DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Selasa, 01 Desember 2015

Pisang Aneh di Gedung Miring (Bungkanel)

Pisang Aneh di Gedung Miring
Kalau di Negeri Italia ada sebuah bangunan miring yakni Menara Pisa yang sangat termasyhur di seluruh dunia, maka di Indonesia juga ada bangunan  yang disebut Gedung Miring, letaknya di Panti Rehabilitasi Jiwa dan Narkoba “H.Mustajab“, Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Bangunan berkapasitas sekitar 100 kamar itu dibangun pada tahun 2008 yang menghabiskan dana sebesar Rp. 1,8 Milyar. Mengapa disebut Gedung Miring, karena tata letak kamar-kamar pada bangunan itu dibuat sedemikian rupa sehingga tidak lurus antara yang satu dengan lainnya alias miring. Ini mengandung makna bangunan itu sebagai tempat untuk merawat orang yang menderita gangguan jiwa atau miring. “Kalau tidak mau menjadi penghuni Gedung Miring maka janganlah berperilaku miring,“ pesan Haji Supono Mustadjab selaku pengelola panti rehabilitas jiwa dan narkoba. Tampaknya, hal yang aneh memang melekat di bangunan ini. Di kebun bagian belakang gedung miring ada pohon pisang yang aneh. Pohon pisang dengan tingginya sekitar tiga meter dan bertunas empat batang itu mempunyai dua tandan pisang dengan tiga buah jantung pisang. Tandan yang satu terdiri dari tujuh sisir dengan satu buah jantung pisang, tandan yang satunya lagi terdiri dari lima sisir dan mempunyai buah dua jantung pisang.
“Pohon pisang tersebut ditanam setahun yang lalu. Beberapa hari setelah pisang tersebut ditanam, saya mendapat firasat akan terjadi suatu keanehan,” ujar H. Supono tentang pohon pisang aneh itu.

Senin, 30 November 2015

WISATA RELIGI DESA ONJE

WISATA RELIGI DESA ONJE
Untitled-1.jpg

Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Sejarah Pariwisata
Pengampu :
Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum.


Oleh    :
Restu Ikhtian Prayogo (1301020017)



Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
November 2015


WISATA RELIGI DESA ONJE

Desa Onje merupakan desa yang berada di Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga. Sebagai desa yang termasuk desa tua, sudah barang tentu mempunyai Babad atau sejarah tersendiri. Sejarah adalah suatu pengetahuan tentang peristiwa yang terjadi dalam masyarakat manusia pada waktu yang lampau sesuai dengan rangkaian kualitasnya, serta proses perkembangannya dalam segala aspeknya yang berguna sebagai pengalaman untuk dijadikan pedoman kehidupan manusia pada masa sekarang serta arah cita-cita pada masa yang akan datang. Sebagai bukti hasil cipta, rasa dan karsa nenek moyang, maka sejarah sangat perlu dipelajari, diteliti dan dikaji untuk mendapatkan suatu bentuk tulisan yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Disamping istilah sejarah juga ada istilah babad yang berasal dari bahasa Jawa. Kata babad berarti geschiekundig verhaal atau cerita sejarah. Karya sastra babad di Jawa diperkirakan mulai berkembang selambat-lambatnya pada akhir abad 17. Babad Onje sendiri merupakan cikal bakal Babad Purbalingga.
Penulis mencoba untuk menggali sejarah serta babad yang berkembang di masyarakat Desa Onje. Namun dari pengertian sejarah dan babad yang dikemukakan diatas maka penulis masih mengalami kendala karena dalam naskah babad yang ada. Belum ditemukan waktu atau masa terjadinya peristiwa yang terjadi pada masa lampau di Desa Onje. Hanya menyebutkan kekuasaan raja-raja, mulai dari Sultan Panjang, sampai dengan Kerajaan Mataram zaman Sri Susuhan Pakubuana. Maka penulis ini merupakan kombinasi dari pengertian sejarah. Babad dan cerita yang berkembang di masyarakat dari masa ke masa, dan didukung dengan adanya fakta peninggalan-peninggalan sejarah pada masa lampau. Sebelum mengenal sejarah atau babad Onje terlebih dahulu penulis mengajak untuk mengenal lebih dalam Desa Onje, meskipun hanya sekilas tetapi dapat memberikan sebuah gambaran secara umum tentang Desa Onje.
1.      Letak Desa Onje
Desa Onje merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Terletak di sebelah utara Kabupaten Purbalingga yang memiliki luas wilayah 383.410 Ha, dengan batas-batasnya sebagai berikut :
Utara   : Desa Kradenan dan Desa Tangkisan
Timur   : Desa Sindang
Selatan            : Desa Karangturi dan Desa Banjaran
Barat   : Desa Selaganggeng dan Desa Mangunegara.
Letaknya sendiri sangat strategis dengan jalur lalu lintas arah kota Purbalingga–Bobotsari atau sebaliknya, dan kadang-kadang digunakan sebagai jalur alternative ketika di jalan raya Purbalingga–Bobotsari terjadi sesuatu yang menghambat lalu lintas. Apabila kita berada di depan Pendopo Puspa Jaga Desa Onje, pada saat pagi maupun sore ketika udara cerah dan bersahabat maka akan melihat suatu pemandangan yang mempesona. Sebelah barat terlihat menjulang tinggi Gunung Slamet, sementara ke utara terlihat pegunungan yang berwarna biru, ke timur terlihat perbukitan yang hijau, sementara lalulalang kendaraan dan para kaum tani pergi ke tempat kerja dan aktifitas lainnya. Wilayah Desa Onje juga terbelah dengan beberapa sungai yang penuh dengan aliran air dan riuh suara riak bersautan dan “kedung-kedung” yang artinya tenang. Nama sungai-sungai tersebut adalah Sungai Soso, Sungai Klawing, Sungai Paingen, Sungai Tlahab dan sungai Tahunan.
1.      Pembagian wilayah
Desa Onje terdiri dari 4 dusun, 18 RT dan 8 RW. Satu Dusun terletak di Sebelah Timur Sungai Klawing. Tiga dusun lainnya terletak di tengah-tengah yang dikelilingi oleh Sungai Soso, Sungai Klawing, Sungai Paingen, Sungai Tlahab dan Sungai Tahunan. Blok atau istilah masyarakat Desa Onje menyebutkan dengan kolam Banawati yang berada di Selatan sungai-sungai Paingen berbatasan dengan Desa Karangturi sedangkan Kuthabangsa berada di sebelah Utara sungai Soso yang berbatasan dengan Desa Kradenan dan Tangkisan.
2.      Kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan
Masyarakat Desa Onje dapat dikatakan masyarakat yang dinamis. Dengan sumber daya yang ada mereka dapat menjalani kehidupan yang relative layak. Meskipun sebagian penduduknya ada di perantauan tetapi keikutsertaan dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sangat antusias. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan masyarakat dalam musyawarah-musyawarah desa, swadaya masyarakat dan rasa kebersamaan dalam kegiatan social kemasyarakatan.
Pemerintah dapat berjalan dengan lancar dan harmonis, pelayanan kepada masyarakat pun baik. Hal tersebut dapat terlaksana berkat salah satunya dari kepemimpinan Kepala Desa Onje Bangun Irianto, S.Pd dan kerjasama antar lembaga desa serta dukungan masyarakat yang baik. Salah satu hasil pembangunan yang sangat monumental, yaitu berupa bangunan pendopo yang diberi nama Pendopo Puspa Jaga. Pembangunan pendopo ini dimulai pada hari Jum’at Kliwon pada tanggal 06 Juni 2008, dan diresmikan oleh Bupati Purbalingga  Drs. Triyono Budi Sasongko M.Si pada hari Kamis Wage pada tanggal 25 Februari 2010. Nama pendopo ini sangat berkaitan dengan sejarah atau babad Onje yang akan disajikan pada penulisan sebagai berikut.
A.    Kisah Ki Tepus Rumput
1.      Sayembara Kerajaan Pajang
Ki Tepus Rumput, tokoh inilah yang mengawali cerita Babad Onje bahkan ada kaitan erat dengan riwayat berdirinya Purbalingga. Beliau merupakan tokoh sentral keberadaan Kadipaten Onje pada masa lampau. Diceritakan ketika itu disuatu tempat masih dalam keadaan alas (hutan) gung liwang-liwung. Tempat tersebut berada di sebelah timur gunung Slamet. Dialah petualang yang berasal dari Bang Kulon (Wilayah Barat). Nama sang petualang itu Ki Tepus Rumput. Dalam perjalanannya Ki Tepus Rumput singgah di suatu tempat. Duduk diatas sebuah batu dan bersandar pada pohon jati sambil beristirahat. Ternyata pohon jati yang digunakan untuk bersandar Ki Tepus Rumput berbau wangi. Tempat peristirahatan itu sekarang dikenal dengan nama Jati Wangi. Kemudian mendengar suara kokok ayam jantan dari arah tenggara. Dengan mendengar kokok ayam jantan tersebut Ki Tepus Rumput menduga ada manusia lain yang mungkin sudah mendiami wilayah ini.
Ki Tepus Rumput mencari tempat asal suara kokok ayam, ternyata ada sebuah padepokan yang dihuni oleh Ki Onje Bukut. Disekeliling padepokan itu ditumbuhi banyak pohon burus. Ki Tepus Rumput juga ditemui oleh sosok manusia, yang bernama Ki Kantha Raga. Dalam pertemuannya itu Ki Tepus Rumput disuruh bertapa di wetan gunung gede (Gunung Slamet) yang bernama Bukit Tukung. Ternyata Ki Kantarga setelah memberikan wejangan dan perintah kemudian menghilang. Karena tempat pertemuan antara Ki Tepus Rumput, Ki Onje Bukut dan Ki Kantharaga banyak ditumbuhi pohon burus maka tempat itu dinamakan Onje (bunga/kembang pohon burus).
Ki Kantarara dan sebuah Batu Arca
Petualangan Ki Tepus Rumput sekaligus merupakan suatu perjalanan ritual berupa bertapa tersebut mendapatkan suatu wisik (ilham) agar mengikuti suatu sayembara yang diselenggarakan oleh Sultan Pajang. Sayembara tersebut dilaksanakan karena cincin milik Sultan Panjang yaitu Socaludira yang hilang. Cincin tersebut masuk ke jumbling (jamban), dan belum ada yang dapat menemukannya. Isi sayembara tersebut, bahwa barang siapa yang dapat menemukan Cincin Pajang maka apabila seorang laki-laki dihadiahi Garwa Selir Sultan yaitu Putri Adipati Menoreh yang bernama Kencana Wungu, serta sebidang tanah.
2.      Adipati Ore-Ore
Disebutkan dalam  buku babad Onje bahwa dalam mengikuti sayembara di keraton Pajang Ki Tepus Rumput berhasil menemukan Cincin Socaludira milik Sultan Hadiwijaya, maka ditepatilah janji Sultan Hadiwijaya bahwa kalau yang menemukan seorang laki-laki maka akan diberi hadiah garwa selir. Yaitu seorang putrid yang berasal dari Menoreh anak dari Adipati Manoreh. Maka sang Sultan pun memberikan hadiah tersebut dengan disertai pemberian lainnya yaitu berupa tanah seluas 200 grumbul dan diberi julukan atau Sinebut Ing Ngaluhur, Kiyai Ageng Ore-Ore. Sultan Hadiwijaya berpesan bahwa sang putri jangan sekali-kali digauli. Dalam naskah Babad Onje dituliskan: “ingkang abdi sami boten saguh mendhet, among Kyai Ki Tepus Rumput ingkang saged mendhet. Lajeng dipunpaikani dinamelan sumur ing sandhingipun, nunten kepanggih kagungan dalem supe, lajeng kapundhut kalih Kanjeng Sultan Pajang, dhawuhe Kanjeng Sultan “ingsun ora wani-wani, sapa kang anemokaken manira paring bojo ingsun bocah Desa asal Manoreh, Putrane Kyai Dipati Manoreh, iya rawatana , ananing iya wus meteng olih kapat tengah, iya iku poma-poma aja kowe tumpangi”.
Dari uraian diatas menjelaskan bahwa Kadipaten Onje berhubungan erat dengan kerajaan Pajang. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam yang berdiri dari tahun 1568 M didirikan oleh Jaka Tingkir yang mempunyai nama lain Mas Karebet Putra Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenongo, kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya sebagai Raja Pajang disahkan oleh Sunan Giri. Tidak ataupun  belum ada yang menyebutkan tahun berapa secara pasti Kerajaan Pajang mengadakan sayembara yang dimenangkan oleh Ki Tepus Rumput. Setelah mengikuti sayembara dan berhasil mendapatkan hadiah dari Sultan Hadiwijaya, Ki Tepus Rumput kemudian kembali kea rah barat, yaitu ke dhusun Truka Onje dengan disertai pengawal atau pendherek. Diceritakan oleh Sanurji ada tiga orang pengawal yaitu : Puspa Jaga, Puspa Kanthi, Puspa Raga.
Penuturan dari M. Maksudi ada empat orang pengawal, tiga tersebut diatas dan ditambah satu orang bernama Puspa Dipa. Dengan demikian maka Ki Tepus Rumput menjadi Adipati I di Kadipaten Onje, yang berjulukan atau nama lain Kyai Adipati Ore-Ore. Bahwa sebagai pusat kadipaten berada di sebelah timur Sungai Klawing.
Tibalah pada saat anak yang dikandung Putri Manoreh lahir, dan ternyata lahir bayi laki-laki. Ki Tepus Rumput memberitahukan kepada Sultan Pajang, Sultan Pajang bersabda, “ya kaulah yang merawat anak itu baik-baik, besok jika anak itu sudah mampu melayamkan tombak bawalah kemari”.
Maka setelah tiba pada waktunya dipersembahkanlah anak itu ke Keraton Pajang. Kemudian Sultan Hadiwijaya memberi nama atau gelar Kyai Adipati Anyakrapati ing Onje, dengan ditandai upacara bupati serta diberi tanah seluas 875 grumbul. Selain itu juga diberi sentana kamisepuh atau pengikut kaum kepala desa sebanyak tujuh keluarga supaya menjadi pembantu di Onje.
Ki Tepus Rumput telah berhasil mengasuh putra Sultan Pajang bahkan menjadi Adipati I di Onje yang kemudian kekuasaannya diteruskan oleh putra Sultan Pajang. Setelah menata pemerintahan dan dirasa sang putra Sultan sudah mampu menjadi Adipati yang mumpuni, maka Ki Tepus Rumput melanjutkan petualangannya menuju kea rah timur Kadipaten Onje. Dan berakhirlah menjadi Adipati I di Kadipaten Onje, digantikan oleh Kiyai Adipati Anyakrapati.
3.      Adipati Anyakrapati
A.  Kisah Hidup
Dikisahkan bahwa Kadipaten Onje dibawah pemerintahan Adipati Anyakrapati menjadi Kadipaten yang cukup besar atau luas wilayah kekuasannya. Dari tahun berdirinya Kerajaan Pajang, maka dapat diperkirakan bahwa Kadipaten Onje dibawah pimpinan Adipati Ore-Ore mulai sekitar tahun 1570 M dan dilanjutkan lagi pada sekitar tahun 1590 M oleh Kyai Adipati Anyakrapati. Yang menguasai wilayah meliputi Pandhomasan Timbang, Purbasari 100 grumbul, Bobotsari-Kertanegara 100 grumbul, kadipaten 100 grumbul, Kontawijayan 100 grumbul, Bodhas Mertasanan Mertamenggalan 100 grumbul, Toyareka 100 grumbul, Selanga Kalikajar 70 grumbul dan Onje 200 grumbul.
Adipati Anyakrapati memperistri putri dari Adipati Cipaku yang bernama Dewi Pakuwati, diceritakan, bahwa dari Dewi Pakuwati  inilah Adipati Onje II mempunyai dua orang putra yaitu, Raden Mangunjaya dan Raden Cakrakusuma. Kemudian memperistri lagi seorang putrid dari Pasir Luhur. Diceritakan pula bahwa Adipati Onje II juga memperistri Putri Adipati Arenan  atau Nyai Pingen atau Paingan. Hal ini berpengaruh terhadap topografi local karena nama itu dipakai juga untuk nama sebuah sungai yang mengalir di sebelah selatan Desa Onje sekarang. Narasumber menuturkan bahwa dari Putri Adipati Arenan menurunkan dua orang putra yang bernama Wangsantaka dan Arsantaka. Arsantaka inilah yang disebut oleh narasumber sebagai leluhur yang menurunkan para Adipati atau Bupati Purbalingga disebut juga sebagai cikal bakal Bupati Purbalingga.
Dari pernikahan Adipati Onje II dengan Kelingawati menurunkan seorang putri bernama  Kuning Wati. Ketika sudah dewasa Kuning Wati dinikahi dengan seorang ulama yang berasal dari daerah Cirebon, yang bernama Ngabdullah Syarif. Setelah menjadi Pengulu Kadipaten Onje lebih dikenal dengan nama Sayyid Kuning. Mengenai tokoh Sayyid Kuning narasumber menuturkan bahwa beliau berasal atau keturunan bangsa Arab, yang mengelana menyebarkan ajaran islam di tanah Jawa bagian barat. Diceritakan juga bahwa Ngabdullah Syarif masih kerabat dekat dengan Syarif Hidayatullah. Salah satu dari Sembilan Wali Sanga. Selain sebagai penghulu, Sayyid Kuning sekaligus menjadi Imam Masjid Onje, mengenai keberadaan Masjid Onje penulis menuturkan dalam bab selanjutnya.
Pada tahun 1582 M Sultan Pajang meninggal dunia, dan terjadi pergolakan di Kerajaan Pajang. Perebutan kekuasaan antara putra mahkota pajang Pangeran Benowo dengan Arya Penggiri Adipati Demak. Pangeran Benowo dapat disingkirkan oleh Arya Penggiri. Kemudian Pangeran Benowo mendapat bantuan dari Sutawijaya yang berasal dari Mataram. Akhirnya Arya Penggiri disingkirkan lagi oleh Pangeran Benowo dan Sutawijaya. Arya Penggiri diperintahkan kembali lagi menjadi Adipati Demak. Pangeran Benowo merasa tidak sanggup menjadi raja dan menyerahkan kekuasaannya kepada Sutawijaya. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Mataram dengan demikian berakhirlah kekuasaan Kerajaan Pajang. Keadaan seperti itu sangat berpengaruh terhadap wilayah-wilayah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan kerajaan pajang, tidak terkecuali Kadipaten Onje. Terlebih setelah terjadi pergolakan di Mataram yang diakhiri dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M. perjanjian tersebut membagi wilayah Mataram menjadi dua kerajaan yaitu Surakarta Hadiningrat dan Ngayogjokarta Hadiningrat. Kadipaten Onje menjadi dibawah kekuasaan Kerajaan Surakarta.
3.      Akhir Kadipaten Onje
Para narasumber dan naskah babad yang ada, belum atau tidak ada yang menyebutkan siapa yang menjadi pengganti Adipati Anyakrapati pada waktu Kadipaten Onje dibawah kekuasaan Kerajaan Surakarta. Hanya disebutkan bahwa pada waktu kekuasaan raja Paku Buwana I Kadipaten Onje silep atau berakhir. Kemudian Kadipaten Onje dijadikan Bumi Perdikan. Setelah berakhirnya Kadipaten Onje maka yang ada hanya kekuasaan Kyai Ngabehi Dhenok di Pamerden pada era Susuhan Pakubuana I sekitar tahun 1749. Atas kehendak Kyai Ngabehi Dhenok maka Ki Pangulu Onje diberi kekuasaan perdikan dan diberi wilayah 3 grumbul (dusun), yaitu Tuwanwisa, Pesawahan (sekarang masuk Desa Karangturi, Kecamatan Mrebet) dan Onje. Selain itu Ki Pangulu Onje dipercaya untuk merawat pepunden atau makam para leluhur dan mendirikan Jumngah (Sholat Jum’at). Kemudian diberi nama Kyai Ngabdullah Ing Onje. Kyai Ngabehi Dhenok meninggal dunia, kekuasaan diberikan kepada Kiyai Ngabehi Gabug sekitar tahun 1752-1755, setelah itu digantikan lagi oleh  Kyai Cakrayuda. Kiyai Cakrayuda ini berasal dari Toyamas (Banyumas).
Kemudian perdikan Onje dibawah kekuasaan Kiyai Ngabehi Dipayuda merupakan putra dari Wangsantaka putra Adipati Onje II, yang juga demang di Pagendolan sewaktu masa Kadipaten Onje dibawah kekuasaan Adipati Anyakrapati. Wangsantaka juga mempunyai saudara laki-laki yang bernama Arsantaka. Karena terjadi pergolakan di Mataram yang berpengaruh pada pemerintahan Kadipaten Onje maka Arsantaka pergi mengelana ke daerah timur Kadipaten Onje. Pada waktu kekuasaan Ngabehi Dipayuda, bumi perdikan Onje tetap diteruskan kekuasaanya tetapi dikurangi dua grumbul yaitu, Pesawahan dan Tuwanwisa. Maka tinggal Onje, dan dikurangi lagi tinggal Onje Pakauman saja. Tidak dijelaskan tahun berapa pengurangan-pengurangan bumi perdikan Onje. Hanya disebutkan dalam naskah Babad Onje bahwa para pada tahun sadasa (sepuluh) dibedhal (dibelah menjadi) sabin elong sewu.
4.      Onje Masa Kademangan
Pada masa ini bumi perdikan Onje makin berkurang. Karena daerah kekuasaan penjajah (Belanda) makin luas dan pengaruhnya pun semakin kuat. Wilayah-wilayah bekas kekuasaan Kadipaten Onje menjadi jajahan Belanda.Setelah munculnya Kabupaten Purbalingga yang masih berkaitan dengan Kadipaten Onje, bumi perdikan Onje menjadi wilayah kekuasaannya dipegang oleh Demang. Ada dua kademangan yang ada di Onje yaitu Kademangan Kauman dengan nama demangnya Dul Gana, dan kademangan Blimbing dengan nama demangnya Yudabangsa.
