DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Selasa, 29 Maret 2016

Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda


Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi. Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembagalembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasipara penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia. Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris.
Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah
Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar