti Sojomerto yang juga berbahasa Melayu Kuna (Boechari
1966: 243). Jika pengaruh Wangsa Sailendra itu sampai di Cipaku, maka nama
Indrawardhaya Wikramadewa itu mungkin bisa diidentikkan dengan Raja Dharanindra
yang bergelar vairivaravimardana dalam Prasasti Kelurak (782 masehi),
atau Çailendraraja dalam Prasasti Kalasan (778 masehi), atau Çri Maharaja Çailendravamça
yang memiliki gelar sarwarimadavimathana dalam Prasasti Ligor, atau Raja
Yawabhumipala yang berasal dari Çailendravamçatilaka yang bergelar viravairimathana
dalam Prasasti Nalanda (860 masehi) (Bosch 1975: 24). Jadi, Cipaku meskipun
tidak menghasilkan karya babad, tetapi masyarakat mereka jauh lebih tua dan
memiliki peristiwa kesejarahan yang mantap. Maka dari itu, masyarakat Cipaku
itu wajar apabila mereka lebih bijaksana dan lebih sabar sebagaimana nama Indrawardhaya
Wikramadewa dalam menghadapi pembelotan adat yang dilakukan Adipati Onje.
Namun, ketika Adipati Onje membunuh Pakuwati, maka Adipati Cipaku berteriak
lantang untuk menyatakan antipatinya. Hal itu juga sesuai dengan nama
Indrawardhaya Wikramadewa yang mungkin bisa diartikan penggempur musuh
dan menjadi pahlawan yang bijaksana bagi para dewa yang setara dengan
gelar-gelar yang disandang oleh salah seorang raja dari keluarga Sailendra di
atas.
SIMPULAN
Teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi
Onje merupakan teks yang berfungsi sebagai alat legitimasi politik terhadap
keberadaan Onje pada masa lampau. Maka dari itu, naskah yang pertama
disakralkan oleh masyarakat desa Onje. Siapa pun yang membaca teks tersebut
harus melalui ritual penyembelihan ayam yang berbulu putih. Kedua teks di atas
tidak pernah memberikan informasi mengenai tradisi tabu nikah di Onje dan
Cipaku. Informasi tabu nikah ditemukan pada folklor yang sudah menjadi naskah
(Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga) dan folklor yang masih
berbentuk lisan seperti yang dituturkan oleh Go Tien Tjwan, kepala desa
Mangunegaran, dan Sanurji. Dalam folklor lisan, tabu nikah selalu dinyatakan
oleh Adipati Onje, padahal ia sendiri yang menjadi pelaku pembunuhan atau ia
bukan berasal dari pihak korban. Sebaliknya, pada folklore yang sudah menjadi
naskah, tabu nikah dinyatakan oleh Adipati Cipaku yang merasa dirinya dirugikan
akibat terbunuhnya Dewi Pakuwati oleh Adipati Onje. Namun, disini ada tambahan
tabu dari Adipati Onje yang menyatakan bahwa laki-laki Onje tidak boleh mayuh
(memadu dua orang istri atau lebih) atau wanita Onje diwayuh (dimadu
oleh suaminya). Secara keseluruhan, teks-teks yang disebutkan di atas berfungsi
sebagai alat legitimasi bagi leluhur Onje, Arsantaka, dan para bupati Purbalingga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Atmo, Tri. 1984. Babad dan Sejarah Purbalingga.
Purbalingga: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga. Balai
Penelitian Sejarah dan Budaya. 1981-1982. Sejarah dan Budaya: Seri Folklore.
Yogyakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Boechari. 1966. “Preliminary Report on the Discovery of an
Old-Malay Inscription at Sodjomerto,” Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia,
Oktober, Djilid III, No. 2 & 3.
Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng
Priyadi) 219
Bosch, F.D.K. 1975. Çrivijaya, Çailendra, dan Sanjayavamça.
Jakarta: Bhratara.
Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo. 1969. Inti Silsilah
dan Sedjarah Banjumas. Bogor: tanpa penerbit.
Casparis, J.G. de. 1956. Selected Inscriptions from the 7th to
the 9th Century A.D. Bandung: Masa Baru.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip,
Dongeng, dan Lainlain. Jakarta: Grafitipers.
___. 1985. “Mengumpulkan Folklore Bali Aga di Trunyan,” dalam
Koentjaraningrat & Donald D. Emmerson. Aspek Manusia dalam Penelitian
Masyarakat.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Gramedia.
Darmosoetopo, Riboet. 1977. Serat Sejarah Rupi Onje: Naskah dan
Transkripsi.
Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan,
Universitas Gadjah Mada.
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian
Filologi,” dalam Bahasa
dan Sastra, Tahun III, Nomor 1.
Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho
Notosusanto. Jakarta: UI-Press.
Hasselman, C.J. 1887. “De Perdikan Dessa’s is het District Tjahijana
(Afdeeling Poerbolinggo, Residentie Banjoemas),” Tijdschrift voor het
Binnenland Bestuur, deel I: 72-104.
Kartosoedirdjo, A.M. 1941. Babad Poerbalingga. Yogyakarta:
Museum Sana Budaya.
___. 1969. Diktat Riwajat Purbalingga. Selanegara: stensil.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di
Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah
Kontemporer. Jakarta: Idayu.
220 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 202-220
Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking
Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Priyadi, Sugeng. 2000a. “Indrawardhaya Wikramadewa (1),” Radar
Banyumas, edisi 10 Februari, Kamis Legi.
___. 2000b. “Indrawardhaya Wikramadewa (2),” Radar Banyumas,
edisi 17 Februari, Kamis Pon.
Purwaningsih, Endang. 1986. “Babad Onje (Transliterasi,
Terjemahan, Perbandingan dengan Babad Purbalingga),” Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Sasono & Tri Atmo. 1993. Mengenal Purbalingga (Banyumas):
Daerah Tempat Lahir Jenderal Sudirman. Jakarta: Paguyuban Arsakusuma.
Sulastin-Sutrisno, 1994. “Teori Filologi dan Penerapannya.” dalam
Siti Baroroh
Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Suputro. 1959. Tegal dari Masa ke Masa. Djakarta: Bagian
Bahasa Djawatan Kebudajaan, Kementrian P.P. dan K.
Teeuw, A. tt. Register op de Tekst en Vertaling van de Babad
Tanah Djawi (uitgave 1941). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1988. Sastra
dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya-Girirmukti Pasaka.
Tohirin. 2001. “Tabu Nikah Orang Desa Onje dengan Desa Cipaku
Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga,” Skripsi. Purwokerto:
FKIP-Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Van Peursen, C.A. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa tentang
Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Jakarta: Gramedia.
Winter Sr., C.F. & R. Ng. Ranggawarsita. 1988. Kamus Kawi
Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.