Masa Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi berbagai
sistem yang berlaku di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan,
perekonomian, pendidikan, bahkan hingga tata cara pengairan masih banyak
bergantung pada sarana-sarana pengairan peninggalan Belanda. Dari sekian banyak
sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang penting
untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini
disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan
negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan
yang baik sedikit banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan
dengan semestinya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari perubahan sistem
pendidikan di Indonesia pada masa kolonial serta implikasinya pada sistem
pendidikan saat ini.
Pendidikan Indonesia sebelum masa Kolonial.
Komunitas Paduraksa, sebuah komunitas pemerhati sejarah budaya Indonesia,
dalam sebuah tulisan berjudul "Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia",
mengelompokkan pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya menjadi
tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha,
pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial. Pada masa
Hindu-Budha, dikatakan di uraian tersebut pula, mengutip dari tesis Agus Aris
Munandar yang berjudul "Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung
Suci di Jawa Timur Abad 14—15 (1990)", pendidikan dikenal dengan istilah
"Karsyan", sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan
untuk orangorang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan
mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan sendiri dibagi menjadi dua
bentuk yaitu patapan dan mandala. Di mana patapan adalah tempat
mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk
tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci
untuk para pendeta, murid, dan mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan,
dan pembaktian diri pada agama dan nagara. Pada masa Islam, menurut tulisan
Komunitas Paduraksa, pendidikan yang ada bisa dikatakan merupakan adaptasi
dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha. Adaptasi antara sistem mandala
dan uzlah (menyendiri) tampak pada tampak pada sistem pendidikan
yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan
permukiman yang disebut pondok pesantren, dimana pondok pesantren tersebut
biasanya jauh dari keramaian dan terkesan menyendiri (Schrieke, 1957: 237;
Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada pendidikan masa Hindu-Budha dan pendidikan
masa Islam, menurut saya tujuan dari pendidikan adalah untuk mencari jati diri
dan tujuan hidup. Pencarian pengetahuan tentang untuk apa dirinya itu harus
hidup. Hal-hal yang diajarkan juga sebatas pemikiran-pemikiran tentang manusia,
ilmu-ilmu keagamaan ditambah ilmu-ilmu perdagangan dan pengolahan alam.
Terlihat dari tujuan belajar pada masa Hindu-Budha, yaitu mencari petunjuk
tentang apa yang diinginkan, baik baik buruknya hingga cara pencapaiannya.
Sedangkan saat pendidikan masa Islam, tidak jauh berbeda dengan sistem mandala
dimana merupakan tempat “belajar bersama”, mempelajari untuk apa manusia hidup,
hubungannya dengan Tuhan dan juga hubungan dengan alam sekitar dan sebagainya.
Pendidikan Indonesia pada Masa Kolonial.
Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi
secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan
gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada
saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Usaha Belanda untuk
membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat
muncul kritik dari para kaum humanis Belanda. Sindiran dan kritik para kaum
humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti Max Havelaar (Max Havelaar:
Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, Multatuli,1860)
sedikit banyak telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis (Ethical
Policy - ‘Ethische Politiek), atau juga dikenal sebagai politik balas
budi, pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada
masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan
tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata
hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah
lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah
untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia. Pada masa ini pula,
pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-sekolah rakyat seperti
Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada
masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda. Pertama adalah
sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan pondok pesantren,
pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan
terakhir pendidikan "swasta pro-pribumi" seperti Taman Siswa,
Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada dasarnya banyak kemiripan
dalam sistem pendidikan ala Hindia-Belanda dan pendidikan yang disediakan oleh
kaum-kaum "pro-pribumi".
Pengaruh sistem pendidikan Indonesia pada masa kolonial dengan system
Pendidikan saat ini.
Disebutkan di atas bahwa pendidikan pada masa kolonial bertujuan
untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat
ini, bisa dikatakan sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan system
pada saat kolonial. Yaitu menciptakan manusia yang siap kerja, entah itu
menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan, dan sebagainya. Pendidikan
yang diberikanpun tipenya sama, kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan
hanya butuh bisa baca tulis dan berhitung, saat ini ilmu yang diberikan dalam
pendidikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk pengisi kurikulum dan mengejar nilai
akademis atau gelar. Sekalinya diberikan pengetahuan yang dapat diterapkan,
ilmu tersebut diberikan dalam bentuk jadi, tidak perlu dipikirkan kembali. Bisa
dikatakan pendidikan Indonesia saat ini seakan-akan hanya memberikan buku
pedoman bagaimana harus bergerak tanpa harus berfikir. Akibatnya, keberadaan
kaum-kaum pribumi Indonesia saat ini juga tidak jauh-jauh dari posisi
"pegawai rendahan" seperti tujuan pemberian pendidikan pada masa
kolonial. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman bagaimana
harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan berlangsung.
Penyebab lainnya adalah dangkalnya impian yang muncul tentang tujuan dari
pendidikan tersebut. Tersebar secara umum dimasyarakat, tujuan pendidikan
adalah supaya kelak dapat bekerja dan mencari uang. Tidak terbersit pemikiran
dimana ilmu yang didapatkan pada saat pendidikan berlangsung tersebut akan dipergunakan. Dan dengan
jalan apa ilmuilmu yang didapat di dalam pendidikan akan berguna nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar