DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Rabu, 25 Mei 2016

Pelayaran dan Penjelajahan Samudra Oleh Bangsa Portugis


Berita keberhasilan Columbus menemukan daerah baru, membuat penasaran raja Portugis (sekarang terkenal dengan sebutan Portugal), Manuel l. Dipanggillah pelaut ulung Portugis bernama Vasco da Gama untuk melakukan ekspedisi menjelajahi samudra mencari Tanah Hindia. Vasco da Gama mencari jalan lain agar lebih cepat sampai di Tanah Hindia tempat penghasil rempah-rempah. Kebetulan sebelum Vasco da Gama mendapatkan perintah dari Raja Manuel l, sudah ada pelaut Portugis bernama Bartholomeus Diaz melakukan pelayaran mencari daerah Timur dengan menelusuri jalur pantai barat Afrika. Pada tahun 1488 karena serangan ombak besar terpaksa pelayaran Bartholomeus Diaz terhenti dan mendarat di suatu Ujung Selatan Benua Afrika. Tempat tersebut kemudian dinamakan Tanjung Harapan. Ia tidak melanjutkan penjelajahannya tetapi memilih bertolak kembali ke jalur negerinya.
Pada Juli 1497 pelayaran Vasco da Gama berangkat dari pelabuhan Lisabon untuk memulai penjelajahan. Berdasarkan pengalaman Bartholomeus Diaz itu, Vasco da Gama juga berlayar mengambil jalur rute yang pernah dilayari Bartholomeus Diaz. Rombongan Vasco da Gama juga singgah di Tanjung Harapan. Atas petunjuk jalur dari pelaut bangsa Moor yang telah disewanya, rombongan Vasco da Gama melanjutkan penjelajahan pelayaran, berlayar menelusuri jalur pantai timur Afrika kemudian berbelok ke jalur kanan untuk mengarungi Lautan Hindia (Samudra Indonesia). Pada tahun 1498 rombongan pelayaran Vasco da Gama mendarat sampai di Kalikut dan juga Goa di pantai barat India. Ada pemandangan yang menarik dari kedatangan rombongan Vasco da Gama ini. Mereka ternyata sudah menyiapkan patok batu yang disebut batu padrao. Batu ini sudah diberi pahatan lambang bola dunia. Setiap daerah yang disinggahi kemudian dipasang patok batu padrao sebagai tanda bahwa daerah yang ditemukan itu milik Portugis. Bahkan di Goa, India Vasco da Gama berhasil mendirikan kantor dagang yang dilengkapi dengan benteng. Atas kesuksesan ekspedisi ini maka oleh Raja Portugis, Vasco da Gama diangkat sebagai penguasa di Goa atas nama pemerintahan Portugis.
Setelah beberapa tahun tinggal di India, orang-orang Portugis menyadari bahwa India ternyata bukan daerah penghasil rempah-rempah. Mereka mendengar bahwa Malaka merupakan kota pusat perdagangan rempah- rempah. Oleh karena itu, dipersiapkan ekspedisi lanjutan di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Dengan armada lengkap Alfonso de Albuquerque berangkat untuk menguasai Malaka. Pada tahun 1511 armada Portugis berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian kekuatan Portugis semakin mendekati Kepulauan Nusantara. Orang-orang Portugis pun segera mengetahui tempat buruannya “mutiara dari timur” yakni di Kepulauan Nusantara, khususnya di Kepulauan Maluku.
Nah, kapan dan bagaimana orang-orang Portugis itu akhirnya memasuki wilayah Indonesia? Kapan dan di mana Portugis berhasil menanamkan kekuasaannya di wilayah Indonesia? Tahukah kamu bagaimana hubungan antara Portugis dengan Kerajaan Ternate? Coba lakukan pelacakan kemudian buatlah uraian tentang masuknya orang-orang Portugis ke Indonesia! Untuk mengerjakan tugas ini kamu dapat membaca buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah.

Perlu ditambahkan bahwa dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 telah menyebabkan perdagangan orang-orang Islam menjadi terdesak. Para pedagang Islam tidak lagi bisa berdagang dan keluar masuk kawasan Selat Malaka, karena Portugis melakukan monopoli perdagangan. Akibatnya para pedagang Islam harus menyingkir ke daerah-daerah lain. Tindakan Portugis yang memaksakan monopoli dalam perdagangan itu telah mendapatkan protes dan perlawanan dari berbagai pihak. Sebagai contoh pada tahun 1512 terjadi perlawanan yang dilancarkan seorang pemuka masyarakat yang bernama Pate Kadir (Katir). Pate Kadir merupakan tokoh masyarakat yang sangat pemberani. Ia melancarkan perlawanan terhadap keserakahan Portugis di Malaka. Dalam melancarkan perlawanan ini Kadir berhasil menjalin persekutuan dengan Hang Nadim. Perlawanan Pate Kadir terjadi di laut dan kemudian menyerang pusat kota. Tetapi ternyata dengan kekuatan senjata yang lebih unggul, pasukan Kadir dapat dipukul mundur. Kadir semakin terdesak dan kemudian berhasil meloloskan diri sampai ke Jepara dan selanjutnya ke Demak.

Selasa, 29 Maret 2016

PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIAL

Masa Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan, perekonomian, pendidikan, bahkan hingga tata cara pengairan masih banyak bergantung pada sarana-sarana pengairan peninggalan Belanda. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang penting untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari perubahan sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonial serta implikasinya pada sistem pendidikan saat ini.

Pendidikan Indonesia sebelum masa Kolonial.
Komunitas Paduraksa, sebuah komunitas pemerhati sejarah budaya Indonesia, dalam sebuah tulisan berjudul "Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia", mengelompokkan pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya menjadi tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha, pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial. Pada masa Hindu-Budha, dikatakan di uraian tersebut pula, mengutip dari tesis Agus Aris Munandar yang berjudul "Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15 (1990)", pendidikan dikenal dengan istilah "Karsyan", sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orangorang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Di mana patapan adalah tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para pendeta, murid, dan mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama dan nagara. Pada masa Islam, menurut tulisan Komunitas Paduraksa, pendidikan yang ada bisa dikatakan merupakan adaptasi dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha. Adaptasi antara sistem mandala dan uzlah (menyendiri) tampak pada tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman yang disebut pondok pesantren, dimana pondok pesantren tersebut biasanya jauh dari keramaian dan terkesan menyendiri (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada pendidikan masa Hindu-Budha dan pendidikan masa Islam, menurut saya tujuan dari pendidikan adalah untuk mencari jati diri dan tujuan hidup. Pencarian pengetahuan tentang untuk apa dirinya itu harus hidup. Hal-hal yang diajarkan juga sebatas pemikiran-pemikiran tentang manusia, ilmu-ilmu keagamaan ditambah ilmu-ilmu perdagangan dan pengolahan alam. Terlihat dari tujuan belajar pada masa Hindu-Budha, yaitu mencari petunjuk tentang apa yang diinginkan, baik baik buruknya hingga cara pencapaiannya. Sedangkan saat pendidikan masa Islam, tidak jauh berbeda dengan sistem mandala dimana merupakan tempat “belajar bersama”, mempelajari untuk apa manusia hidup, hubungannya dengan Tuhan dan juga hubungan dengan alam sekitar dan sebagainya.

Pendidikan Indonesia pada Masa Kolonial.
Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda. Sindiran dan kritik para kaum humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti Max Havelaar (Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, Multatuli,1860) sedikit banyak telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis (Ethical Policy - ‘Ethische Politiek), atau juga dikenal sebagai politik balas budi, pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia. Pada masa ini pula, pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda. Pertama adalah sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan pondok pesantren, pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan terakhir pendidikan "swasta pro-pribumi" seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada dasarnya banyak kemiripan dalam sistem pendidikan ala Hindia-Belanda dan pendidikan yang disediakan oleh kaum-kaum "pro-pribumi".


Pengaruh sistem pendidikan Indonesia pada masa kolonial dengan system Pendidikan saat ini.
Disebutkan di atas bahwa pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa dikatakan sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan system pada saat kolonial. Yaitu menciptakan manusia yang siap kerja, entah itu menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan, dan sebagainya. Pendidikan yang diberikanpun tipenya sama, kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan hanya butuh bisa baca tulis dan berhitung, saat ini ilmu yang diberikan dalam pendidikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk pengisi kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar. Sekalinya diberikan pengetahuan yang dapat diterapkan, ilmu tersebut diberikan dalam bentuk jadi, tidak perlu dipikirkan kembali. Bisa dikatakan pendidikan Indonesia saat ini seakan-akan hanya memberikan buku pedoman bagaimana harus bergerak tanpa harus berfikir. Akibatnya, keberadaan kaum-kaum pribumi Indonesia saat ini juga tidak jauh-jauh dari posisi "pegawai rendahan" seperti tujuan pemberian pendidikan pada masa kolonial. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman bagaimana harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan berlangsung. Penyebab lainnya adalah dangkalnya impian yang muncul tentang tujuan dari pendidikan tersebut. Tersebar secara umum dimasyarakat, tujuan pendidikan adalah supaya kelak dapat bekerja dan mencari uang. Tidak terbersit pemikiran dimana ilmu yang didapatkan pada saat pendidikan berlangsung tersebut akan dipergunakan. Dan dengan jalan apa ilmuilmu yang didapat di dalam pendidikan akan berguna nantinya.


Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda


Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi. Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembagalembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasipara penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia. Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris.
Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah
Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. 

