Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan
kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan
sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat
dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan
kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara
bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M,
bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat
VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan
agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang
memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa
pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini
juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai
guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki
lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti
ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi. Kondisi pendidikan di zaman
VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol.
Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya
di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan
penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil
alih lembagalembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa
kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan
yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di
Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung
dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasipara penguasa lokal pribumi. Jikalaupun
ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi
para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat
digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar
peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1
(tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung.
Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3
(terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses
kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara
individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya
dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school
(Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri
tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali
dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai
namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah
bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara
permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah
Seminari)
Sekolah
untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur
Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas
secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan
Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa
Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah,
arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung
oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam
sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi
Pelayanan)
Berdiri
tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama
studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa
ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama,
keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun
1755.
(5) Sekolah Cina
1737
didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena
peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah
ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun
1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan
untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara
tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke
Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami
kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan
Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif
maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil
sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak
atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan
dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari
penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur
menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan
diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat
dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah
kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas
aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di
Indonesia. Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan
Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya
menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta
sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya
adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada
lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda
telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu
sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang,
sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon.
Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para
bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi.
Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di
bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan
politik dari kerajaan Inggris.
Hindia
Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan
formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi
kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi
ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup
monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah
Sumatera,
kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden,
Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan
penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah
di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi
signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa
lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan
Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan
lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali
dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur
Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas
Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar
negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil)
tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral
sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya
Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan
pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan
berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang
memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan.
Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga
telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian
sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang
berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di
Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki
tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer
yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis
(Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de
Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie,
Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers)
yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan
pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda
diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi
pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini
belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh
pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi
resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1)
Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan
Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920,
rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa;
(2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa
untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai
berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin
agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada
masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai
berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa
Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS),
dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum
(MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar