DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Senin, 26 Oktober 2015

Perjalanan Ke Sindoro

Perjalanan Ke Sindoro
Jalur pendakian gunung sindoro Via Sigedang adalah jalur lewat punggung gunung sebelah utara. Sigedang adalah sebuah desa di wonosobo. Desa Sigedang masuk dalam Kecamatan Tambi, Kabupaten Wonosobo. Jalur ini dikenal juga jalur Sikatok

 PETA JALUR PENDAKIAN SIGEDANG TAMBI


BASECAMP JALUR SIGEDANG TAMBI
Basecamp dirumah Bapak Amin selaku juru kunci Gunung Sindoro


MEMULAI PENDAKIAN
Basecamp – Perkebunan The (30 menit) – Pos 1 (30 menit)
Dari basecamp kita akan berjalan melewati kebun teh. Pemandangan kebun teh akan menyegarkan mata dan trek yang masih datar juga akan memudahkan kita

(Pos I)

POS I – POS II Gardu Pandang (30 menit) selanjutnya trek juga masih seputaran kebun teh

POS III – Watu Susu/Tebing Jeblungan Alit (3 jam)
(Watu Susu)

Watu Susu – Puncak Alun-Alun Segoro Wedi (1,5 jam)
Dari watu susu kita akan melewati jalur yang lebih menanjak lagi, untuk mencapai segoro wedi kita membutuhkan waktu 1,5 jam saja.
(Segoro Wedi)

Dari puncak Segoro Wedi kita bisa menuju Pasar Setan 10 menit disana kita juga bias menemui makam Jogo Negoro. Di puncak Sumbing juga terdapat kawah yang masih aktif.

Kalkulasi waktu:
Basecamp – Perkebunan Teh (30 menit) – Pos I (30 menit)
Pos I – Pos II Gardu Pandang (30 menit)
Pos II – Pos III (30 menit)
Pos III – Watu Susu/Tebing Jeblugan Alit (3 jam)
Watu Susu – Puncak Alun-Alun/Segoro Wedi (1,5 jam)
TOTAL 6,5 jam, untuk waktu turun gunung sekitar 3-4 jam.

KTSP sebagai Dokumen dan Paradigma


“KTSP sebagai Dokumen dan Paradigma”

DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH
KAJIAN KURIKULUM dan BUKU TEKS
DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. HAIKAL HUSEIN
Oleh:
Restu Ikhtian Prayogo
 (1301020017)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2015
KTSP sebagai Dokumen dan Paradigma
Perubahan kurikulum pada dasarnya bukanlah sekedar perubahan dokumen akan tetapi ada sisi lain yang seharusnya ikut berubah. Sisi lain itu adalah pola berpikir dan bertindak yang dikenal dengan paradigm. Paradigma dalam konteks diartikan sebagai pola berpikir dan bertindak dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya perubahan pola berpikir dan bertindak dimulai dari persiapan pelaku dan pelanggan pendidikan untuk berubah. Jika manusiannya tidak mempersiapkan diri untuk berubah, perubahan ini tidak akan terjadi. Perubahan paradigm itu terjadi manakalanya manusia itu mau berubah. Fenomena yang mengapung ternyata sangat kontras, hal itu dilihat pada perubahan kurikulum yang terjadi. Pada saat dokumen dan prinsip kurikulum mengalami perubahan ternyata paradigm manusiannya tidak berubah. Bahkan ada kecenderungan untuk mempertahankan yang lama. Selain itu guru tidak memiliki keberanian untuk berinovasi dalam melakukan penjabaran dan penyesuaian. Mereka dihantui rasa takut karena ada penyeragaman. Akibat pola berpikir dan bertindak guru menjadi apriori. Mereka lebih menerima apa adanya ketimbang mencari masalah untuk melaksanakan hak dan kewajiban, yakni melaksanakan penjabaran dan penyesuaian. Untuk apa penyesuaian dilakukan yang pada akhirnya benar adalah penyeragaman. Untuk penjabaran sendiri dilakukan,akhirnya akan berpulang dan terpakai buku-buku yang disahkan oleh pemerintah. Fenomena yang seperti itu sampai kini ternyata masih ada. Fenomena seperti itu kelihatanya masih ada keberlanjutan. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakmautahuan. Para pelaku dan pelanggan pendidikan mestinya mendapatkan sosialisasi mengenai KTSP secara holistic bukan sporadis. Mereka mestinya sampai pada tingkat pemahaman, bahwa perubahan kurikulum bukanlah perubahan dokumen semata tetapi juga perubahan paradigma (pola berpikir dan bertindak). Perubahan kurikulum bukanlah sekedar perubahan materi pembelajaran, tetapi juga perubahan otoritas dalam pelaksanaan. Jika mereka tidak diberitahu dan tidak mau tahu, niscaya, pelaksanaan KTSP akan tetap sama nasibnya dengan kurikulum yang sebelumnya.
Ada dua perubahan yang diharapkan dalam aplikasi KTSP. Kedua perubahan itu adalah perubahan dokumen atau teks kurikulum dan perubahan paradigma atau pola berpikir dan bertindak. perubahan dokumen atau teks kurikulum dan perubahan perangkat pembelajaran. Perubahan paradigma berhubungan dengan pola berpikir dan pola bertindak dalam memandang, menyikapi dan melaksanakan kurikulum tersebut. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapatkan pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan dan percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan , keindividuan, kesosialan dan moral. Kurikulum dilakanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia dengan menggunakan prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan juga seni, relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat, seimbang antara kepentingan nasional dan daerah. KTSP adalah kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Hal ini menyiratkan, kurikulum yang digunakan pada setiap satuan pendidikan adalah kurikulum yang disusun sesuai dengan keadaan dan kebutuhan peerta didik, satuan pendidikan, daerah dengan mengacu pada standar isi dan standar kompetensi kelulusan. Jika disusun sesuai dengan keadaan dan kebutuhan, tentulah kurikulum itu akan dapat memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu diantaranya: a) pelayanan yang optimal, adil dan merata kepada semua peserta didik, b) pelajaran klasikal dan pelayanan individual, c) mengubah mengajar menjadi membelajarkan. Pelayanan pendidikan yang bermutu dapat terjadi apabila dokumen kurikulum yang disusun benar-benar dapat mengakomodasi semua kebutuhan siswa. KTSP hanya akan berfungsi sebagai pelayanan pendidikan yang bermutu apabila teks kurikulumnya benar dan sumber daya manusianya mengubah paradigm.
Saat ini, reformasi pendidikan merupkan dasar utama untuk menghindari disorganisasi massal  dan merupakan landasan reformasi politik dan reformasi hukum. Walaupun kurikulum telah disusun secar terencana, kemungkinan mengalami kegagalan dalam proses implementasinya merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Kegagalan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai factor yang meliputi antara lain kurang pemahaman pada konsep kurikulum dan cara melaksanakannya, kurang tersediannya sarana pembelajran ang mendukung serta kekuranglayakan tenaga pendidik. Di beberapa Negara maju, mengatasi kesenjangan kurikulum sekolah dengan lapangan pekerjaan, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak industri atau pihak perusahaan mengirim para staf yang berkualitas dalam proses pembelajaran di sekolah kejuruan. Langkah ini sudah dilakukan di pendidikan tinggi, misalnya mendatangan dosen tamu. Untuk menyempurnakan kurikulum tersebut perlu dibentuk jaringan kerjasama atau aliansi strategis antara pendidikan tinggi, termasuk pendidikan dasar dan menengah dengan kaum intelektual, professional,tokoh masyarakat dan anggota masyarakat. Kerjasama link and match tersebut diupayakan keterbukaan lembaga pendidikan formal terhadap perkembangan masyarakat. Karena aspirasi vokasional tidak ditumbuhkan oleh sekolah,tetapi sebagai akibat dari penguasa pasar kerja, observasi terhadap orang tua dan lingkungan. Peninjauan kurikulum mengadopsi kurikulum perlu dioperasionalkan melalui 3 tahap adopsi materi kurikulum yaitu identifikasi kurikulum, mendapatkan bahan kurikulum, dan analisis bahan, untuk menilai kelayakan bahan pengajar perlu dilakukan penilaian bahan kurikulum dengan cara melakukan pemeriksaan bahan kurikulum, pemeriksaan bahan di lapangan, dan pembuataan keputusan adopsi bahan.
Melalui semangat otonomi dan desentralisasi , KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri sehingga sekolah diberikan otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Meskipun demikian, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yaitu kurikulum yangtelah dibuat oleh pusat. Berkenaan dengan ini, Soedijarto berpendapat bahwa saat ini pada semua jejang pendidikan perlu dirancang suatu system pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembeajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan pada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan menyediakan guru yang professional yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik, menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru, menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan dan buku bacaan (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai menikmati belajar, evaluasi yang terus menerus komprehensif dan obyektif. Dalam mengimplementasikan kurikulum , E Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan kurikulum misalnya (1) pembelajaran konstektual, (2) bermain peran, (3) perkembangan partisipatif, (4) belajar tuntas, (5) pembelajaran dengan modul. Implementasi kurikulum setidaknya dipengaruhi oleh tiga factor yaitu sebagai berikut:
1.      Karakteristik kurikulum yang mencakup  ruang lingkup, ide baru suatu kurikulumdan kejelasannya bagi pengguna di lapangan.
2.      Strategi implementasi yaitu strategi yang digunakan dalam implementasinya, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, loka karya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong kurikulum lapangan.
3.      Karakteristik pengguna kurikulum yang meliputi, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuan dalam pembelajaran (dalam Mulyasa , 2009:179-180).
KTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam konteks desntralisasi pendidikan dan otonomi daerah, yang akan memberikan wawasan baru terhadap system yang sedang berjalan selama ini. Mengingat peserta didik dating dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat social,salah perhatian sekolah harus ditunjukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang social, ekonomi, maupun politik. Disisi lain sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta bertanggungjawab kepada masyarakat dan pemerintah. Karakteristik KTSP dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, professionalism tenaga kependidikan, serta system penilaian (dalam Mulyasa , 2007:29). Implementasi KTSP adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan kurikulum kepada peserta didik untuk membentuk kompetensi mereka sesuai dengan karakteristik dan kemampuan masing-masing. Tugas guru dalam mengimplementasikan KTSP adalah bagaimana memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, agar mereka mampu berinteraksi dengan lingkungan eksternal sehingga terjadi perubahan perilaku sesuai dengan yang dikemukakan standar isi (SI) dan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL). Implementasi KTSP membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilimiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Implementasi KTSP akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran yakni bagaimana agar isi atau pesan-pesan kurikulum (SK-SD) dapat dicerna oelh peserta didik secara tepat dan optimal. Guru harus berupaya agar peserta didik dapat membentuk kompetensi dirinya sesuai dengan apa yang digariskan dalam kurikulum (SK-SD), bagaimana dijabarkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam hal ini akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kea rah yang lebih baik.


