POTRET
PENDIDIKAN JEPANG
Sebelum
Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem
masyarakat feodal, yaitu pendidikan untuk
samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya
(sekolah kuil). Namun semenjak Restorasi Meiji (Meiji Ishin, 1868)
dikibarkan, Jepang membelalakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding
dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang mereformasi pendidikan
secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia barat. Selain itu, Jepang mulai
giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku, di antaranya tentang
ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar
negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya. Tujuannya tidak lain untuk
mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat ”berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah” dengan dunia barat. Setelah Jepang kalah dalam
Perang Dunia II (PD II) banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan
perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat pokok struktur baru yang
dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings(1984), yaitu: Pertama,
Sekolah Dasar (SD) wajib selama enam tahun. Bertujuan untuk menyiapkan anak
menjadi
warga
yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya.
Kedua, sesudah SD ada Sekolah Lanjutan Pertama selama tiga tahun, punya
tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewargaannegaraan,
dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan bekerja. Ketiga,
setelah Sekolah Lanjutan Pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun.
Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan
memperoleh keterampilan kerja. Keempat, Universitas harus berperan
secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa
saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan Jepang
yang dikembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk ”revisi” dari struktur
pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II. Dari upaya tersebut,
lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa
Yukichi, memiliki gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam
bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi)
menyetakan pada bagian pendahuluan buku tersebut” sebagai jalan yang paling
ampuh unruk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan. Kegiatan Jepang
dalam mencerdaskan bangsanya menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya
pendidikan Jepang dengan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi Negara industri
utama di Asia, yang kedudukannya sama dengan bangsa barat lainnya seperti Inggris
maupun Prancis. Seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan
politik isolasinya melaksanakan pendidikannya dengan system Terakoya (sekolah
kuil) yang pada akhirnya pada zaman Shugun terdapat kurang lebih 7000 Terakoya
menjadi dasar pelaksanaan sistem wajib belajar (gimu kyooiku). Berdasarkan
artikel 26 paragraf 2 dalam Katarina Thomasevski mengenai penawaran konstitusi
untuk pendidikan gratis, pemerintah Jepang menginterprestasikan penawaran
tersebut secara sempit sebagai pelarangan pemungutan uang sekolah. Pemerintah mempertimbangkan
penyediaan gratis hanya pada buku-buku ajar sebagaimana opsi legislatif.
Kenyataannya, orang tua harus dibebani dengan beban biaya pendidikan yang mahal
termasuk biaya untuk materimateri pembelajaran, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan
lain seperti seragam sekolah dan olah raga. Selanjutnya, Yoshio Sugimoto dalam Katarina
Thomasevski telah mengkonfirmasikan temuan-temuan NGO ini dengan menyatakan
secara umum bahwa pendidikan di Jepang merupakan suatu bisnis yang mahal. Dia
juga telah menegaskan bahwa definisi yang efektif mengenai pendidikan gratis
hanya merujuk kepada wajib belajar sembilan tahun dan gratis didefinisikan
secara sempit hanya untuk menghindari pemungutan uang sekolah (2006: 232). Upaya
pemerintah dan bangsa Jepang dalam meningkatkan pendidikan bisa dikatakan
berhasil. Pendidikan yang meluas dan membumi membuat hampir semua orang Jepang
melek huruf mendekati angka 100%. Berdasarkan data statistik tahun1985, siswa
Jepang yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi 94 % dan yang melanjutkan ke PT
lebih kurang 38 %. Tingginya standar pendidikan Jepang tidak semata-mata muncul
dengan sendirinya, tetapi ada ungkapan yang baik bagi bangsa Jepang, yaitu:
”kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan”. Membaca bagi orang Jepang
merupakan kegiatan yang tak dipaksakan. Membaca tidak lepas dari kehidupan
sehari-hari, di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau dengan kata lain di mana
ada kehidupan di situ mereka membaca. Menurut William K. Cummings dalam (eka_@yahoo.co.id),
beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui
pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan
datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga,
Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum
sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima,
sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan
kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan,
guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan,
guru Jepang bersikap adil. Kiat-kiat di atas juga dilaksanakan oleh negara lain,
seperti Thailand, dalam buku Belajar dari Monyet, guru Shampon menerapkan
pendidikan untuk monyet dengan biaya murah, tanpa membedabedakan peserta didik,
bersikap adil, penuh dedikasi, dan pendidikan diprioritaskan pada skill (Rung
Kaewdang: 2002). Disamping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak
dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar
biasa dalam berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada
pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3)
prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide
egalitarianisme;
(5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi
semua lapisan masyarakat. Menurut Danasasmita dalam (eka_@yahoo.co.id), ada
beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama,
orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan ringannya
mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan
orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain walaupun bantuan
itu tidak seberapa. Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain,
dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadehita (maaf, Anda telah berusaha
payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan
ganbatte kudasai (berusahalah). Keempat, orang Jepang punya semangat yang
tidak pernah luntur, tahan banting dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal
dengan semangat bushido (semangat kesatria). Dari karakteristik yang disebutkan
diatas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat
pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di
dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan bukanlah sekedar
proses kegiatan belajar mengajar saja, melainkan sebagai proses penyadaran
untuk menjadikan manusia sebagai ”manusia” bukanlah seolah-olah manusia
dijadikan ” jagung” atau ”padi” yang setiap enam bulan sekali diganti metode
”penanamannya”, Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep
Pencerahan Pendidikan apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek
ditinggalkan.
Pendidikan
di Indonesia dan Pencerahannya
Pendidikan
merupakan soko guru kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak
akan lepas dari hidup dan matinya mutu pendidikan negara yang bersangkutan.
Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhir-akhir
ini muncul pula sebuah slogan ”Pendidikan adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan
itu menjadi cambuk bagi kemajuan bangsa. Namun, kenyataannya hanyalah sebuah
”cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana rimbanya. Mengenang
Indonesia yang dulu terkenal sebagai negara yang kaya raya tata, titi,
tentrem, kerta, tur raharja sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan
dikawasan ASSEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan. Bila kita bandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Vietnam sekalipun, kita masih kalah, apalagi dengan
Malaisia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan ”ekspor” dosen-dosen
kita mengajar di sana. Kurikulum made in Indonesia pun pernah
dipekerjakan di Malaisia dekade tahu 70-an. Hasilnya, sungguh luar biasa,
mereka berhasil investasi pendidikan dari bangsa serumpun itu telah\ berubah
manis. Kemajuannya membuat mereka kini berkata ” Malaisia is Truly Asia”. Namun,
sekarang kualitas pendidikan di Indonesia telah disalip oleh Malaisia dan Vietnam
yang dulu masih berada jauh dibawah Indonesia. Ada pameo yang menyatakan bahwa Indonesia
ini banyak koruptor, tetapi tidak ada koruptor ( artinya begitu licinnya para koruptor
dalam menghindari jeratan hukum sehingga sulit ditangkap. Atau mungkin para penegak
hukum masih ”malu-malu” menangkap koruptor. Hanya Allao swt. Yang Mahatahu. Belajar
dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta
ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan
hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan
kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan
pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam
masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusia-manusia dengan
jalan memerangi semua bentuk pengucilan. Mengacu pada model pendidikan di Jepang
bahwa pendidikan harus bersifat adil, tidak membeda-bedakan, tidak mahal, guru penuh
dedikasi, kurikulum sarat, wajib belajar sembilan tahun dan pendidikan gratis,
dan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pendidikan adalah baik untuk diterapkan
di Indonesia. Membaca adalah kegiatan rutin. Di mana ada kehidupan di situ ada
kegiatan membaca. Hafid Abbas dalam Education For All: The Purpose,
Artikel III, butir satu mengatakan bahwa pendidikan dasar harus diberikan untuk
semua anak-anak, pemuda, dan orang dewasa. Pada akhirnya, kualitas yang
diberikan pada pendidikan dasar harus dikembangkan dan konsisiten pada aturan dan
harus digunakan untuk mengurangi perbedaan. Pernyataan itu sesuai dengan prinsip
keadilan dalam pendidikan dasar. Guru harus bisa bersikap adil kepada peserta didiknya
tanpa membedakan atas dasar halhal yang melatar belakangi peserta didik. Pemberantasan
buta huruf juga telah dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, agar program
pemerintah bisa berhasil seperti di Jepang maka memerlukan proaktif dari masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, usaha harus dilakukan dengan melaksanakan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khas mereka. Hal ini berarti para orang
tua harus diikutsertakan berbicara tentang persekolahan anak-anaknya. Keluarga-keluarga
miskin harus diberi bantuan sehingga mereka memandang bahwa sekolah untuk
anak-anaknya bukan suatu biaya yang tidak teratasi.
Untuk
menciptakan berbagai kemungkinan mengenali bakat dan keterampilan terpendam,
dan untuk pengakuan sosial, sistem-sistem pengajaran hendaklah sejauh mungkin dianekaragamkan.
Adapun, keluarga-keluarga dan penduduk serta lembaga-lembaga yang aktif di
dalam masyarakat hendaklah dilibatkan dalam kemitraankemitraan pendidikan.
Terlebih lagi, penting untuk belajar menerima keanekaragaman. Pendidikan untuk
kemajemukan bukanlah diperlukan untuk berlindung terhadap kekerasan. Namun,
adalah suatu prinsip aktif untuk pengayaan kehidupan budaya dan kewarganegaraan
di dalam masyarakat sekarang. Antara hal-hal yang ektrem, abstrak, kesemestaan
dan relativisme yang tidak membuat permintaan lebih tinggi diatas cakrawala
setiap kebudayaan tertentu. Perlu ditegaskan adanya dua hal, yakni hak untuk
berbeda dan penerimaan atas nilai-nilai universal (semesta) (UNESCO, 1996). Pendidikan
dalam toleransi dan penghormatan kepada manusia-manusia lain, suatu prasarat
untuk demokrasi hendaklah dipandang suatu usaha yang umum dan berkelanjutan.
Untuk itu, yang dapat dilakukan di sekolah-sekolah adalah memberi kemudahan
bagi praktik toleransin sehari-hari dengan membantu murid-murid menerima
pandangan yang berbeda dari murid-maurid lain. Akan tetapi, juga diperlukan
peranan sekolah untuk menjelaskan kepada kaum muda, latarbelakang sejarah,
budaya atau religious dari berbagai ideologi yang bersaing untuk diperhatikan
di dalam masyarakat sekitar mereka atau di sekolah. Rekomendasi-rekomendasi di
atas bila dikaitkan dengan bidang Poleksosbud dalam pendidikan sebagai berikut.
Bidang politik, bahwa pendidikan adalah proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apabila bangsa di sebuah negara adalah abngsa yang cerdas, akan berpengaruh
pada pengelolaan dan tatanan pemerintahan maupun kehidupan bernegara.
Pendidikan demokrasi dilaksanakan agar hasil pendidikan dapat mencerminkan
sikap demokrasi dalam kehidupan. Bidang ekonomi, pendidikan yang dilaksanakan
secara berkeadilan dan memfokuskan pada life skill seperti di Jepang
dan
Thailand dapat menciptakan kesejahteraan bangsanya. Kesejahteraan ekonomi dan
kehidupan bangsa sangat berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan suatu negara.
Bidang sosial, pendidikan yang bersifat menghormati, toleransi, keadilan, serta
memberdayakan berbagai golongan minoritas untuk pengendalian masa depannya
adalah penting dilakukan, Hal ini, dapat membentuk manusia yang empati terhadap
sesama dalam praktik kehidupan sehari hari sehingga tercipta masyarakat yang
rukun dan damai. Bidang budaya, melalui pendidikan dapat menciptakan beraneka ragam
budaya untuk mengembangkan budaya bangsa. Selain itu, melalui pendidikan
diharapkan para generasi muda bisa menfilter masuknya budaya luar yang tidak
sesuai dengan peradapaban dan kepribadian bangsa. Melalui pendidikan upaya
melestarikan budaya bangsa lebih mengena.
SIMPULAN
Pembahasan
di atas bisa disimpulkan sebagai berikut. Beberapa faktor yang mendukung
berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai
berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua,
sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga,
Jepang
tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah
Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima,
sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan
kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan,
guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan,
guru Jepang bersikap adil. Di samping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan
terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi
yang luar biasa dalam Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep
Pencerahan Pendidikan berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar
sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3)
prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme;
(5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi
semua lapisan masyarakat. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk
tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau
kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari
esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama
harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara
kekuatan-kekuatan yang bekerja didalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai
tempat berbaurnaya manusiamanusia
dengan
jalan memerangi semua bentuk pengucilan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Hafid. (2003). Community- Based Education. Jakarta: Teraju
Anonim.
(2007). Potret Pendidikan di Jepang.
<<eka_kos@yahoo.co.id
(Senin, 25 Juni 2007
Jacques
Delor, Chairman. (1996). Belajar Harta Karun di Dalamnya. Jakarta:
UNESCO.
Terjemahan
dari Learning: The Treasure
Within
oleh
W.P. Napitupulu.
Kaewdang,
Rung. (2002). Belajar dari Monyet. Jakarta: Grasindo
Tomasevski,
Katarina. (2006). The State of The Right to Education Worldwide. Copenhagen.