POTRET PENDIDIKAN DI JEPANG SEBAGAI KONSEP PENCERAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

POTRET PENDIDIKAN JEPANG
Sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem masyarakat  feodal, yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya (sekolah kuil). Namun semenjak Restorasi Meiji (Meiji Ishin, 1868) dikibarkan, Jepang membelalakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia barat. Selain itu, Jepang mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya. Tujuannya tidak lain untuk mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat ”berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan dunia barat. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II (PD II) banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat pokok struktur baru yang dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings(1984), yaitu: Pertama, Sekolah Dasar (SD) wajib selama enam tahun. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi
warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada Sekolah Lanjutan Pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewargaannegaraan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan bekerja. Ketiga, setelah Sekolah Lanjutan Pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, Universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan Jepang yang dikembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk ”revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II. Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, memiliki gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyetakan pada bagian pendahuluan buku tersebut” sebagai jalan yang paling ampuh unruk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan. Kegiatan Jepang dalam mencerdaskan bangsanya menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dengan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi Negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sama dengan bangsa barat lainnya seperti Inggris maupun Prancis. Seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik isolasinya melaksanakan pendidikannya dengan system Terakoya (sekolah kuil) yang pada akhirnya pada zaman Shugun terdapat kurang lebih 7000 Terakoya menjadi dasar pelaksanaan sistem wajib belajar (gimu kyooiku). Berdasarkan artikel 26 paragraf 2 dalam Katarina Thomasevski mengenai penawaran konstitusi untuk pendidikan gratis, pemerintah Jepang menginterprestasikan penawaran tersebut secara sempit sebagai pelarangan pemungutan uang sekolah. Pemerintah mempertimbangkan penyediaan gratis hanya pada buku-buku ajar sebagaimana opsi legislatif. Kenyataannya, orang tua harus dibebani dengan beban biaya pendidikan yang mahal termasuk biaya untuk materimateri pembelajaran, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan lain seperti seragam sekolah dan olah raga. Selanjutnya, Yoshio Sugimoto dalam Katarina Thomasevski telah mengkonfirmasikan temuan-temuan NGO ini dengan menyatakan secara umum bahwa pendidikan di Jepang merupakan suatu bisnis yang mahal. Dia juga telah menegaskan bahwa definisi yang efektif mengenai pendidikan gratis hanya merujuk kepada wajib belajar sembilan tahun dan gratis didefinisikan secara sempit hanya untuk menghindari pemungutan uang sekolah (2006: 232). Upaya pemerintah dan bangsa Jepang dalam meningkatkan pendidikan bisa dikatakan berhasil. Pendidikan yang meluas dan membumi membuat hampir semua orang Jepang melek huruf mendekati angka 100%. Berdasarkan data statistik tahun1985, siswa Jepang yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi 94 % dan yang melanjutkan ke PT lebih kurang 38 %. Tingginya standar pendidikan Jepang tidak semata-mata muncul dengan sendirinya, tetapi ada ungkapan yang baik bagi bangsa Jepang, yaitu: ”kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan”. Membaca bagi orang Jepang merupakan kegiatan yang tak dipaksakan. Membaca tidak lepas dari kehidupan sehari-hari, di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau dengan kata lain di mana ada kehidupan di situ mereka membaca. Menurut William K. Cummings dalam (eka_@yahoo.co.id), beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga, Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan, guru Jepang bersikap adil. Kiat-kiat di atas juga dilaksanakan oleh negara lain, seperti Thailand, dalam buku Belajar dari Monyet, guru Shampon menerapkan pendidikan untuk monyet dengan biaya murah, tanpa membedabedakan peserta didik, bersikap adil, penuh dedikasi, dan pendidikan diprioritaskan pada skill (Rung Kaewdang: 2002). Disamping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide
egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Menurut Danasasmita dalam (eka_@yahoo.co.id), ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan ringannya mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain walaupun bantuan itu tidak seberapa. Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadehita (maaf, Anda telah berusaha payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria). Dari karakteristik yang disebutkan diatas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan bukanlah sekedar proses kegiatan belajar mengajar saja, melainkan sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai ”manusia” bukanlah seolah-olah manusia dijadikan ” jagung” atau ”padi” yang setiap enam bulan sekali diganti metode ”penanamannya”, Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep Pencerahan Pendidikan apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.

Pendidikan di Indonesia dan Pencerahannya
Pendidikan merupakan soko guru kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari hidup dan matinya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan ”Pendidikan adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan itu menjadi cambuk bagi kemajuan bangsa. Namun, kenyataannya hanyalah sebuah ”cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana rimbanya. Mengenang Indonesia yang dulu terkenal sebagai negara yang kaya raya tata, titi, tentrem, kerta, tur raharja sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan dikawasan ASSEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan. Bila kita bandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Vietnam sekalipun, kita masih kalah, apalagi dengan Malaisia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan ”ekspor” dosen-dosen kita mengajar di sana. Kurikulum made in Indonesia pun pernah dipekerjakan di Malaisia dekade tahu 70-an. Hasilnya, sungguh luar biasa, mereka berhasil investasi pendidikan dari bangsa serumpun itu telah\ berubah manis. Kemajuannya membuat mereka kini berkata ” Malaisia is Truly Asia”. Namun, sekarang kualitas pendidikan di Indonesia telah disalip oleh Malaisia dan Vietnam yang dulu masih berada jauh dibawah Indonesia. Ada pameo yang menyatakan bahwa Indonesia ini banyak koruptor, tetapi tidak ada koruptor ( artinya begitu licinnya para koruptor dalam menghindari jeratan hukum sehingga sulit ditangkap. Atau mungkin para penegak hukum masih ”malu-malu” menangkap koruptor. Hanya Allao swt. Yang Mahatahu. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusia-manusia dengan jalan memerangi semua bentuk pengucilan. Mengacu pada model pendidikan di Jepang bahwa pendidikan harus bersifat adil, tidak membeda-bedakan, tidak mahal, guru penuh dedikasi, kurikulum sarat, wajib belajar sembilan tahun dan pendidikan gratis, dan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pendidikan adalah baik untuk diterapkan di Indonesia. Membaca adalah kegiatan rutin. Di mana ada kehidupan di situ ada kegiatan membaca. Hafid Abbas dalam Education For All: The Purpose, Artikel III, butir satu mengatakan bahwa pendidikan dasar harus diberikan untuk semua anak-anak, pemuda, dan orang dewasa. Pada akhirnya, kualitas yang diberikan pada pendidikan dasar harus dikembangkan dan konsisiten pada aturan dan harus digunakan untuk mengurangi perbedaan. Pernyataan itu sesuai dengan prinsip keadilan dalam pendidikan dasar. Guru harus bisa bersikap adil kepada peserta didiknya tanpa membedakan atas dasar halhal yang melatar belakangi peserta didik. Pemberantasan buta huruf juga telah dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, agar program pemerintah bisa berhasil seperti di Jepang maka memerlukan proaktif dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, usaha harus dilakukan dengan melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khas mereka. Hal ini berarti para orang tua harus diikutsertakan berbicara tentang persekolahan anak-anaknya. Keluarga-keluarga miskin harus diberi bantuan sehingga mereka memandang bahwa sekolah untuk anak-anaknya bukan suatu biaya yang tidak teratasi.

Untuk menciptakan berbagai kemungkinan mengenali bakat dan keterampilan terpendam, dan untuk pengakuan sosial, sistem-sistem pengajaran hendaklah sejauh mungkin dianekaragamkan. Adapun, keluarga-keluarga dan penduduk serta lembaga-lembaga yang aktif di dalam masyarakat hendaklah dilibatkan dalam kemitraankemitraan pendidikan. Terlebih lagi, penting untuk belajar menerima keanekaragaman. Pendidikan untuk kemajemukan bukanlah diperlukan untuk berlindung terhadap kekerasan. Namun, adalah suatu prinsip aktif untuk pengayaan kehidupan budaya dan kewarganegaraan di dalam masyarakat sekarang. Antara hal-hal yang ektrem, abstrak, kesemestaan dan relativisme yang tidak membuat permintaan lebih tinggi diatas cakrawala setiap kebudayaan tertentu. Perlu ditegaskan adanya dua hal, yakni hak untuk berbeda dan penerimaan atas nilai-nilai universal (semesta) (UNESCO, 1996). Pendidikan dalam toleransi dan penghormatan kepada manusia-manusia lain, suatu prasarat untuk demokrasi hendaklah dipandang suatu usaha yang umum dan berkelanjutan. Untuk itu, yang dapat dilakukan di sekolah-sekolah adalah memberi kemudahan bagi praktik toleransin sehari-hari dengan membantu murid-murid menerima pandangan yang berbeda dari murid-maurid lain. Akan tetapi, juga diperlukan peranan sekolah untuk menjelaskan kepada kaum muda, latarbelakang sejarah, budaya atau religious dari berbagai ideologi yang bersaing untuk diperhatikan di dalam masyarakat sekitar mereka atau di sekolah. Rekomendasi-rekomendasi di atas bila dikaitkan dengan bidang Poleksosbud dalam pendidikan sebagai berikut. Bidang politik, bahwa pendidikan adalah proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila bangsa di sebuah negara adalah abngsa yang cerdas, akan berpengaruh pada pengelolaan dan tatanan pemerintahan maupun kehidupan bernegara. Pendidikan demokrasi dilaksanakan agar hasil pendidikan dapat mencerminkan sikap demokrasi dalam kehidupan. Bidang ekonomi, pendidikan yang dilaksanakan secara berkeadilan dan memfokuskan pada life skill seperti di Jepang
dan Thailand dapat menciptakan kesejahteraan bangsanya. Kesejahteraan ekonomi dan kehidupan bangsa sangat berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan suatu negara. Bidang sosial, pendidikan yang bersifat menghormati, toleransi, keadilan, serta memberdayakan berbagai golongan minoritas untuk pengendalian masa depannya adalah penting dilakukan, Hal ini, dapat membentuk manusia yang empati terhadap sesama dalam praktik kehidupan sehari hari sehingga tercipta masyarakat yang rukun dan damai. Bidang budaya, melalui pendidikan dapat menciptakan beraneka ragam budaya untuk mengembangkan budaya bangsa. Selain itu, melalui pendidikan diharapkan para generasi muda bisa menfilter masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan peradapaban dan kepribadian bangsa. Melalui pendidikan upaya melestarikan budaya bangsa lebih mengena.