5.      Onje Menjadi Desa
Berdasarkan proyek keterangan Manuskrip Surakarta “SASONO POESTOKO”, tertanggal 31 Oktober 1991. Kabupaten Purbalingga berdiri pada tanggal 23 Juli 1759 M. Sedangkan secara resmi Hindia Belanda menguasai Purbalingga pada tahun 1830. Pada tanggal 18 Desember 1830 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah bahwa Karisidenan Banyumas dibagi menjadi empat kabupaten yaitu, Banyumas, Adji Barang, Dayeuh Luhur, dan Poerbalingga. Maka sejak saat itu Kabupaten Purbalingga secara resmi menjadi kabupaten tersendiri terpisah dari Banyumas. Sampai sekarang tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Purbalingga. Dapat diartikan bahwa Kabupaten Purbalingga merupakan produk dari penjajahan Hindia Belanda. Pada waktu penjajahan Belanda benar-benar menguasai Kabupaten Purbalingga Kademangan yang ada di Onje bergabung menjadi sebuah desa. Maka disebutlah Desa Onje. Dengan demikian segala yang berhubungan dengan pemerintahan harus tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Dari Kademangan dirubah menjadi desa maka wilayahnya makin sempit, sedangkan para penguasa yang tidak setuju dengan hal-hal yang berhubungan dengan Pemerintahan Hindia Belanda pergi keluar dari Onje dan berganti nama, untuk penyamaran. Inilah bentuk perlawanan para leluhur Onje yang menentang penjajahan ditanah airnya. Diceritakan salah satu tokohnya adalah Wangsantaka, lain dengan saudara laki-lakinya yang bernama Arsantaka. Beliau pergi dari Kadipaten Onje dan kemudian mempunyai keturunan yang menjadi penguasa atau Bupati Purbalingga. Pada tahun 1928 pada peristiwa Perang Diponegoro para penguasa Onje keturunan Adipati Onje II banyak yang berpihak pada Pangeran Diponegoro, dan salah satunya tokoh yang terkenal yaitu Singayuda. Diceritakan bahwa beliau adalah keturunan Adipati Onje II (Adipati Anyakrapati). Dari cerita ini maka tidaklah berlebihan bahwa rasa patriotism orang Onje memang sangat besar yaitu mempertahankan bumi tumpah darahnya dari pencaplokan para penjajah. Penguasa Purbalingga pada waktu itu cenderung berpihak kepada pemerintah Hindia Belanda sedangkan Wangsantaka dan keturunannya yang memiliki rasa patriotism tinggi mempertahankan dan membela tanah airnya dari kangkungan penjajah. Tokoh-tokoh yang memiliki unsure-unsur heroisme.
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, Onje yang sudah menjadi desa dipimpin oleh seorang lurah, berikut nama-nama lurah yang penulis peroleh dari para narasumber yaitu:
1.      Nur Ahmad, memerintah sampai Mangunegara.
2.      Majalani.
3.      Tirtadirana, memerintah sampai wilayah Tangkisan.
4.      Arsantaka, dikenal dengan nama lurah popo.
5.      Mertabesari
6.      Martadiwirya.
7.      Arsareja, memerintah dari tahun 1922-1945.
Pada masa penjajahan Jepang desa Onje pun dalam kekuasaan Kabupaten Purbalingga. setelah Republik Indonesia berdiri pada tahun 1945, Desa Onje tetap dibawah kekuasaan Kabupaten Purbalingga sampai sekarang. Lurah atau Kepala Desa Onje dan masa jabatanya setelah Republik Indonesia berdiri adalah sebagai berikut:
1.      Martosupono, tahun 1945-1975.
2.      S. Warnoto (pejabat sementara) tahun 1975-1980.
3.      Supono Adi Warsito, 1981-1989 dan pejabat diisi pegawai Kecamatan Mrebet, 1989-1990.
4.      Suwarso, 1990-1998.
5.      Bangun Irianto, 1998-2006, 2006-sekarang.

6.      Petilasan Kadipaten Onje
1.      Jati Wangi
Petilasan ini sekarang masuk wilayah Dusun III, tepatnya di RT 001 RW 005. Tempat ini merupakan tempat peristirahatan Ki Tepus Rumput. Bersandar pada pohon jati yang berbau wangi, sehingga tempat ini dikenal dengan nama Jati Wangi. Sekarang menjadi tempat Pemakaman Umum. Namun masih Nampak sekali sebagai petilasan. Diceritakan bahwa pohon jati yang berbau wangi ini ditebang dan kayunya digunakan sebagian untuk saka (tiang) Masjid Onje dan sebagian untuk saka guru Pendopo Kabupaten Banyumas.
2.      Batu Arca
Betempat disebelah timur rumah Kepala Desa Onje, Bangun Irianto S.Pd, melihat wujud arca tersebut sudah berusia ratusan tahun. Tentang kisah yang berkembang mengenai arca tersebut memang ada beberapa versi, ada yang menyebutkan arca tersebut sebagai peninggalan zaman pra sejarah kemudian versi yang lainnya menuturkan arca tersebut merupakan gambaran Ki Kantha Raga, sosok manusia yang menemui Ki Tepus Rumput pada waktu bertapa yang digambarkan pada sebuah batu.