Memanusiakan Orang Sakit Jiwa

Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya jika ia akhirnya bisa dikenal luas seperti sekarang ini. Sosoknya muncul di media cetak dan juga layar kaca. Ia pun mendapat undangan mengisi tausiyah ke mana-mana, bahkan sampai ke luar pulau Jawa. Padahal, ia hanya kiai kampung yang tinggal di desa terpencil. Tetapi, berkat empatinya menolong orang tersingkir, tertindas dan  akhirnya mengangkatnya ke tempat yang mulia. "Saya sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa saya bisa tampil di televisi dan kampung saya jadi terkenal. Ini semua semata-mata karena anugerah dari Allah," ujar laki-laki kelahiran Bungkanel, 19 Juli 1953 yang bernama lengkap H. Supono Mustadjab.
Awal popularitas laki-laki satu ini, tak dimungkiri berkat keberpihakannya pada Sumanto, sang pemakan jenazah yang sempat menghebohkan negara ini –lantaran pada tahun 2003 silam membongkar, mencuri dan memakan mayat Mbah Rinah. Di saat semua warga tempat kelahiran sang kanibal itu (dan bahkan keluarga Sumanto sendiri) dengan mentah-mentah tak mau menerima kehadiran Sumanto kembali ke kampung halaman (di Plumutan, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah), sekeluar dari penjara justru dengan tangan terbuka H Supono Mustajab menampung dan merawat Sumanto. Dengan “nurani yang tersentuh” itulah, ia dikenal luas apalagi setelah hampir setahun ternyata Sumanto benar-benar taubat dan sembuh.
tak tega Sosok satu ini, memang layak disebut langka. Di era seperti sekarang ini, susah menemukan orang seperti H Supono. Sosok langka dengan keikhlasan dan ketulusan, yang mau bersusah payah membantu Sumanto di kala banyak orang justru mencemooh. Tapi, dilandasi jiwa kemanusiaan, ia berani menerima resiko dan ternyata perjuangan itu berhasil.
Ceritanya, di hari-hari terakhir Sumanto mau dibebaskan dari penjara, kabar itu santer beredar bahwa warga nyaris dihantui takut, terutama warga Plumutan. Dengan berat hati warga tempat kelahiran Sumanto pun protes dan tak mau menerima kembali Sumanto untuk pulang ke kampung.
Kabar itu rupanya membuat Supono Mustajab, mantan kepala desa Bungkanel tersentuh. Setelah membaca koran lokal, ia langsung pergi ke kampung Plumutan guna menemui kepala desa dan keluarga Sumanto untuk mencari tahu. "Setelah bertemu dengan kepala desa, saya langsung menemui orangtua Sumanto (keluarganya). Di sana saya baru tahu, bahwa ibu Sumanto sendiri “mencak-mencak” tidak mau menerima Sumanto, dan mempersilahkan saya membawa Sumanto kalau berniat mau menolong. Saya tahu kenapa Sumanto ditolak? Sumanto dianggap menakutkan. Warga tak berani menerima dia kembali ke kampung halaman," cerita suami dari Hj. Siti Sofiyatun.
Dengan berbekal izin kepala desa dan keluarga Sumanto itulah, maka H Supono kemudian pergi ke lapas Purwokerto. "Saat pertama kali datang, memang penjaga tidak mengizinkan saya masuk. Saya mencari akal, mengatakan bahwa saya ini menjenguk Sumanto sebagai Ketua RMI Robitoh Maqhad Islamiah Purbalingga, dan Ketua Pemuda Pancasila Purbalingga. Akhirnya, penjaga mengizinkan. Dalam kesempatan itulah, saya bilang warga dan keluarga Sumanto tak menerimanya. Saya kasihan. Kedatangan saya kesini ingin merawat Sumanto di rumah sakit Jiwa saya Ketulusan Supono untuk merawat Sumanto itu, ternyata masih belum mendapat jawaban. Tetapi, saat mau lebaran, akhirnya kabar dari lapas itu datang lewat telepon, "Saya diberitahu bahwa pihak keluarga Sumanto dan seluruh wartawan media cetak akan berkunjung ke rumah saya untuk melihat persiapan saya menerima Sumanto. Karena Sumanto itu orang luar biasa. Jadi butuh persiapan ekstra hati-hati.
Setelah semua datang ke Bungkanel untuk melihat persiapan Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga, milik Supono, ternyata semua orang setuju jika Sumanto tinggal di sana. "Maka, dalam waktu seminggu saya kerja keras mempersiapkan tempat khusus buat Sumanto, kamar yang berpintu besi yang ditambah keamanan rangkap tiga, karena orang di desa saya pun takut akan kehadiran Sumanto," ujar ayah dari Retno Sulistianingsih ini tegas. Anehnya, saat sudah ada kepastian bahwa Sumanto akan menghuni rumah sakit jiwa milik Supono, warga Bungkanel yang sebelumnya setuju Supono mendadak ragu. Padahal, sebelumnya Supono sudah memberikan penyadaran di acara pengajian dan pertemua desa dan bahkan telah meminta tanda tangan dari semua pejabat desa. Nyaris semua orang setuju. Tetapi, tiba-tiba ada pejabat desa yang menolak. Akhirnya, warga yang sadar tiba-tiba goyah.
"Akhirnya, saya berjuang keras memberikan penjelasan bahwa saya menerima Sumanto atas dasar hadits dari rasulullah bahwa surga itu merindukan empat golongan. Pertama, golongan orang yang membaca al-Qur`an. Kedua, adalah golongan orang yang menjaga lisan. Ketiga, golongan orang yang memberi makan orang yang lapar, memberi arahan, mengentaskan orang teraniya tertindas dan tersiksa. Keempat, adalah golongan orang yang puasa di bulan suci ramadhan. Saya ini mengambil golongan yang ketiga, menolong orang teraniaya dan tersiksa." Rupanya, dalil itu meruntuhkan hati warga dan menerima kehadiran Sumanto untuk tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba di Desa Bungkanel. Dulu menanggung biaya warga Rasa kemanusiaan Supono untuk menampung Sumanto adalah sebagian kecil dari kiprahnya. Karena, H Supono sudah lama berkecimpung di bidang pembangunan mental. Tak berlebihan, kalau Wisma Rehabilitasi Sosial Mental dan Narkoba yang dulu ada di sebelah rumah Supono, kini sudah dibangun megah, mentereng dan siap untuk menampung 200 pasien. Padahal, rumah sakit jiwa yang kini berdiri megah itu tak akan terbangun jika dulu H Supono Mustajab tergerak hati. Ia prihatin terhadap orang-orang sakit yang tak mampu untuk berobat. Jadi ceritanya, sekitar tahun 70-an, H Supono Mestajab menjabat sebagai lurah kampung Bungkanel. Dengan jabatan itu, tentu ia dituntut dedikasi yang tinggi untuk menolong warganya yang ditimpa musibah. Dia pun memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan seorang warga di kampungnya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk berobat. Anehnya, orang yang sakit itu adalah orang yang tak mampu. Makanya, setelah keluar dari rumah sakit, terpaksa H Supono yang menanggung biaya pengobatan.
Dengan pengalaman pahit itu, H Supono berpikir, "Saya berpikir panjang, jika begini terus, dan negara tak mau memberi tanggung jawab, terus bagaimana keadaan warga? Pemerintah lebih membangun pembangunan fisik, dan siapa yang membangun mental masyarakat? Akhirnya, dari situlah saya berniat membangun mental masyarakat dengan mendirikan rumah sakit jiwa. Padahal saat saya menjabat sebagai kepala desa, waktu itu saya belum memiliki rumah. Maka, jika ada orang sakit, masih saya titipkan. “kenang mantan Kepala Desa Bungkanel ini.
Kini, rumah sakit jiwa itu sudah berdiri dengan megah dan sudah didedikasikan H Supono sebagai rumah sakit jiwa “termurah”. Selain itu, kini juga sudah dibangun sekitar 200 kamar dan bahkan dengan ikhlas, H Supono Mustajab pun berjanji memberi jaminan bagi mereka yang tidak mampu (miskin) agar tidak dikenai biaya, alias gratis. Bahkan selama ini pun, keberadaan Sumanto tinggal di rumah sakit jiwa milik Supono pun semata-mata atas biaya pribadi dari H. Supono. Derajat terangkat Tetapi, niat baik dari H Supono merawat dan menyembuhkan orang yang sakit itu ternyata tidak sia-sia. Ada balasan dari Allah. "Tuhan mengatakan, siapa saja yang menduduki angka satu dari empat golongan itu (hadits yang menjadi alasan H Supono menerima Sumanto di atas –red), Allah akan mengangkat derajat mereka. Dan ternyata benar, akhirnya derajat saya diangkat oleh Allah. Saya masuk tv, koran juga diundang ceramah kemana-mana. Padahal, saya sama sekali tak pernah berpikir jika akhirnya bisa masuk tv berkat Sumanto. Ini karena Allah. Itulah janji Allah yang diyakini H Supono berkat menolong orang yang tersisih. Apalagi, dengan program dan misi yang diterapkan dalam merawat dan membimbing pasien di wismannya yang kerap pula dijuluki Pondok An-Nur itu, berbeda dengan Rumah Sakit Jiwa pada umumnya. Di wisma milik H Supono pasiennya dikenalkan dengan agama. Bahkan program khusus untuk Sumanto, kiai kampung ini pun ternyata membimbing dengan baik. “saya punya program mendidik Sumanto dengan 3 program. Pertama, wasis yakni mendidik agar menjadikannya pintar, kedua menjadikannya waras (sehat) secara jasmani maupun pikiran dan yang ketiga adalah warek (kenyang) agar dia sekeluar dari sini nanti bisa mencari uang untuk dirinya sendiri dan keluargannya”.
Tidak mencengangkan, ternyata 3 program itu mujarab. Kini, Sumanto sudah taubat dan bisa mengisi ceramah mendampingi H Supono.


Sekilas tentang sosok H Supono
Nama               : H Supono Mustajab
Lahir                : Bungkanel, 19 Juli 1953
Istri                  : Hj. Siti Sofiyatun S.Sos
Anak   :
1.      Rukhman Basori, MA
2.      Imam Fauzi Wahyudiana
3.      Retno Sulistianingsih
4.      Muliasari
Pendidikan      :
1.      SR 6 Tahun di SR Bungkanel
2.      MTsN 3 tahun di Karanganyar
3.      Sekolah Persiapan Ilmu Agama Negeri Purbalingga 3 tahun