SIMPULAN
Pembahasan di atas bisa disimpulkan sebagai berikut. Beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga,
Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan, guru Jepang bersikap adil. Di samping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep Pencerahan Pendidikan berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja didalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusiamanusia
dengan jalan memerangi semua bentuk pengucilan.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hafid. (2003). Community- Based Education. Jakarta: Teraju
Anonim. (2007). Potret Pendidikan di Jepang.
<<eka_kos@yahoo.co.id (Senin, 25 Juni 2007
Jacques Delor, Chairman. (1996). Belajar Harta Karun di Dalamnya. Jakarta: UNESCO.
Terjemahan dari Learning: The Treasure
Within oleh W.P. Napitupulu.
Kaewdang, Rung. (2002). Belajar dari Monyet. Jakarta: Grasindo

Tomasevski, Katarina. (2006). The State of The Right to Education Worldwide. Copenhagen.

Senin, 28 Maret 2016

Resep Sukses Pendidikan Finlandia tinimbang sistem pendidikan Ιndonesia


Dari segi anggaran, Finlandia agak sedikit lebih tinggi dari negara lain walau bukan yang tertinggi. Kegiatan sekolah juga hanya 30 jam per minggu. Tapi guru-guru di Finlandia adalah pilihan dengan kualitas terbaik. Untuk menjadi guru jauh lebih ketat persaingannya ketimbang melamar Fakultas Hukum atau Kedokteran. Guru juga diberi kebebasan dalam kurikulum, text-book, hingga metode pengajaran dan evaluasi. Sistem pendidikan Finlandia memang unik. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan tapi untuk perbaikan. Orientasi dibuat untuk tujuan-tujuan yang harus dicapai. Penekanan ada di proses, bukan hasil. PR dan ujian tak musti dikerjakan dengan sempurna yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Sejak awal, murid diajari bertanggung jawab mengevaluasi dirinya sendiri. Mereka didorong untuk bekerja secara independen. Guru tidak mesti selalu mengontrol mereka. Proses pembelajaran berjalan dua arah. Suasana sekolah boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel, dan menyenangkan. Namun efektif. Guru juga tak pernah mengkritik murid yang justru dinilai membuat murid malu dan menghambat proses pembelajaran itu sendiri. Murid "boleh" berbuat kesalahan, namun guru akan memintanya untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya. Memang tak ada sistem ranking disini sehingga siswa merasa confident dan nyaman terhadap dirinya. Ranking dipandang hanya membuat guru berfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan ke seluruh murid. Finlandia sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Di Finlandia, perbedaan antara murid berprestasi baik dan murid yang kurang sangatlah kecil. Kata seorang guru di Finlandia, "Kalau saya gagal dalam mengajar seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya!" Sedangkan di Indonesia malah ada sejumlah guru dan kepala sekolah yang dengan bangga tidak menaikkelaskan anak didiknya. Gagal mendidik kok bangga. Pendidikan di Ιи∂σиєѕια Menikmati pendidikan belasan tahun di Ιи∂σиєѕια membuat saya miris. Penilaian berorientasi hasil, bukan proses. Pembinaan mengabaikan EQ dan SQ. Isinya hafalan, cara cepat membabat soal, dan "ilmu" yang ketika diingat malah makin membuat lupa tanpa penekanan soal pemikiran kritis dan pembentukan sikap mental positif. Trilogi dasar aspek pendidikan kognitif- psikomotor-afektif (sengaja?) diabaikan. Di Indonesia, kualitas guru di Indonesia juga masih (maaf) memprihatinkan. Lulusan sekolah menengah yang jempolan biasanya lari ke tempat yang mentereng: Ilmu Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Praktis, mereka yang masuk Ilmu Pendidikan adalah "sisa" yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit.

Rabu, 23 Maret 2016

TABU NIKAH PADA MASYARAKAT ONJE-CIPAKU DI PURBALINGGA MARITAL TABOOS AMONG ONJE-CIPAKU COMMUNITY IN PURBALINGGA


ABSTRAK

This study aims at discovering (1) the variety of socio-cultural backgrounds in the rural community of Onje, (2) the social conflicts which the community experienced leading to the marital taboos, and (3) the symbolic meanings of the taboos remaining to work at present. The study employs the historical method combined with the folklore and philological method. The two latter methods are applied to provide the historical sources with the texts and folklores. Then, the historical method is taken to produce a historiography, i.e. the cultural history or the intellectual history in the local scope of Onje. The result of study shows that the marital taboos in the rural community of Onje suggests the socio-cultural phenomena rested upon the socio-political legitimacy. The marital taboos are inflicted by social conflicts, such as those manifested in incest marriage, social rivalry, and legitimate battle, in which the communities of Onje represent the troublemakers.

Kata kunci: tabu perkawinan, konflik sosial, pembuat gara-gara,
perkawianan incest, persaingan sosial, peperangan sah













PENDAHULUAN

Babad Onje adalah pencerminan sejarah masyarakat Onje dan sekitarnya. Onje yang kini masuk wilayah Kecamatan Mrebet, Purbalingga dikenal sebagai daerah kadipaten yang ditetapkan pada masa Pajang. Di bagian lain wilayah Purbalingga juga terdapat kadipaten lain, yaitu Wirasaba yang juga mengaku di bawah Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 203 kekuasaan raja Pajang tersebut. Kalau Wirasaba sejak awal, para adipatinya mengklaim sebagai keturunan Majapahit, maka Onje mengaku keturunan Pajang. Di samping dua kadipaten tadi, di Purbalingga juga ditemukan pusat Islamisasi yang  terdapat di wilayah Cahyana yang identik dengan wilayah Perdikan Cahyana. Perdikan tersebut ditetapkan oleh Sultan Demak yang kemudian diikuti dengan pernyataan yang sama oleh raja-raja sesudahnya, yakni Pajang dan Mataram (Hasselman 1887: 84-86). Eksistensi Perdikan Cahyana berkembang dari satu daerah perdikan menjadi dua puluh satu perdikan yang dihapuskan setelah Republik Indonesia merdeka (Hasselman 1887: 92-93). Uraian di atas menunjukkan bahwa masa kelampauan masyarakat Purbalingga selalu dihubungkan dengan ketiga pusat dengan urutan yang lebih tua, yaitu Wirasaba,
Cahyana, dan Onje. Masing-masing pusat itu memang ada gejala yang menyatakan bahwa mereka lebih berpengaruh dan tinggi kedudukannya daripada yang lain. Hal itu memang terkait dengan tujuan yang senantiasa dikumandangkan oleh setiap karya sejarah, baik tradisional maupun modern. Faktor legitimasi bagi kelampauan suatu lokalitas tentu sangat diperlukan agar mereka dapat tampil dan diakui di atas panggung sejarah. Tanpa adanya legitimasi tersebut, maka lokalitas tadi tidak dianggap eksistensinya, bahkan mungkin mereka dicemoohkan oleh lokalitas lain yang merasa dirinya lebih tinggi. Dahulu banyak lokalitas yang tidak mampu menunjukkan keberadaannya sehingga lokalitas itu dalam konteks lokalitas yang lain dianggap lebih rendah. Contohnya, Onje menurut teks Babad Onje dinyatakan sebagai daerah kadipaten yang di kemudian hari akan diperintah oleh Adipati Ore-ore. Namun, tokoh ini menurut teks Babad Purbalingga-Sokaraja disebut dengan nama Ki Ageng Ngorean yang kedudukannya lebih rendah daripada Bupati Purbalingga dan Bupati Sokaraja. Agar orang Onje tidak merasa dilecehkan, maka babad tersebut tidak menyebut Onje sebagai tempat tinggal Ki Ageng Ngorean, tetapi Kendhal Bolong (versi lain Kendhang Bolong) yang berada di wilayah Bobotsari. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide. Tujuan penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya, konflik-konflik sosial yang terjadi, dan makna simbolik tabu nikah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini ditempuh dengan metode sejarah yang dikombinasikan dengan metode filologi dan metode penelitian folklor. Metode filologi dan folklor dipakai disini karena kedua ilmu tersebut dimanfaatkan sebagai ilmu bantu dalam penelitian sejarah. Kedua metode tersebut dipakai untuk menyediakan data sejarah berupa naskah dan folklor. Sebelum data atau sumber itu siap pakai, maka kedua metode itu penting dilakukan. Metode filologi ditempuh karena sebagian data penelitiannya  adalah naskah (Sulastin-Sutrisno 1994: 65) yang meliputi enam, yaitu (1) inventarisasi naskah, (2) deskripsi naskah, (3) perbandingan teks, (4) dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi, (5) singkatan teks, dan (6) transliterasi naskah (Djamaris 1977: 23-24). Enam langkah tersebut merupakan kerja filologi yang harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan analisis teks. Penelitian ini tidak bermaksud untuk menerbitkan teks dengan edisi tertentu dan tidak berusaha memurnikan teks sebagaimana tujuan yang dicanangkan oleh filologi tradisional, melainkan versi dan variasi teks dihargai sebagai bentuk kreatif dari masing-masing penulis atau penyalin teks (Teeuw 1988: 270). Karena data-data lain yang dikumpulkan berbentuk folklor, metode pengumpulan folklor yang dikembangkan oleh Danandjaja (1985: 1-21) dapat diterapkan. Informan kunci yang harus ditemukan adalah para pewaris aktif folklore dan bukan para pewaris pasif folklor. Pewaris aktif pada umumnya adalah dalang, dukun bayi, tokoh masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang terpelajar dipedesaan. Teknik pencarian pewaris aktif tadi bisa dimulai dari seorang yang kemudian yang bersangkutan akan menunjuk orang-orang lain yang mungkin bisa member keterangan lebih lanjut mengenai folklor yang sedang dikumpulkan sehingga bagaikan
bola salju, lama-kelamaan peneliti dapat menemukan para pewaris aktif dalam jumlah yang banyak. Setelah para pewaris aktif ditemukan, dilakukan wawancara dengan dua cara, yaitu wawancara tidak terarah dan wawancara terarah (Danandjaja 1984:187). Selanjutnya, metode sejarah terdiri dari empat langkah, yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) Interpretasi (Penafsiran), dan (4) historiografi (Penulisan Sejarah) (Notosusanto 1978: 35-43: bdk. Gottschalk 1983: 34 dan Kuntowijoyo 1995: 89-105). Langkah heuristik (pengumpulan sumber) sudah dilakukan pada penelitian filologi. Begitu pula dengan langkah kritik yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern telah dilakukan ketika mendeskripsikan naskah, sedangkan kritik intern ketika melaksanakan kritik teks. Dengan demikian, telah didapatkan fakta yang berupa fakta mental atau kejiwaan (mentifact). Karena tujuan penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya, konflikkonflik sosial yang terjadi, dan makna simbolik tabu nikah, maka kritik teks lebih dipertajam sehingga interpretasi yang dihasilkan pada langkah yang ketiga ini lebih maksimal. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide. Oleh karena itu, pada langkah interpretasi terhadap fenomena sejarahnya, khususnya mentifact diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sosial-budaya masyarakat Purbalingga Banyumas karena karya historiografi tradisional sering cenderung mengaburkan dua macam realitas sejarah, yaitu realitas yang objektif terjadi dan realitas yang riil dalam diri. Yang pertama adalah fakta yang merupakan pengalaman yang aktual, sedangkan yang kedua adalah fakta yang berupa penghayatan kultural kolektif (Abdullah 1985: 22-23). Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 205 Penghayatan kultural kolektif menjadi penting manakala peneliti berusaha memahami makna karena setiap peristiwa itu selalu dimaknai oleh masyarakat sehingga terjalin menjadi pandangan dunia yang utuh (Abdullah 1985: 24). Pemaknaan terhadap suatu peristiwa itulah yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu realitas yang baru sehingga bisa terjadi perubahan bentuk (metamorfose) peristiwa, nilai, dan tokoh (Van Peursen 1990: 58). Selanjutnya, hasil interpretasi tersebut disajikan pada langkah terakhir, yakni historiografi berupa sejarah kebudayaan atau sejarah intelektual di tingkat lokal Purbalingga Banyumas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Orang Onje mengklaim dirinya keturunan langsung raja Pajang melalui putrid Menoreh yang sedang hamil empat bulan yang diserahkan kepada Ki Tepus Rumput (versi lain Syekh Maulana Maghribi). Pengakuan semacam ini penting bagi suatu pusat di lokalitas tertentu agar mereka beserta keturunannya dapat lebih eksis dan melewati masa kekuasaan yang panjang sehingga mereka akan bisa melegitimasikan diri sebagai penguasa lokalitas yang sah. Oleh karena itu, Babad Onje senantiasa menghubungkan diri dengan penguasa pusat yang lain seperti kadipaten Cipaku dan Medang (versi lain Pasirluhur), bahkan pusat kerajaan Jawa yang berkuasa pada masa itu sehingga nama-nama raja itu disebut secara berurutan seperti tampak pada teks Babad Onje, yaitu Sultan Pajang, Ki Ageng Mataram, Pangeran Sayidiyah Kemuning, Pangeran Sayidiyah Krapyak, Sultan Kuwasa, Suhunan Plered, Suhunan Mas, dan Suhunan Paku Buwana (Purwaningsih 1986: 20-21). Penyebutan rajaraja itu memang tidak konsisten, terutama nama dan gelarnya, bahkan nama
Mangkurat Amral tidak disebutkan. Tampaknya keberadaan raja-raja tersebut itu penting karena Susuhunan Mangkurat Mas atau Mangkurat III pernah mengambil gadis Onje sebagai salah seorang selirnya (Teeuw tt: 22). Teks Babad Tanah Jawi edisi Meinsma menyatakan bahwa Pangeran Adipati Anom yang sudah memiliki istri utama (raden ayu adipati) kehidupannya tidak akur dengan istrinya itu karena Adipati Anom mengambil dua orang selir, yaitu satu keturunan orang Kalang dan
yang lainnya berasal dari Onje (Olthof 1941: 247). Rupanya gadis Onje ini bisa merebut cinta kasih Adipati Anom sehingga statusnya dinaikkan menjadi garwa meskipun Raden Ayu dari Kapugeran itu terkenal kecantikannya. Namun, Raden Ayu akhirnya dikembalikan kepada ayahnya, yakni Pangeran Puger dan gadis Onje itu diangkat kedudukannya dengan nama Ratu Kencana (Olthof 1941: 250-262). Ketika Pangeran Puger menjadi raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwana I, Kadipaten Onje menurut teks Babad Onje itu berakhir. Keberakhiran Onje sebagai kadipaten kemudian statusnya menjadi desa perdikan dibawah kekuasaan Kiai Ngabehi Denok di Pamerden. Ki Pangulu Onje (Kiai Ngabdullah) ditetapkan sebagai orang yang mengurusi perdikan dengan wilayah Tuwanwisa, Pesawahan, dan Onje, serta berkewajiban memelihara makam leluhur di Onje dan mendirikan salat Jumat (Purwaningsih 1986: 21). Demikianlah sekilas gambaran Onje secara umum sebagaimana dilukiskan oleh teks Babad Onje. Teks tersebut, sebagai suatu karya sejarah masa lalu Onje, perlu dijelaskan keberadaannya karena teks tersebut masih eksis, baik dalam bentuk naskah, manuskrip, maupun tradisi lisan (folklor). Babad Onje yang disebut di atas adalah teks yang terkandung dalam naskah yang dimiliki atau tersimpan oleh S.Warnoto, seorang penduduk desa Onje yang secara tradisi berhak menyimpan naskah. Ia adalah kakak kepala desa Onje Soepono Adi Warsito yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Seseorang yang mempunyai dua orang anak laki-laki berhak menyimpan naskah Babad Onje tersebut (Purwaningsih 1986: 5). Naskah pegon yang berukuran 10,5 X 8,5 cm dan tebal 137 halaman (30 halaman di antaranya kosong) menyatakan judulnya Punika Serat Sejarah Babad Onje. Naskah tersebut setiap halamannya berisi 7 baris dengan teks berbahasa Jawa (Purwaningsih 1986:12). Babad Onje, sebagai produk kebudayaan, tampaknya merupakan teks yang menjelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal masyarakat Onje dengan segala pengaruh kekuasaan politiknya. Kesejarahan Onje diakui oleh kalangan yang lebih luas berkat hadirnya teks Babad Onje tersebut. Tanpa adanya teks Babad Onje, masyarakat yang hidup di lokasi tersebut tidak mengakui kehadiran Onje di tengah-tengah interaksi sosial. Hal itu berbeda dengan Cipaku yang dikenal sebagai rival Onje. Cipaku sebagai daerah kadipaten memang tidak disebut dalam teks Babad Onje sebagai daerah bagian Onje. Jadi, Cipaku berdiri sendiri sebagai kadipaten yang setara dengan Onje. Namun, Onje lebih menonjol karena mereka menghasilkan Babad Onje, sedangkan Cipaku tidak memiliki karya yang serupa untuk menunjukkan eksistensinya. Anehnya, masyarakat Cipaku justru menghasilkan naskah yang sejenis dengan Babad Onje, yaitu naskah yang berjudul Serat Sejarah Rupi Onje. Naskah tersebut merupakan koleksi Baruna, seorang yang menjabat sebagai Penatus Cipaku, Kecamatan Mrebet (Darmosoetopo, 1977). Kiranya naskah produk Cipaku tersebut adalah naskah salinan dari milik S. Warnoto. Istilah rupi yang dipakai mengisyaratkan adanya proses penyalinan langsung. Perbandingan teks diantara kedua naskah memang menunjukkan bahwa naskah yang kedua disalin dari naskah yang pertama. Berdasarkan naskah Cipaku, dapat dinyatakan bahwa pengaruh Babad Onje cukup meluas dan melewati batas-batas wilayah kadipaten atau perdikan Onje sebagaimana yang disebut di dalam teks tersebut, termasuk di antaranya adalah Cipaku. Bahkan, di kemudian hari teks Babad Onje dipakai sebagai suatu pengantar terhadap teks yang baru, yang berkaitan dengan keluarga para bupati Purbalingga sehingga teks Babad Purbalingga lahir. Kelahiran teks tersebut disebabkan adanya hubungan kekerabatan bupati Purbalingga dengan Onje melalui tokoh Arsantaka yang diyakini oleh penulis Babad Purbalingga bahwa tokoh Arsantaka adalah anak Adipati Onje, Ore-ore dengan Nyai Pingen, setelah kasus pembunuhan kedua orang istri sang adipati tersebut yang berasal dari Medang dan Cipaku. Ada fenomena yang menarik disini karena Babad Onje dipakai sebagai alat legitimasi yang baru. Babad Onje tidak lagi hanya sebagai alat pengesahan dan penegasan terhadap keberadaan masyarakat Onje pada masa lampau, tetapi juga sebagai legitimasi asalmula para bupati Purbalingga setelah ada dua orang keturunan Banyumas yang mengawali jabatan tersebut. Para bupati Purbalingga tampaknya lebih memilih Onje daripada dua pusat yang lain, yakni Cahyana dan Wirasaba. Wirasaba sebagai pusat yang lebih tua daripada Onje kelihatannya sudah dipakai oleh keturunan para bupati Banyumas sehingga Purbalingga merelakan diri untuk melepaskan hubungan psikologisnya dengan Wirasaba karena kedudukan Wirasaba lebih dekat dengan Banyumas daripada Purbalingga. Hal itu sudah disadari oleh Purbalingga sehingga mereka harus mencari pusat lain yang masih bebas dari klaim keluarga yang lain. Klaim orang Banyumas yang terlalu kuat terhadap Wirasaba membuat orang Purbalingga kehilangan. Padahal, Wirasaba sebagai pusat yang tertua keberadaannya sangat penting bagi Purbalingga, tetapi akibat klaim Banyumas, maka mereka mencoba melepaskan hubungan mereka dengan Wirasaba. Purbalingga menciptakan tokoh baru, yakni Arsantaka (Wangsantaka) dan Yudantaka sebagai penghubung Purbalingga dengan Onje meskipun hubungan itu diragukan. Untuk menyaingi Banyumas mereka menjelek-jelekkan dua orang tokoh Banyumas yang pernah berkuasa di Pamerden, yaitu Ngabehi Dipayuda I atau Dipayuda Seda Jenar dan Dipayuda II atau Dipayuda Seda Banda. Persaingan keluarga Arsantaka dengan keturunan Ngabehi Dipayuda I menyebabkan munculnya tabu nikah diantara keluarga tersebut yang dilontarkan dari pihak Ngabehi Dipayuda Seda Jenar karena keluarga tersebut merasa menjadi korban permainan ilmu hitam. Keluarga Arsantaka merasa kehadiran keluarga Dipayuda I bisa mengganggu kedudukan mereka. Ngabehi Dipayuda I sebagai adik Tumenggung Yudanegara III, bupati Banyumas disebut juga di dalam teks Babad Onje dengan nama Ngabehi Denok, sedangkan Dipayuda II sering disebut Dipayuda Gabug. Tokoh Dipayuda yang kedua ini adalah putra Tumenggung Yudanegara III yang di dalam teks Babad Banyumas disebut orang yang meninggal karena Seda Banda ‘terkena penyakit kelamin’ sehingga ia dikenal tidak meninggalkan keturunan yang pantas menggantikan kedudukannya. Justru yang menjadi penggantinya adalah Dipayuda III yang disebut berasal dari keturunan Demang Panggendolan, Arsantaka. Cukup jelas bahwa keturunan Banyumas atau lebih dekatnya keturunan Wirasaba di Purbalingga harus disingkirkan pengaruhnya agar nama Arsantaka lebih harum daripada keturunan Yudanegara III. Teks Babad Banyumas agaknya juga ikut mengharumkan nama Arsantaka yang dikatakan sebagai salah seorang demang yang cukup heroik dalam peristiwa Perang Mangkubumen. Ketika Ngabehi Dipayuda I dan beberapa demang gugur di medan perang, Arsantaka ini justru yang selamat dari cengkeraman maut, bahkan ia menjadi orang yang sangat berjasa karena ia berhasil menemukan jasad Ngabehi Dipayuda I yang diserahkan kepada kakaknya, yaitu Tumenggung Yudanegara III. Karena jasa-jasanya itu, anak Arsantaka yang bernama Arsayuda dijadikan patih untuk mendampingi Dipayuda II. Anak Arsantaka juga dijadikan menantu oleh Tumenggung Banyumas tersebut sehingga lengkaplah kedudukan Arsantaka dan putranya di Purbalingga. Namun, istri dari Banyumas itu tidak ditonjolkan meskipun kedudukannya lebih tinggi daripada Arsayuda sendiri. Penggeseran istri dari Banyumas itu dilakukan agar keturunan Banyumas tidak menonjol lagi di Purbalingga sebagaimana hal itu juga sudah dilakukan terhadap Dipayuda I dan Dipayuda II. Istri yang derajatnya lebih rendah yang berasal dari putri Kanduruan I Roma itu ditampilkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati Purbalingga selanjutnya. Dengan demikian, Purbalingga benar-benar berusaha dengan keras untuk menyingkirkan pengaruh Banyumas dan Wirasaba. Purbalingga sudah berhasil menampilkan Arsantaka dan Arsayuda sebagai cikal-bakal yang baru dengan menggeser Wirasaba sebagai pusat yang tertua. Dengan kata lain, Wirasaba tidak mempunyai makna kesejarahan dengan para bupati Purbalingga. Purbalingga hanya mengakui bahwa dahulu ada Wirasaba yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Bukateja. Onje lebih berarti kedudukan dan hubungan kesejarahannya daripada Wirasaba. Maka dari itu, Onje juga memerlukan klaim yang kuat dengan cara menghubungkan diri dengan beberapa keluarga sebagai bentuk interaksi sosial, yaitu dengan Cipaku, Medang, dan Arenan. Hubungan tersebut sangat mencolok sebagaimana dituturkan oleh folklor yang berasal dari lokalitas tersebut, yaitu para pewaris aktif folklor yang meliputi Go Tien Tjwan, kepala desa Mangunegaran, dan Sanurji (Penatus Onje). Ketiga versi folklor tersebut menyatakan adanya hubungan perkawinan antara Adipati Onje (Ore-ore menurut versi pertama dan kedua, sedangkan versi ketiga adalah Cakrakusuma) dengan putri dari ketiga kadipaten. Putri yang pertama dikenal dengan nama Pakuwati atau Dewi Pakuwati, putri Adipati Cipaku. Menurut ketiga orang penutur folklor tersebut, istri dari Cipaku inilah yang memberi keturunan kepada Adipati Ore-ore. Versi pertama dan ketiga menyebut ada lima orang anak yang tinggal di Tegal, Cirebon, Ciamis, Cilacap, dan Onje, sedangkan versi kedua menyebut enam orang yang tinggal di Gondokusuma, Cilacap, Cirebon, Tegalarum, Ciamis, dan Mangunegara. Ketiga versi sepakat bahwa istri yang kedua tidak memiliki keturunan. Namun, agaknya istri yang kedua tadi berasal dari kadipaten yang cukup dikenal dengan luas. Versi pertama menyatakan bahwa istri kedua itu berasal dari Medang atau Pasirluhur sehingga disebut nama dirinya, yaitu Dewi Medang. Versi kedua menyebut nama Kalinggawati yang berasal dari Keling, sedangkan versi ketiga hanya menyebut istri kedua berasal dari Kalingga. Di samping kawin dengan kedua putri tadi, Adipati Ore-ore juga menikah dengan putri Adipati Arenan yang secara sepakat disebutkan oleh ketiga orang sumber folklor, yaitu Nyi Pingen (versi pertama), Raden Ayu Pingen atau Paingan (versi kedua), atau Nyi Paingan (versi ketiga). Nama Pingen atau Paingan ini kiranya berpengaruh terhadap topografi lokal karena nama itu juga dipakai untuk nama sungai yang mengalir di sebelah selatan desa Onje yang membatasi desa itu dengan Cipaku (Tohirin 2001: 26). Dari istri yang ketiga inilah, Adipati Ore-ore mendapatkan dua orang anak laki-laki menurut versi pertama dan kedua, sedangkan versi ketiga tidak menyebutkan masalah tentang hal itu. Versi kedua menyatakan bahwa kedua anak lelaki itu adalah Wangsantaka (Arsantaka) yang tua dan Yudantaka yang muda. Versi pertama menyebut secara terbalik, yaitu Yudantaka yang tua yang tinggal di Kalimanah sebagai petani, sedangkan yang muda adalah Arsantaka yang menjadi pejabat demang di Panggendolan (wilayah Kabupaten Banjarnegara). Akibat dibunuhnya istri pertama dari Cipaku dan kedua dari Pasirluhur (atau Medang atau Kalingga), maka muncul reaksi yang cukup keras dari Cipaku. Pasirluhur tidak bereaksi seperti halnya Cipaku. Kemungkinan Pasirluhur tidak lagi mempersoalkan masalah pembunuhan itu lebih lanjut. Reaksi Cipaku inilah yang memunculkan adanya pantangan atau tabu nikah atau saling berbesanan antara Cipaku dengan Onje. Ketiga versi folklor sepakat dengan tabu tersebut, hanya ada tambahan yang perlu dijelaskan dari versi pertama dan kedua. Tambahan pada versi pertama menyatakan bahwa tabu itu tidak dimutlakkan, atau dengan kata lain tidak berlaku jika kedua desa itu mempunyai dua pasang kakak-beradik laki-laki dan perempuan atau silang laki-laki dan perempuan dengan perempuan dan laki-laki. Cara menghambarkan atau meniadakan tabu semacam itu disebut tambangan. Peniadaan tabu hanya disebut oleh versi yang pertama, sedangkan versi yang kedua justru menambahkan tabu, yaitu orang Onje tidak boleh mempunyai dua orang istri pada waktu yang bersamaan. Ketiga folklor di atas rupanya juga sepakat bahwa tabu nikah itu dinyatakan oleh Adipati Ore-ore dan bukan Adipati Cipaku (Balai Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 52-54). Kesaksian folklor mengenai tabu nikah memang tidak didukung oleh naskah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje yang sudah disebutkan di atas. Kedua teks tersebut memang ada kecenderungan untuk berbicara pada wilayah politis. Artinya, kedua teks itu menghindari penuturan yang memungkinkan adanya kesan yang buruk terhadap Adipati Onje karena kedua teks itu memang bertujuan untuk melegitimasikan penguasa Onje sebagai keturunan Sultan Pajang dan memegang hegemoni politik di Onje. Jadi, kesan baik yang harus selalu ditampilkan oleh kedua teks yang resmi, terutama Babad Onje yang amat dikeramatkan oleh masyarakat desa Onje. Untuk membaca teks Onje tersebut, maka orang harus memenuhi syarat tertentu dengan berbagai sesaji yang harus disiapkan. Sesaji itu meliputi tumpeng kuat, kelapa hijau, klepon, apam pasuk, kepok, gapitan kreweng, pepesan menir, dua biji pisang kluthuk, air teh, kopi pahit, dua buah rokok kemenyan, serta yang paling penting adalah ayam berbulu putih. Ayam putih setelah disembelih diambil sayap, hati, dan perut besarnya. Hati dipotong kecil-kecil, sayap bagian atas, dan ingkung disajikan bersama dengan tumpeng kuat (Balai Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 54). Upacara sesaji tersebut menjadi syarat seseorang itu bisa atau dibolehkan membaca teks Babad Onje. Penyakralan terhadap naskah Babad Onje di desa Onje inilah yang memungkinkan banyak orang yang berusaha menghafalkan teks tersebut dalam bentuk folklor atau ditulis kembali sebagaimana tampak pada kasus naskah Cipaku, Serat Sejarah Rupi Onje. Karena naskah disakralkan, maka Babad Onje tidak layak jika menuturkan peristiwa yang dianggap aib oleh keluarga. Bagaimanapun Dewi Cipaku yang diyakini memiliki keturunan dan mereka sebagai anak korban dan sekaligus pelaku tentu tidak sampai hati menceritakan aib ayah mereka sebagai seorang pembunuh. Di sisi lain, mereka juga akan selalu terkenang dan sedih jika peristiwa pembunuhan ibu mereka itu selalu diceritakan kembali secara terus-menerus. Penyakralan terhadap naskah Babad Onje bisa jadi merupakan upaya untuk menghapus kenangan pahit oleh keluarga atau keturunan Adipati Onje, khususnya yang dilahirkan dari Dewi Pakuwati. Namun, masyarakat umum masih mencatat dan mengenang peristiwa kelabu yang tidak bisa dilupakan itu sehingga diceritakan dari mulut ke mulut secara terus-menerus dan melahirkan folklor yang dikenal hingga sekarang. Ada folklor yang berkaitan dengan Onje yang sudah mengalami proses penulisan teks sehingga sekarang sudah menjadi naskah meskipun dengan judul yang menafikan Onje, yakni naskah Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga yang ditulis oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda. Naskah pertama ditulis pada tahun 1939, sedangkan naskah yang kedua pada tahun 1967. Meskipun ditulis oleh orang yang sama, yaitu A.M. Kartosoedirdjo ternyata kedua teksnya tidak sama persis. Isi Babad Purbalingga yang berisi masalah Onje adalah nomor 1-7, sedangkan isi Diktat Riwajat Purbalingga pada nomor 2-8. Selebihnya, baik teks yang pertama (nomor 8-11) maupun teks yang kedua (nomor 9-12) adalah tambahan yang menyebabkan teks Babad Onje berubah judul menjadi Babad Purbalingga atau Diktat Riwajat Purbalingga. Dengan kata lain, teks Babad Onje adalah teks pembuka bagi kedua teks yang baru tadi. Hubungan teks Babad Onje dengan teks yang baru itu dilukiskan oleh penulisnya, yakni A.M. Kartosoedirdjo karena para bupati Purbalingga itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan Onje meskipun agak dipaksakan bahwa seolah-olah para bupati itu keturunan Arsantaka dan Arsantaka adalah putra Adipati Ore-ore (Adipati Onje II) dengan putri dari Arenan,
Nyai Paingen atau Paingan. Untuk memperjelas garis besar di atas, maka perlu dibandingkan dengan kedua teks karya A.M. Kartosoedirdjo seperti tampak pada

