DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Selasa, 29 Maret 2016

PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIAL

Masa Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan, perekonomian, pendidikan, bahkan hingga tata cara pengairan masih banyak bergantung pada sarana-sarana pengairan peninggalan Belanda. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang penting untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari perubahan sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonial serta implikasinya pada sistem pendidikan saat ini.

Pendidikan Indonesia sebelum masa Kolonial.
Komunitas Paduraksa, sebuah komunitas pemerhati sejarah budaya Indonesia, dalam sebuah tulisan berjudul "Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia", mengelompokkan pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya menjadi tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha, pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial. Pada masa Hindu-Budha, dikatakan di uraian tersebut pula, mengutip dari tesis Agus Aris Munandar yang berjudul "Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15 (1990)", pendidikan dikenal dengan istilah "Karsyan", sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orangorang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Di mana patapan adalah tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para pendeta, murid, dan mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama dan nagara. Pada masa Islam, menurut tulisan Komunitas Paduraksa, pendidikan yang ada bisa dikatakan merupakan adaptasi dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha. Adaptasi antara sistem mandala dan uzlah (menyendiri) tampak pada tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman yang disebut pondok pesantren, dimana pondok pesantren tersebut biasanya jauh dari keramaian dan terkesan menyendiri (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada pendidikan masa Hindu-Budha dan pendidikan masa Islam, menurut saya tujuan dari pendidikan adalah untuk mencari jati diri dan tujuan hidup. Pencarian pengetahuan tentang untuk apa dirinya itu harus hidup. Hal-hal yang diajarkan juga sebatas pemikiran-pemikiran tentang manusia, ilmu-ilmu keagamaan ditambah ilmu-ilmu perdagangan dan pengolahan alam. Terlihat dari tujuan belajar pada masa Hindu-Budha, yaitu mencari petunjuk tentang apa yang diinginkan, baik baik buruknya hingga cara pencapaiannya. Sedangkan saat pendidikan masa Islam, tidak jauh berbeda dengan sistem mandala dimana merupakan tempat “belajar bersama”, mempelajari untuk apa manusia hidup, hubungannya dengan Tuhan dan juga hubungan dengan alam sekitar dan sebagainya.

Pendidikan Indonesia pada Masa Kolonial.
Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda. Sindiran dan kritik para kaum humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti Max Havelaar (Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, Multatuli,1860) sedikit banyak telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis (Ethical Policy - ‘Ethische Politiek), atau juga dikenal sebagai politik balas budi, pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia. Pada masa ini pula, pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda. Pertama adalah sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan pondok pesantren, pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan terakhir pendidikan "swasta pro-pribumi" seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada dasarnya banyak kemiripan dalam sistem pendidikan ala Hindia-Belanda dan pendidikan yang disediakan oleh kaum-kaum "pro-pribumi".


Pengaruh sistem pendidikan Indonesia pada masa kolonial dengan system Pendidikan saat ini.
Disebutkan di atas bahwa pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa dikatakan sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan system pada saat kolonial. Yaitu menciptakan manusia yang siap kerja, entah itu menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan, dan sebagainya. Pendidikan yang diberikanpun tipenya sama, kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan hanya butuh bisa baca tulis dan berhitung, saat ini ilmu yang diberikan dalam pendidikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk pengisi kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar. Sekalinya diberikan pengetahuan yang dapat diterapkan, ilmu tersebut diberikan dalam bentuk jadi, tidak perlu dipikirkan kembali. Bisa dikatakan pendidikan Indonesia saat ini seakan-akan hanya memberikan buku pedoman bagaimana harus bergerak tanpa harus berfikir. Akibatnya, keberadaan kaum-kaum pribumi Indonesia saat ini juga tidak jauh-jauh dari posisi "pegawai rendahan" seperti tujuan pemberian pendidikan pada masa kolonial. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman bagaimana harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan berlangsung. Penyebab lainnya adalah dangkalnya impian yang muncul tentang tujuan dari pendidikan tersebut. Tersebar secara umum dimasyarakat, tujuan pendidikan adalah supaya kelak dapat bekerja dan mencari uang. Tidak terbersit pemikiran dimana ilmu yang didapatkan pada saat pendidikan berlangsung tersebut akan dipergunakan. Dan dengan jalan apa ilmuilmu yang didapat di dalam pendidikan akan berguna nantinya.


Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda


Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi. Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembagalembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasipara penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia. Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris.
Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah
Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. 

POTRET PENDIDIKAN DI JEPANG SEBAGAI KONSEP PENCERAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

POTRET PENDIDIKAN JEPANG
Sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem masyarakat  feodal, yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya (sekolah kuil). Namun semenjak Restorasi Meiji (Meiji Ishin, 1868) dikibarkan, Jepang membelalakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia barat. Selain itu, Jepang mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya. Tujuannya tidak lain untuk mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat ”berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan dunia barat. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II (PD II) banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat pokok struktur baru yang dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings(1984), yaitu: Pertama, Sekolah Dasar (SD) wajib selama enam tahun. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi
warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada Sekolah Lanjutan Pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewargaannegaraan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan bekerja. Ketiga, setelah Sekolah Lanjutan Pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, Universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan Jepang yang dikembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk ”revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II. Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, memiliki gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyetakan pada bagian pendahuluan buku tersebut” sebagai jalan yang paling ampuh unruk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan. Kegiatan Jepang dalam mencerdaskan bangsanya menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dengan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi Negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sama dengan bangsa barat lainnya seperti Inggris maupun Prancis. Seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik isolasinya melaksanakan pendidikannya dengan system Terakoya (sekolah kuil) yang pada akhirnya pada zaman Shugun terdapat kurang lebih 7000 Terakoya menjadi dasar pelaksanaan sistem wajib belajar (gimu kyooiku). Berdasarkan artikel 26 paragraf 2 dalam Katarina Thomasevski mengenai penawaran konstitusi untuk pendidikan gratis, pemerintah Jepang menginterprestasikan penawaran tersebut secara sempit sebagai pelarangan pemungutan uang sekolah. Pemerintah mempertimbangkan penyediaan gratis hanya pada buku-buku ajar sebagaimana opsi legislatif. Kenyataannya, orang tua harus dibebani dengan beban biaya pendidikan yang mahal termasuk biaya untuk materimateri pembelajaran, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan lain seperti seragam sekolah dan olah raga. Selanjutnya, Yoshio Sugimoto dalam Katarina Thomasevski telah mengkonfirmasikan temuan-temuan NGO ini dengan menyatakan secara umum bahwa pendidikan di Jepang merupakan suatu bisnis yang mahal. Dia juga telah menegaskan bahwa definisi yang efektif mengenai pendidikan gratis hanya merujuk kepada wajib belajar sembilan tahun dan gratis didefinisikan secara sempit hanya untuk menghindari pemungutan uang sekolah (2006: 232). Upaya pemerintah dan bangsa Jepang dalam meningkatkan pendidikan bisa dikatakan berhasil. Pendidikan yang meluas dan membumi membuat hampir semua orang Jepang melek huruf mendekati angka 100%. Berdasarkan data statistik tahun1985, siswa Jepang yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi 94 % dan yang melanjutkan ke PT lebih kurang 38 %. Tingginya standar pendidikan Jepang tidak semata-mata muncul dengan sendirinya, tetapi ada ungkapan yang baik bagi bangsa Jepang, yaitu: ”kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan”. Membaca bagi orang Jepang merupakan kegiatan yang tak dipaksakan. Membaca tidak lepas dari kehidupan sehari-hari, di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau dengan kata lain di mana ada kehidupan di situ mereka membaca. Menurut William K. Cummings dalam (eka_@yahoo.co.id), beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga, Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan, guru Jepang bersikap adil. Kiat-kiat di atas juga dilaksanakan oleh negara lain, seperti Thailand, dalam buku Belajar dari Monyet, guru Shampon menerapkan pendidikan untuk monyet dengan biaya murah, tanpa membedabedakan peserta didik, bersikap adil, penuh dedikasi, dan pendidikan diprioritaskan pada skill (Rung Kaewdang: 2002). Disamping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide
egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Menurut Danasasmita dalam (eka_@yahoo.co.id), ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan ringannya mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain walaupun bantuan itu tidak seberapa. Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadehita (maaf, Anda telah berusaha payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria). Dari karakteristik yang disebutkan diatas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan bukanlah sekedar proses kegiatan belajar mengajar saja, melainkan sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai ”manusia” bukanlah seolah-olah manusia dijadikan ” jagung” atau ”padi” yang setiap enam bulan sekali diganti metode ”penanamannya”, Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep Pencerahan Pendidikan apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.

Pendidikan di Indonesia dan Pencerahannya
Pendidikan merupakan soko guru kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari hidup dan matinya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan ”Pendidikan adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan itu menjadi cambuk bagi kemajuan bangsa. Namun, kenyataannya hanyalah sebuah ”cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana rimbanya. Mengenang Indonesia yang dulu terkenal sebagai negara yang kaya raya tata, titi, tentrem, kerta, tur raharja sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan dikawasan ASSEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan. Bila kita bandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Vietnam sekalipun, kita masih kalah, apalagi dengan Malaisia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan ”ekspor” dosen-dosen kita mengajar di sana. Kurikulum made in Indonesia pun pernah dipekerjakan di Malaisia dekade tahu 70-an. Hasilnya, sungguh luar biasa, mereka berhasil investasi pendidikan dari bangsa serumpun itu telah\ berubah manis. Kemajuannya membuat mereka kini berkata ” Malaisia is Truly Asia”. Namun, sekarang kualitas pendidikan di Indonesia telah disalip oleh Malaisia dan Vietnam yang dulu masih berada jauh dibawah Indonesia. Ada pameo yang menyatakan bahwa Indonesia ini banyak koruptor, tetapi tidak ada koruptor ( artinya begitu licinnya para koruptor dalam menghindari jeratan hukum sehingga sulit ditangkap. Atau mungkin para penegak hukum masih ”malu-malu” menangkap koruptor. Hanya Allao swt. Yang Mahatahu. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusia-manusia dengan jalan memerangi semua bentuk pengucilan. Mengacu pada model pendidikan di Jepang bahwa pendidikan harus bersifat adil, tidak membeda-bedakan, tidak mahal, guru penuh dedikasi, kurikulum sarat, wajib belajar sembilan tahun dan pendidikan gratis, dan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pendidikan adalah baik untuk diterapkan di Indonesia. Membaca adalah kegiatan rutin. Di mana ada kehidupan di situ ada kegiatan membaca. Hafid Abbas dalam Education For All: The Purpose, Artikel III, butir satu mengatakan bahwa pendidikan dasar harus diberikan untuk semua anak-anak, pemuda, dan orang dewasa. Pada akhirnya, kualitas yang diberikan pada pendidikan dasar harus dikembangkan dan konsisiten pada aturan dan harus digunakan untuk mengurangi perbedaan. Pernyataan itu sesuai dengan prinsip keadilan dalam pendidikan dasar. Guru harus bisa bersikap adil kepada peserta didiknya tanpa membedakan atas dasar halhal yang melatar belakangi peserta didik. Pemberantasan buta huruf juga telah dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, agar program pemerintah bisa berhasil seperti di Jepang maka memerlukan proaktif dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, usaha harus dilakukan dengan melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khas mereka. Hal ini berarti para orang tua harus diikutsertakan berbicara tentang persekolahan anak-anaknya. Keluarga-keluarga miskin harus diberi bantuan sehingga mereka memandang bahwa sekolah untuk anak-anaknya bukan suatu biaya yang tidak teratasi.

Untuk menciptakan berbagai kemungkinan mengenali bakat dan keterampilan terpendam, dan untuk pengakuan sosial, sistem-sistem pengajaran hendaklah sejauh mungkin dianekaragamkan. Adapun, keluarga-keluarga dan penduduk serta lembaga-lembaga yang aktif di dalam masyarakat hendaklah dilibatkan dalam kemitraankemitraan pendidikan. Terlebih lagi, penting untuk belajar menerima keanekaragaman. Pendidikan untuk kemajemukan bukanlah diperlukan untuk berlindung terhadap kekerasan. Namun, adalah suatu prinsip aktif untuk pengayaan kehidupan budaya dan kewarganegaraan di dalam masyarakat sekarang. Antara hal-hal yang ektrem, abstrak, kesemestaan dan relativisme yang tidak membuat permintaan lebih tinggi diatas cakrawala setiap kebudayaan tertentu. Perlu ditegaskan adanya dua hal, yakni hak untuk berbeda dan penerimaan atas nilai-nilai universal (semesta) (UNESCO, 1996). Pendidikan dalam toleransi dan penghormatan kepada manusia-manusia lain, suatu prasarat untuk demokrasi hendaklah dipandang suatu usaha yang umum dan berkelanjutan. Untuk itu, yang dapat dilakukan di sekolah-sekolah adalah memberi kemudahan bagi praktik toleransin sehari-hari dengan membantu murid-murid menerima pandangan yang berbeda dari murid-maurid lain. Akan tetapi, juga diperlukan peranan sekolah untuk menjelaskan kepada kaum muda, latarbelakang sejarah, budaya atau religious dari berbagai ideologi yang bersaing untuk diperhatikan di dalam masyarakat sekitar mereka atau di sekolah. Rekomendasi-rekomendasi di atas bila dikaitkan dengan bidang Poleksosbud dalam pendidikan sebagai berikut. Bidang politik, bahwa pendidikan adalah proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila bangsa di sebuah negara adalah abngsa yang cerdas, akan berpengaruh pada pengelolaan dan tatanan pemerintahan maupun kehidupan bernegara. Pendidikan demokrasi dilaksanakan agar hasil pendidikan dapat mencerminkan sikap demokrasi dalam kehidupan. Bidang ekonomi, pendidikan yang dilaksanakan secara berkeadilan dan memfokuskan pada life skill seperti di Jepang
dan Thailand dapat menciptakan kesejahteraan bangsanya. Kesejahteraan ekonomi dan kehidupan bangsa sangat berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan suatu negara. Bidang sosial, pendidikan yang bersifat menghormati, toleransi, keadilan, serta memberdayakan berbagai golongan minoritas untuk pengendalian masa depannya adalah penting dilakukan, Hal ini, dapat membentuk manusia yang empati terhadap sesama dalam praktik kehidupan sehari hari sehingga tercipta masyarakat yang rukun dan damai. Bidang budaya, melalui pendidikan dapat menciptakan beraneka ragam budaya untuk mengembangkan budaya bangsa. Selain itu, melalui pendidikan diharapkan para generasi muda bisa menfilter masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan peradapaban dan kepribadian bangsa. Melalui pendidikan upaya melestarikan budaya bangsa lebih mengena.

SIMPULAN
Pembahasan di atas bisa disimpulkan sebagai berikut. Beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga,
Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan, guru Jepang bersikap adil. Di samping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep Pencerahan Pendidikan berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja didalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusiamanusia
dengan jalan memerangi semua bentuk pengucilan.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hafid. (2003). Community- Based Education. Jakarta: Teraju
Anonim. (2007). Potret Pendidikan di Jepang.
<<eka_kos@yahoo.co.id (Senin, 25 Juni 2007
Jacques Delor, Chairman. (1996). Belajar Harta Karun di Dalamnya. Jakarta: UNESCO.
Terjemahan dari Learning: The Treasure
Within oleh W.P. Napitupulu.
Kaewdang, Rung. (2002). Belajar dari Monyet. Jakarta: Grasindo

Tomasevski, Katarina. (2006). The State of The Right to Education Worldwide. Copenhagen.