3.      Kedung Pertelu
Kedung pertelu merupakan tempat pertapaan Ki Tepus Rumput. Ditempat inilah mendapatkan petunjukuntuk mengikuti sayembara di Keraton Pajang, terletak di Dusun IV, dipinggir sungai yang dikenal dengan nama Kali Onje. Petilasan ini berupa batu cadas yang terdapat gambar yang digoreskan Nampak seperti sepatu kuda atau tlepak njaran.
4.      Pohon Blimbing
Terletak di wilayah Dusun II, tepatnya RT 001 RW 003. Pohon ini merupakan pohon blimbing tertua di Onje, bahkan mungkin di wilayah Kabupaten Purbalingga. belum diketahui secara pasti berapa tahun pohon tersebut, sebab menurut narasumber dan orang-orang tertua di Desa Onje Blimbing tahu-tahu sudah sebesar itu. Diceritakan bahwa disekitar pohon blimbing inilah diperkirakan tempat atau lokasi Pendopo Adipati Onje II berada.
5.      Tuk Domas
Tuk merupakan sumber mata air. Diceritakan bahwa di tempat yang diguanakan sebagai tempat mandiatau siram para istri/garwa Adipati Onje, terletak dipinggir sungai Paingen, kondisinya kurang terawat karena jarang digunakan. Air tuk di Domas ini dipercaya oleh sebagian orang memiliki khasiat, maka tidak mengherankan kalau ada orang yang mandi dan berwudhu di tempat itu.
6.      Makam Medang
Makam ini terletak di ilayah Dusun 1, tepatnya dipinggir jalan utama Desa Onje. Lebih tepatnya lagi dapat terlihat apabila akan memasuki Desa Onje dari arah selatan, maka akan menjumpai dua makam, makam yang pertama adalah Makam Adipati Onje II dan setelah melewati jembatan sungai Paingan akan menjumpai makam Medang. Diceritakan bahwa makam ini adalah makam istri Adipati Anyakrapati. Ada dua makam yang berdampingan, keduannya adalah istri Adipati yang berasal dari Kadipaten Cipaku dan Kadipaten Pasir Luhur. Pada waktu kadipaten Onje masih berdiri tempat ini merupakan dapur dari pendopo atau rumah Adipati Onje II.
7.      Pesarean
Ditempat inilah Adipati Onje II dimakamkan. Selain makam Adipati Onje II juga terdapat makam tokoh-tokoh lain. Makam ini terpisah dari makam-makam lainnya. Dibatasi dengan benteng batu (kandang sengker) dan terdapat pintu masuk disebelah selatan. Ditumbuhi pohon-pohon besar yang usiannya sudah tua. Letaknya secara kewilayahan sekarang masuk Pesawahan Desa Karangturi. Dismaping makam Adipati Onje II juga dibagian luar makam dijadikan tempat pemakaman umum Desa Onje dan Desa Karangturi khususnya grumbul Pesawahan, apabila akan memasuki makam Adipati Onje II kita akan menaiki undhak-undhakan atau tangga karena tempatnya dibagian atas.
8.      Jojok Telu
Jojok Telu banyak yang menyebutnya kedung pertelu, tempat ini merupakan pertemuan tiga sungai yaitu, Sungai Paku, Sungai Paingan, dan Sungai Tlahab. Diceritakan bahwa tempat ini merupakan tempat pertemuan para wali, sebelum membangun masjid Onje. Kemudian apabila kita naik sedikit dari tepi kedung  akan menjumpai situs pra sejarah berupa Batu Dakon. Diceritakan pula bahwa Dakon atau yang sering disebut Watu Lumpang merupakan peninggalan dukun bayi semasa Kadipaten Onje II, dan nama lumping juga dipakai sebagai nama makam yang berada di sebelahnya. Jojok telu inilah yang sering dikunjungi banyak orang pada waktu-waktu tertentu karena menurut kepercayaan sebagian pengunjung apabila mandi ditempat itu akan mendapatkan berkah dan dimudahkan dalam urusannya. Ada yang datang hanya sekedar ingin melihat tempat yang dibilang langka itu.
9.      Makam Nagasari
Merupakan tempat pemakaman Mbah Ngabdullah Syarif (Sayyid Kuning) atau dikenal Mbah Sayyid Kuning. Tempat inipun sering didatangi oleh banyak orang. Dengan maksud ziarah dan berdoa sesuai dengan keinginan masing-masing. Para peziarah ini datang bukan hanya dari Purbalingga tetapi ada juga yang datang dari luar daerah bahkan pernah ada yang datang dari luar Jawa.
10.  makam Puspa Jaga
terletak didepan pendopo Desa Onje, sekaligus pendopo tersebut diberi nama pendopo Puspa Jaga. Tokoh ini merupakan salah satu tokoh yang sangat berjasa pada masa Kadipaten Onje, beliau adalah pengawal Ki Tepus Rumput sewaktu memboyong selir raja Hadiwijaya ke Onje. Setelah menjadi Adipati Onje I, Ki Tepus Rumput dalam melaksanakan tugas-tugasnya dibantu oleh Puspa Jaga, bahkan sampai masa Adipati Onje II Puspa Jaga pun masih dipercaya untuk membantu menjalankan roda pemerintahan.
11.  Makam Mbah Singayuda
Ditempat inilah tokoh pejuang yang melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dimakamkan. Mbah Singayuda menurut kisahnya merupakan salah satu lascar bahkan menjadi senopati dari Pangeran Diponegoro yang bertugas untuk wilayah Banyumas. Tempat ini memang masih jarang dikunjungi oleh para peziarah. Lokasi makam Mbah Singayuda berada di Dusun III yang berdekatan dengan sungai Soso dan sungai Klawing. Dari Pendopo Puspa Jaga sekitar 300 m kearah timur.
7.      Masjid Raden Sayyid Kuning
1.      Awal berdiri
Salah satu bukti sejarah yang sampai sekarang terjaga dan terpelihara adalah Masjid Onje. Masjid ini merupakan masjid kebanggan masyarakat Desa Onje. Diceritakan bahwa pada waktu itu Onje belum ada atau belum bernama Onje, masih dalam kondisi alas (hutan) gung liwang-liwung. Datanglah seorang pengelana yang bernama Syaikh Samsudin. Beliau adalah utusan raja dari Negara Arab untuk datang ketanah Jawa, karena di tanah Jawa sedang terkena pageblug (wabah).  Syaikh Samsudin singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Onje, beliau istirahat untuk melaksanakan shalat, tempat untuk shalat itu adalah sebuah batu. Ditempat batu inilah yang kemudian berdiri sebuah masjid. Batu tersebut sekarang tersimpan dibawah lantai keramik tepatnya di bawah mimbar Masjid Raden Sayyid Kuning. Meskipun tidak atau belum ada catatan sejarah namun cerita turun-temurun ini tetap ada dan berkembang di masyarakat Onje. Bahkan sebagian besar percaya kebenaranya dan narasumber menceritakan bahwa peristiw itu terjadi pada sekitar abad ke-14 M.
Pada waktu itu menurut (M. Maksudi) ada wali singgah di plataran jojok telu. Mereka mengadakan suatu musyawarah, selanjutnya mendatangi sebuah tempat yang sekarang menjadi perempatan masjid. Kemudian menuju kea rah barat dan disitulah terdapat batu yang dapat dipakai untuk shalat. Seusai melaksanakan shalat mereka mendirikan sebuah bangunan yang berbentuk masjid. Belum keseluruhan bangunan itu selesai mereka meninggalkan tempat itu.
2.      Raden Sayyid Kuning
Mengenai tokoh Raden Sayyid Kuning ini penulis memang penuh hati-hati dalam menuliskannya karena dalam naskah Babad Onje nama Sayyid Kuning tidak disebutkan hanya  Ngabdullah Ing Onje sebagai penghulu di Onje. Diceritakan pada masa Kadipaten Onje dengan Adipati Anykrapati sebagai Adipatinya. Bangunan peninggalan wali yang berbentuk masjid diperbaiki atau dipugar. Kayu yang dipakai adalah kayu jati yang berasal dari jati wangi.
Sebagai seorang Adipati, Adipati Anykrapati melengkapi tugas pemerintahanya dibidang keagamaan, yaitu mengangkat Ngabdullah Syarif sebagai pengulu kadipaten. Ngbdullah Syarif adalah seorang ulama besar yang berasal dari Cirebon. Selain sebagai pengulu beliau juga merupakan Imam Masjid Onje yang mengelola dan mengurus masjid. Ngabdullah Syarif lebih dikenal dengan nama Raden Sayyid Kuning. Nama tersebut dipakai setelah beliau menjadi kerabat Adipati Onje II. Dengan memperistri putrinya yang bernama Kuningwati, putrid dari Kelingwati istri Adipati Onje II yang berasal dari Kadipaten Pasir Luhur.
3.      Nama Masjid Onje
Tahun 1940 waktu itu Onje sudah menjadi desa dibawah pemerintahan Bupati Purbalingga. pada tahun inilah Masjid Onje untuk pertama kalinya direhab. Semenjak diperbaiki pada masa kadipaten dan perdikan sampai dengan pemerintah Kabupaten Purbalingga. pada saat itu Desa Onje dipimpin oleh seorang Penatus/Lurah/Kepala Desa yang bernama Arsaredja. Di Desa Onje sampai dengan tahun 1980an hanya ada satu masjid. Sampai pada tahun 1983 dibangun masjid lainnya, hal ini yang menggugah para jama’ah dan pengurus masjid Onje untuk member nama masjid Onje. Untuk pemberian nama masjid para pengurus bermusyawarah sekiranya nama apa yang tepat untuk masjid tersebut.
Ada beberapa usulan nama yang disampaikan pada saat musyawarah. Namun akhirnya karena ada beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada kesepuhan, maka pengurus dab beberapa perwakilan jama’ah sowan (berkunjung) ke tempat Habib Lutfi bin Yahya di Pekalongan. Maka Habib Lutfi dan Yahya memberikan saran dan nasehatnya yang kemudian diterima oleh pengurus masjid serta perwakilan jama’ah. Masjid Onje diberi nama Raden Sayyid Kuning oleh Habib Lutfi, maka boleh dikatakan bahwa pemberi nama untuk Masjid Onje adalah Habib Lutfi bin Yahya seorang ulama besar yang berasal dari kota Pekalongan Jawa Tengah. Sejak itulah masjid yang hanya dikenal dengan Masjid Onje dikenalkan dengan nama Raden Sayyid Kuning. Nama tersebut mengandung makna tersendiri, terutama dengan sejarah keberadaan masjid tersebut. Ada beberapa pendapat mengenai nama-nama Imam Masjid Onje.
Berikut ini nama-nama Imam Masjid Raden Sayyid Kuning, yang penulis peroleh dari peraturan para narasumber dan sesepuh masjid, yaitu:
1.      Raden Sayyid Kuning/Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning.
2.      Kyai Samirudin.
3.      Kyai Ibrahim.
4.      Kyai Ilyas.
5.      Kyai Murmareja bin Mustahal.
6.      Kyai Murjani
7.      Haji Ibrahim
8.      Kyai  Sanrawi
9.      Kyai Masngadi tahun 1945-2007
10.  Khotib H.M. Soemarno tahun 1996-2007
11.  Kyai M. Maksudi.

4.      Aboge
Salah satu warisan sejarah yang berkaitan dengan masjid Onje adalah Aboge, yaitu perhitungan tahun dalam menentukan hari raya idul Fitri dan Idul Adha. Jadi Aboge bukan suatu aliran dalam agama islam. Menurut para narasumber bahwa perhitungan tahun aboge ada sejak zaman Sunan Kalijaga yang diteruskan oleh Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning dan hingga sekarang masih ada, digunakan serta dilestarikan.
Kata aboge diambil dari kata Alif, Rebo Wage yang digabung atau disingkat untuk memudahkan mengingat tahun. Alif merupakan hari pertama pada 1 Muharram. Ada delapan nama tahun yang ada dalam penghitungan jawa. Delapan tahun disebut satu windhu. Nama-nama tahun jawa yang penulis perolehan dari narasumber adalah sebagai berikut:
1.      Tahun Alif                   ( )
2.      Tahun He/Ha               ( )
3.      Tahun Jim Awal          ( )
4.      Tahun Za                     ( )
5.      Tahun Dal                   ( )
6.      Tahun Ba                     ( )
7.      Tahun Wawu               ( )
8.      Tahun Jim Akhir         ( )
Menurut Imam Masjid Raden Sayyid Kuning (M. Maksudi). Perhitungan untuk menentukan hari raya berdasarkan tahun-tahun tersebut merupakan bentuk dari hisab. Dasar atau dalil yang digunakan adalah Qur’an Surat Yunus ayat (5). Berikut ini table penentuan hari raya (Idul Fitri) berdasarkan Tahun Jawa (Aboge):
No
Nama Tahun
Hari 1 Muhharam
Hari 1 Syawal
1.       
Alif
Rebo Wage
Rebo Kliwon
2.       
He
Ahad Pon
Ahad Wage
3.       
Jim Awal
Jum’at Pon
Jum’at Wage
4.       
Za
Selasa Paing
Selasa Pon
5.       
Dal
Setu Legi
Setu Paing
6.       
Ba
Kemis Legi
Kemis Paing
7.       
Wawu
Senen Kliwon
Senen Manis
8.       
Jim Akhir
Jum’at Wage
Jum’at Kliwon

Apabila sudah sampai pada tahun Jim Akhir maka penghitungan kembali ke tahun Alif dan begitu seterusnya. Untuk memudahkan dalam mengingat hari awal tahun maka dibuat singkatan (akronim) sebagai berikut:
1.      Tahun Alif                   : disingkat A-bo-ge
2.      Tahun He/Ha               : disingkat He-had-pon
3.      Tahun Jim Awal          : disingkat Ja-ngah-pon
4.      Tahun Za                     : disingkat Za-sa-ing
5.      Tahun Dal                   : disingkat Dal-tu-gi
6.      Tahun Ba                     : disingkat Ba-mis-gi
7.      Tahun Wawu               : disingkat Wa-nen-won
8.      Tahun Jim Akhir         : disingkat Ja-ngah-he
Berikut ini contoh dalam menentukan 1 syawal. Tahun 2010 M merupakan tahun Dal. Hari pertama tahun Dal adalah Setu (Sabtu) Legi. Maka tahun 2010 M tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Setu (Sabtu) Paing.
Sedangkan untuk menentukan hari pertama tiap-tiap bulan tahun Jawa adalah sebagai berikut:
1. muharram ke-1 pasaran ke-1           : 1 Muharram
2. sofar pasaran ke-1                           : 1 Sofar, hari ke-3
3. robiul awal ke-4 pasaran ke-5         : 1 Robiul awal
4. robiul akhir ke-6 pasaran ke-5         : 1 Rabiul akhir
5. jumadil awal ke-7 pasaran ke-4       : 1 Jumadil awal
6. jumadil akhir ke-2 pasaran ke-4      :1 Jumadil akhir
7. rojab pasaran ke-3                           : 1 Rojab hari ke-3
8. sya’ban pasaran ke-3                       : 1 Sya’ban hari ke-5
9. romadhon ke-6 pasaran ke-2           : 1 Romadhon
10. syawal pasaran ke-2                      : 1 Syawal
11. dzulqoidah ke-2 pasaran ke-1       : 1 Dzulqoidah
12. dzulhijah ke-4 pasaran ke-1          : 1 Dzulhijjah
Agar memudahkan dalam mengingat maka dibuatlah singkatan-singkatan sebagai berikut:
1.      Muharram        : Rom-ji-ro
2.      Sofar               : Far-lu-ji
3.      Robiul awal     : Nguwal-pat-ma
4.      Robiul akhir    : Nguwir-nem-ma
5.      Jumadil awal   : Diwal-tu-pat
6.      Jumadil akhir   : Dikhi-ro-pat
7.      Rojab               : Jab-lu-lu
8.      Sya’ban           : Ban-ma-lu
9.      Romadhon      : Dom-nem-ro
10.  Syawal                        : Wal-ji-ro
11.  Dzulqoidah     : Dah-ro-ji
12.  Dzulhijah         : Jah-pat-ji
Hari (ke-) dan pasaran (ke-) dihitung dari hari awal tahun dan pasarannya.
Itulah hasil cipta, karsa dan rasa nenek moyang yang ada di Desa Onje. Terlepas dari unsure-unsur benar-salah maka itulah yang ada dan telah digunakan secara turun temurun.