Perbandingan Teks Babad Purbalingga dengan Diktat Riwajat Purbalingga
No. Teks Babad Purbalingga Diktat Riwajat Purbalingga
1. Nama Cincin Sasraludira Sasraludira
2. Kakek Tepus Rumput Kiai Kantharaga Embah Kantharaga
3. Cikal-bakal Ki Tepus Rumput Ki Tepus Rumput
4. Selir Sultan Pajang Putri Adipati Menoreh Kencana Wungu
5. Nama Adipati Onje Adipati Onje II Raden Ore-ore
6. Istri Adipati Onje 1. Putri Cipaku
2. Putri Medang
3. Nyai Pingen
1. Putri Pakuwati
2. Dewi Medang
3. Rara Pingen
7. Mertua Adipati Onje 1. Adipati Cipaku
2. Adipati Kandhadaha
3. Adipati Arenan
1. Adipati Cipaku
2. Adipati Kandhadaha
3. Kiai Singayuda (Arenan)
8. Anak (istri Cipaku) 1. Raden Cakrakusuma
2. Raden Mangunjaya
1. Mas Wangsarudin
2. Mas Tarudin
3. Mas Sutarudin
4. Mas Amirudin
9. Anak (istri Medang) 1. Putri (istri Sayid Abdullah)
2. Putri (istri Adipati Tegal)
1. Raden Mangunjaya
2. Raden Cakrakesuma
3. Dewi Banowati (istri Sayid Abdullah)
10 Anak (istri Arenan) 1. Arsantaka 1. Kiai Yudantaka
2. Kiai Arsantaka
11. Ayah Adipati Arenan -- Pangeran Makhdum Wali Prakosa
12. Cucu Adipati Onje Putri I Putri II dari istri Medang 1.Sutarudin
2.Ditarudin
3.Sabarudin
4.Samarudin
5.Wangsarudin Raja Namrut
13. Tabu Adipati Onje Orang Onje tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan diwayuh (dimadu) Orang Onje tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan diwayuh (dimadu)
14. Tabu Adipati Cipaku Keturunan Adipati Cipaku dilarang berbesanan dengan Onje Sampai kiamat keturunan Cipaku tidak boleh berbesanan dengan orang Onje yang jahat. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa tabu nikah itu berasal dari Adipati Cipaku yang merasa dirinya menjadi korban dari kejahatan Adipati Onje yang digolongkan olehnya sebagai orang jahat, sedangkan Adipati Onje sendiri juga menyatakan tabu bagi laki-laki Onje untuk memadu dua orang istri atau lebih dan perempuan Onje tidak boleh dimadu oleh suaminya. Tabu dari Adipati Onje ini berdasarkan pengalaman pahit dirinya. Tabu Adipati Onje juga ditemukan pada folklor yang dituturkan oleh pewaris aktif folklor yang berasal dari kepala desa Mangunegaran. Ketiga Sumber folklor di bawah ini sepakat bahwa tabu nikah berasal dari Adipati Onje dan bukan dari Adipati Cipaku seperti tampak pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Teks Folklor
No. Teks Go Tien Tjwan Mangunegaran Sanurji
1. Cikal-bakal Ki Tepus Rumput Syekh Maulana Maghribi
Syekh Maulana Maghribi (Adipati Ore-ore)
2. Nama Cincin Socaludira Sasraludira Cahyaningrat
3. Nama Adipati Onje Raden Ore-ore Raden Ore-ore Cakrakusuma
4. Istri Adipati Onje
1. Dewi Pakuwati
2. Dewi Medang
3. Nyi Pingen
1. Pakuwati
2. Kalinggawati
3. R.A. Pingen
1. Pakuwati
2. —
3. Nyi Paingan
5. Asal-usul istri Adipati Onje
1. Cipaku
2. Pasirluhur
3. Arenan
1. Cipaku
2. Keling
3. Arenan
1. Cipaku
2. Kalingga
3. Arenan
6. Anak Adipati Onje dari istri Cipaku (disebut tempat tinggalnya)
1.Tegal
2.Cirebon
3.Ciamis
4.Cilacap
5.Onje
1.Gondokusuma
2.Cilacap
3.Cirebon
4.Tegalarum
5.Ciamis
6.Mangunegaran
1.Tegal
2.Cirebon
3.Ciamis
4.Cilacap
5.Onje
7. Anak Adipati Onje dari istri Nyi Pingen
1.Yudantaka (Petani di Kalimanah)
2.Arsantaka (Demang Panggendolan)
1.Wangsataka (Arsantaka)
2.Yudantaka
--
8. Tabu Adipati Onje Cipaku dan Onje tidak boleh berbesanan, kecuali tambangan
1. Onje dan Cipaku dilarang berbesanan
2. Penduduk Onje dilarang berbini dua Onje dan Cipaku tidak boleh berbesanan
Tabel 1 dan 2 yang disajikan diatas menunjukkan bahwa teks Babad Onje itu eksis dalam bentuk folklor yang masih lisan dan folklor yang sudah tertulis. Folklor tentang Onje menggambarkan adanya gejala yang beranekaragam dalam menuturkan tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat Onje dan sekitarnya. Keanekaragaman Itu memang wajar karena folklor selalu disebarkan melalui media mulut yang mudah sekali berubah teksnya. Kiranya folklor Onje ini yang paling menonjol bertujuan untuk menyampaikan proyeksi keinginan yang terpendam sebagai alat legitimasi bagi masyarakat Onje bahwa desanya dahulu merupakan suatu kadipaten yang berwibawa sejak zaman Pajang hingga masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana I. Maka dari itu, teks yang terkandung dalam naskah Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje berusaha untuk memproyeksikan keinginan legitimasi tersebut dengan menyajikan 10 orang yang pernah menjadi penguasa Onje dan 9 orang di antaranya adalah turun-temurun 9 generasi. Agak aneh kiranya kedua teks di atas karena orang yang terakhir ternyata tidak sesuai dengan teks folklor. Kiai Yudantaka bukanlah nenek moyang penguasa Purbalingga yang berkedudukan sebagai bupati. Kedua teks tidak menyebut tokoh yang sangat penting, yaitu Arsantaka meskipun secara samar-samar pada bagian akhir menyebut putranya yang sudah disebut dengan nama Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan. Kadipaten Onje setelah berakhir statusnya dijadikan perdikan dengan wilayah yang meliputi Tuwanwisa (Tuwanwisesa), Pesawahan, dan Onje. Pengelolaan daerah perdikan diserahkan kepada Kiai Ngabdullah di Onje yang berkewajiban memelihara makam para leluhur Onje dan mendirikan salat Jumat. Perdikan Onje mengalami pengurangan dua wilayahnya, yaitu Tuwanwisesa dan Pesawahan. Akhirnya, perdikan Onje pun dikurangi lagi wilayahnya dan hanya sebatas Onje Pekauman saja. Hal itu menunjukkan bahwa Onje mengalami kemerosotan status dan kepemilikan wilayahnya. Ketika Kadipaten Onje berakhir, maka yang muncul adalah para penguasa Pamerden atau Pra-Purbalingga atau Pasca-Onje seperti yang disebutkan oleh kedua teks yang berasal dari naskah Onje dan Cipaku. Meskipun Arsantaka tidak disebutkan sebagai salah seorang yang pernah berkuasa di Onje, tetapi anaknya disebut sebagai penguasa Pamerden. Panggendolan meskipun terletak di luar wilayah Purbalingga, atau tepatnya di Banjarnegara, tetapi daerah itu sudah menjadi trademark bagi Arsantaka dan keturunannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan tidak disebutkannya Arsantaka pada naskah sakral tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Arsantaka itu diragukan eksistensinya ? Pertanyaan ini sulit karena pada teks-teks folklor, Yudantaka dikenal sebagai seorang petani yang tinggal di Kalimanah, sedangkan Arsantaka lebih senang menjadi pejabat daripada saudaranya itu sehingga ia dikenal dengan jabatan daerah lungguhnya, yakni Demang Panggendolan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa nama Arsantaka tercecer dari daftar silsilah karena ia tidak pernah menjadi penguasa Onje, tetapi ia hanyalah penguasa daerah perdikan seperti halnya Kiai Ngabdullah sepeninggal Yudantaka berkuasa. Jadi, ketika Yudantaka berakhir kedudukan sebagai penguasa Onje, ia tersingkir dan kemudian berpindah ke Kalimanah, sedangkan perdikan Onje diserahkan kepada Kiai Ngabdullah. Sementara itu, Arsantaka sudah terlanjur menjadi demang di Panggendolan. Menurut Kartosoedirdjo (1941: 19), teks Babad Purbalingga menyebutkan bahwa Arsantaka sebagai keturunan keempat atau buyut dari Kiai Ageng Gendhani yang tinggal di Bangkong Reyang (Banjarnegara) dekat Panggendolan melalui Kiai Barata dan Kiai Candrataka. Kiai Candrataka inilah ayah Kiai Arsantaka. Jika silsilah yang berasal dari Gumelem ini benar, maka Kiai Arsantaka itu tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Onje sebagaimana ia tidak disebut dalam teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje. Namun, karena Arsayuda mengalami mobilitas sosial dengan naiknya status sebagai ngabehi di Pamerden dan selanjutnya menjadi leluhur para bupati Purbalingga, diperlukan legitimasi yang menguatkan posisinya. Rupanya masalah perkawinan Arsayuda menjadi penting untuk dipersoalkan. Naskah Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas menyebutkan bahwa Arsayuda mempunyai dua orang istri utama, yaitu yang pertama adalah putri Tumenggung Yudanegara III dari Banyumas dan yang kedua adalah putri Tumenggung Kanduruan I Roma di Gombong. Istri utama kedua yang dikisahkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati Purbalingga (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo 1969: 91). Jadi, teks tersebut masih mengakui keturunan Banyumas karena Tumenggung Kanduruan I masih trah Banyumas. Lain halnya dengan Sasono dan Tri Atmo (1993: 62) yang menyatakan bahwa yang menurunkan para bupati adalah istri selir kedua yang berasal dari keturunan Pangeran Makhdum Wali Prakosa melalui Adipati Arenan, Kiai Singayuda, yaitu Nyai Tegal Pingen (Atmo 1984: 64). Kedua penulis itu kiranya memang berusaha menghapus eksistensi Banyumas sebagaimana diduga di muka. Nyai Tegal Pingen ini sesungguhnya tidak lain adalah Nyai Pingen yang disebutkan oleh A.M. Kartosoedirdjo (1969) dalam teks Diktat Riwajat Purbalingga sebagai istri yang ketiga Adipati Onje yang melahirkan dua orang anak laki-laki yang bernama Kiai Yudantaka dan Kiai Arsantaka. Jadi, ada kemungkinan bahwa kedua penulis kontemporer itu melakukan kesalahan kutip yang fatal atau barangkali memang ada unsur kesengajaan untuk menghapus trah Banyumas agar tidak tercampur dengan para bupati Purbalingga. Kedua penulis ini kiranya juga bermaksud untuk melegitimasikan para bupati Purbalingga sebagai keturunan orang penting dan berpengaruh di Perdikan Cahyana. Teks-teks Cahyana sendiri tidak pernah menjelaskan dalam silsilahnya bahwa Pangeran Makhdum Wali Prakosa mempunyai keturunan di luar Perdikan Cahyana yang bernama Kiai Singayuda. Intinya, kedua penulis tersebut mencoba membuat sensasi yang tidak didasarkan sumber yang cukup bisa dipertanggungjawabkan hanya untuk keperluan melegitimasikan anak Arsantaka yang merasa dirinya sudah besar karena mengalami kenaikan status atau mobilitas sosial.
Sehubungan dengan hal itu, status dan identitas Arsantaka itu kembali dimunculkan dengan adanya nama Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan, suatu nama yang sudah paten karena telah menggusur nama dua orang Dipayuda yang lain. Anak Arsantaka sesungguhnya adalah Arsayuda dan nama Dipayuda dipakai setelah mengganti Dipayuda sebelumnya yang disebut Dipayuda Seda Banda. Hal lain yang menarik adalah munculnya nama Cakrayuda yang berasal dari keturunan Toyamas atau Banyumas. Nama ini kurang dikenal dalam teks Babad Banyumas sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi tokoh peralihan dari Dipayuda Seda Banda ke Ngabehi Dipayuda dari Panggendolan tersebut. Uraian diatas telah menjelaskan bahwa Onje memiliki hubungan kekerabatan yang cukup panjang dengan Purbalingga. Di samping berusaha untuk menonjolkan Onje sendiri di lokalitasnya, juga keluar dari wilayah Onje. Hal itu berarti bahwa Onje berkedudukan penting di tengah pusaran sejarah tradisional di Purbalingga sehingga Adipati Ore-ore menurut folklor itu identik dengan Kiai Adipati Anyakrapati menurut teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje, yang masih keturunan langsung atau anak biologis Sultan Pajang. Sebagai keturunan langsung seorang raja, Adipati Ore-ore layak memiliki sikap dirinya lebih tinggi kedudukannya daripada penguasa lokal di sekitarnya meskipun ia lahir hanya dari istri selir yang terbuang sehingga ketika lahir, ia hanya disebut sebagai anak tiri Ki Tepus Rumput. Pada hakikatnya, Adipati Ore-ore atau Adipati Anyakrapati telah mengalami mobilitas sosial menjadi adipati di lokalitas Onje. Keturunannya atau orang yang mengaku keturunannya memakai namanya sebagai alat legitimasi, termasuk di antaranya adalah Kiai Arsantaka dan Arsayuda. Namun, gejala aneh muncul ketika di tingkat lokal seorang tokoh keturunan Onje dilupakan, justru nama itu cukup berkibar di dalam teks Babad Tanah Jawi, yaitu Raja Namrut atau Namrud (Olthof 1941: 204 & 207). Raja Namrut dikenal sebagai tokoh pemberontak yang tinggal di Slinga (De Graaf & Pigeaud 1985: 64). Menurut folklor yang dicatat oleh Kartosoedirdjo (1941) bahwa Raja Namrut itu masih keturunan Adipati Onje dari istri Medang atau keturunan Adipati Pasirluhur, Kandhadaha. Selain itu, ia disebutkan sebagai anak Adipati Tegal meskipun nama ayahnya itu tidak diidentifikasikan namanya. Jadi, seandainya Raja Namrut menjadi pemberontak kepada Raja Mangkurat Amral, maka ia memang memiliki bibit keturunan seperti itu dari Pasirluhur (Adipati Thole) dan Adipati Tegal sesuai dengan semboyan bantheng loreng binoncengan yang menunjukkan bahwa orang Tegal bertabiat gagah berani seperti banteng dan bisa agak kasar seperti warna loreng jika diperlakukan tidak baik (Suputro 1959: 47). Jadi, pada intinya orang-orang Onje mempunyai sikap tinggi hati dan keras hati karena ia merasa masih keturunan raja Pajang sehingga muncul konflik dan rasa antipati dari pihak lain, yaitu Cipaku untuk kasus pembunuhan Putri Pakuwati dan keturunan Ngabehi Dipayuda Seda Jenar untuk kasus persaingan kekuasaan di Pamerden dengan permainan ilmu hitam. Jika orang Onje perangainya tinggi hati dan keras hati sebagaimana tampak pada karya babad mereka, maka bagaimana dengan orang Cipaku? Apakah orang Cipaku memiliki karakter yang sama dengan orang Onje? Seperti yang sudah dibicarakan di muka bahwa masyarakat Cipaku tidak menghasilkan karya sejarah sejenis babad yang bisa menjelaskan kedudukan mereka sebagai rival sehubungan dengan adanya pantangan atau tabu yang dinyatakan oleh Adipati Cipaku. Pernyataan Adipati Cipaku yang tertera dalam Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga menunjukkan bahwa tidak ada tawar-menawar lagi dengan tabu tersebut, bahkan sampai kiamat sekalipun. Jika Onje masih membolehkan dengan cara tambangan, yaitu saling tukar-menukar antara Cipaku dengan Onje berupa pasangan kakak beradik laki-laki dan perempuan dengan pasangan kakak beradik perempuan dan laki-laki. Atau, yang penting di dalam pernikahan itu masing-masing desa harus membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai mempelai yang akan dipertemukan di dalam acara pernikahan. Tambangan adalah suatu cara untuk sedikit membuat tawar terhadap tabu. Mengapa Adipati Cipaku begitu keras dalam menanggapi kasus pembunuhan putrinya oleh Adipati Onje ? Pertanyaan tadi sudah menunjukkan bahwa Adipati Cipaku juga orang yang berkarakter keras juga karena Putri Pakuwati adalah pihak yang dijadikan korban. Sikap Adipati Cipaku memang telah mengisyaratkan kemaskulinan daripada femininitas karena kata Cipaku itu identik dengan phallus atau lingga sebagai simbol kejantanan, sedangkan kata Onje berarti buah yang lebat (ngronje) yang menyimbolkan perempuan (Tohirin 2001: 25). Jika kata Onje dijadikan kata ulang, maka onje-onje berarti danawa bajang (Winter Sr. & Ranggawarsita 1988: 189) atau buta bajang atau raksasa kecil. Sementara itu, nama Pakuwati sudah menunjukkan adanya perpaduan antara simbol kejantanan dengan kesuburan, sebab kata paku identik dengan lingga dan kata vatin berarti tanah atau bumi. Jadi, perkawinan antara Adipati Onje dengan putri Cipaku itu tidak relevan dengan adat-istiadat yang berlaku. Tampaknya pada masa yang lalu, Onje adalah pihak pemberi wanita kepada laki-laki Cipaku dan bukan sebaliknya. Keharusan seperti itu menggambarkan bahwa ada sistem tukar-menukar perempuan di antara komunitas di sekitar Onje dan Cipaku dan hubungan yang jelas di antara mereka adalah Cipaku menjadi pihak penerima perempuan dari Onje. Pihak Onje akan menjadi pihak penerima perempuan dari desa atau daerah lain yang berdekatan sehingga terjadi saling tukar-menukar. Di situ, ada dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk memberi dan kewajiban untuk menerima (Mauss 1992: 15-17). Cipaku berkewajiban untuk memberi perempuan kepada pihak lain (bukan Onje) dan juga
berkewajiban untuk menerima perempuan dari pihak yang lain lagi (mungkin Onje). Kalau laki-laki Cipaku berkewajiban untuk menerima perempuan Onje itu bisa dilihat adanya tawaran cara tambangan agar kedua desa itu bisa saling memberi dan menerima perempuan. Hal itu kelihatannya dipakai untuk mengesahkan tindakan Adipati Onje yang tidak benar. Sumber folklor dari Cipaku menyatakan bahwa Adipati Cipaku menolak lamaran Adipati Onje terhadap putrinya (Tohirin 2001: 20). Penolakan ini jelas dimaksudkan agar rantai tukar-menukar yang sudah berlangsung tidak mengalami kerancuan dan kekacauan karena Onje harus menerima perempuan bukan dari Cipaku. Ada kemungkinan bahwa Onje harus menerima perempuan dari pihak Citrakusuma. Folklor Cipaku tersebut menjelaskan bahwa Adipati Onje melakukan tindakan yang berada di luar kebiasaan, yaitu mengambil Pakuwati dengan cara paksa dan melanggar adat (Tohirin 2001: 20). Sistem pertukaran yang berlaku pada masa itu terjadi karena jika laki-laki Onje menikahi perempuan Cipaku, maka status perkawinan mereka itu incest sehingga laki-laki Onje harus menerima perempuan dari pihak Citrakusuma. Peristiwa incest dalam suatu perkawinan itu terjadi bila pihak perempuan itu berkedudukan lebih tua daripada pihak laki-laki seperti anggapan orang Sunda selama ini kepada perempuan Jawa sehingga laki-laki Sunda tabu kawin dengan wanita Jawa. Kedudukan tua bagi perempuan Jawa dilihat dari sistem kekerabatannya pada masa lampau.Rupanya Cipaku memang berkedudukan lebih tua karena masyarakat Cipaku berasal dari masa yang lebih tua, yakni masa Hindu Buddha. Di Cipaku ditemukan situs kesejarahan berupa Prasasti Cipaku dan arca Ganesa. Prasasti Cipaku meskipun tulisan yang lain sudah kabur hurufnya, tetapi baris yang lain menyebut seorang tokoh yang memakai gelar Indrawardhaya Wikramadewa (Priyadi 2000a). Tokoh itu memang tidak jelas identitasnya, tetapi jika dilihat gaya tulisannya yang menunjukkan abad ke-8 dan 9 masehi, maka zaman itu bersamaan dengan eksistensi Wangsa Sailendra di Jawa Tengah. Hal itu diperkuat adanya Prasasti Bukateja yang menggunakan bahasa Melayu Kuna yang berbunyi ini padehanda Hawang Payangnan. Oleh Casparis, kalimat itu diterjemahkan dengan these (presumably the deposit of bhasma) are the corporeal remains of Hawang (title) Payangnan (name). Jadi, Hawang adalah gelar, sedangkan Payangnan adalah orang yang memiliki gelar tersebut (Casparis 1956: 208-209). Hawang Payangnan dimungkinkan adalah tokoh cikal-bakal yang mungkin setara dengan Dapunta Selendra (Priyadi 2000b) seperti yang disebut dalam Prasasti Sojomerto yang juga berbahasa Melayu Kuna (Boechari 1966: 243). Jika pengaruh Wangsa Sailendra itu sampai di Cipaku, maka nama Indrawardhaya Wikramadewa itu mungkin bisa diidentikkan dengan Raja Dharanindra yang bergelar vairivaravimardana dalam Prasasti Kelurak (782 masehi), atau Çailendraraja dalam Prasasti Kalasan (778 masehi), atau Çri Maharaja Çailendravamça yang memiliki gelar sarwarimadavimathana dalam Prasasti Ligor, atau Raja Yawabhumipala yang berasal dari Çailendravamçatilaka yang bergelar viravairimathana dalam Prasasti Nalanda (860 masehi) (Bosch 1975: 24). Jadi, Cipaku meskipun tidak menghasilkan karya babad, tetapi masyarakat mereka jauh lebih tua dan memiliki peristiwa kesejarahan yang mantap. Maka dari itu, masyarakat Cipaku itu wajar apabila mereka lebih bijaksana dan lebih sabar sebagaimana nama Indrawardhaya Wikramadewa dalam menghadapi pembelotan adat yang dilakukan Adipati Onje. Namun, ketika Adipati Onje membunuh Pakuwati, maka Adipati Cipaku berteriak lantang untuk menyatakan antipatinya. Hal itu juga sesuai dengan nama Indrawardhaya Wikramadewa yang mungkin bisa diartikan penggempur musuh dan menjadi pahlawan yang bijaksana bagi para dewa yang setara dengan gelar-gelar yang disandang oleh salah seorang raja dari keluarga Sailendra di atas.














SIMPULAN

Teks Serat Sejarah Babad Onje dan Serat Sejarah Rupi Onje merupakan teks yang berfungsi sebagai alat legitimasi politik terhadap keberadaan Onje pada masa lampau. Maka dari itu, naskah yang pertama disakralkan oleh masyarakat desa Onje. Siapa pun yang membaca teks tersebut harus melalui ritual penyembelihan ayam yang berbulu putih. Kedua teks di atas tidak pernah memberikan informasi mengenai tradisi tabu nikah di Onje dan Cipaku. Informasi tabu nikah ditemukan pada folklor yang sudah menjadi naskah (Babad Purbalingga dan Diktat Riwajat Purbalingga) dan folklor yang masih berbentuk lisan seperti yang dituturkan oleh Go Tien Tjwan, kepala desa Mangunegaran, dan Sanurji. Dalam folklor lisan, tabu nikah selalu dinyatakan oleh Adipati Onje, padahal ia sendiri yang menjadi pelaku pembunuhan atau ia bukan berasal dari pihak korban. Sebaliknya, pada folklore yang sudah menjadi naskah, tabu nikah dinyatakan oleh Adipati Cipaku yang merasa dirinya dirugikan akibat terbunuhnya Dewi Pakuwati oleh Adipati Onje. Namun, disini ada tambahan tabu dari Adipati Onje yang menyatakan bahwa laki-laki Onje tidak boleh mayuh (memadu dua orang istri atau lebih) atau wanita Onje diwayuh (dimadu oleh suaminya). Secara keseluruhan, teks-teks yang disebutkan di atas berfungsi sebagai alat legitimasi bagi leluhur Onje, Arsantaka, dan para bupati Purbalingga.







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Atmo, Tri. 1984. Babad dan Sejarah Purbalingga. Purbalingga: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga. Balai Penelitian Sejarah dan Budaya. 1981-1982. Sejarah dan Budaya: Seri Folklore.
Yogyakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Boechari. 1966. “Preliminary Report on the Discovery of an Old-Malay Inscription at Sodjomerto,” Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Oktober, Djilid III, No. 2 & 3.
Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga (Sugeng Priyadi) 219
Bosch, F.D.K. 1975. Çrivijaya, Çailendra, dan Sanjayavamça. Jakarta: Bhratara.
Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo. 1969. Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas. Bogor: tanpa penerbit.
Casparis, J.G. de. 1956. Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D. Bandung: Masa Baru.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lainlain. Jakarta: Grafitipers.
___. 1985. “Mengumpulkan Folklore Bali Aga di Trunyan,” dalam Koentjaraningrat & Donald D. Emmerson. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Gramedia.
Darmosoetopo, Riboet. 1977. Serat Sejarah Rupi Onje: Naskah dan Transkripsi.
Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi,” dalam Bahasa
dan Sastra, Tahun III, Nomor 1.
Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI-Press.
Hasselman, C.J. 1887. “De Perdikan Dessa’s is het District Tjahijana (Afdeeling Poerbolinggo, Residentie Banjoemas),” Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur, deel I: 72-104.
Kartosoedirdjo, A.M. 1941. Babad Poerbalingga. Yogyakarta: Museum Sana Budaya.
___. 1969. Diktat Riwajat Purbalingga. Selanegara: stensil.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Idayu.
220 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 202-220
Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Priyadi, Sugeng. 2000a. “Indrawardhaya Wikramadewa (1),” Radar Banyumas, edisi 10 Februari, Kamis Legi.
___. 2000b. “Indrawardhaya Wikramadewa (2),” Radar Banyumas, edisi 17 Februari, Kamis Pon.
Purwaningsih, Endang. 1986. “Babad Onje (Transliterasi, Terjemahan, Perbandingan dengan Babad Purbalingga),” Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Sasono & Tri Atmo. 1993. Mengenal Purbalingga (Banyumas): Daerah Tempat Lahir Jenderal Sudirman. Jakarta: Paguyuban Arsakusuma.
Sulastin-Sutrisno, 1994. “Teori Filologi dan Penerapannya.” dalam Siti Baroroh
Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Suputro. 1959. Tegal dari Masa ke Masa. Djakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, Kementrian P.P. dan K.
Teeuw, A. tt. Register op de Tekst en Vertaling van de Babad Tanah Djawi (uitgave 1941). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya-Girirmukti Pasaka.
Tohirin. 2001. “Tabu Nikah Orang Desa Onje dengan Desa Cipaku Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga,” Skripsi. Purwokerto: FKIP-Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Van Peursen, C.A. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa tentang Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Jakarta: Gramedia.

Winter Sr., C.F. & R. Ng. Ranggawarsita. 1988. Kamus Kawi Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.