DAFTAR ISI

Supported by Seowaps

Selasa, 29 Maret 2016

POTRET PENDIDIKAN DI JEPANG SEBAGAI KONSEP PENCERAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

POTRET PENDIDIKAN JEPANG
Sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem masyarakat  feodal, yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya (sekolah kuil). Namun semenjak Restorasi Meiji (Meiji Ishin, 1868) dikibarkan, Jepang membelalakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia barat. Selain itu, Jepang mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya. Tujuannya tidak lain untuk mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat ”berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan dunia barat. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II (PD II) banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat pokok struktur baru yang dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings(1984), yaitu: Pertama, Sekolah Dasar (SD) wajib selama enam tahun. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi
warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada Sekolah Lanjutan Pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewargaannegaraan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan bekerja. Ketiga, setelah Sekolah Lanjutan Pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, Universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan Jepang yang dikembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk ”revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II. Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, memiliki gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyetakan pada bagian pendahuluan buku tersebut” sebagai jalan yang paling ampuh unruk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan. Kegiatan Jepang dalam mencerdaskan bangsanya menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dengan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi Negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sama dengan bangsa barat lainnya seperti Inggris maupun Prancis. Seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik isolasinya melaksanakan pendidikannya dengan system Terakoya (sekolah kuil) yang pada akhirnya pada zaman Shugun terdapat kurang lebih 7000 Terakoya menjadi dasar pelaksanaan sistem wajib belajar (gimu kyooiku). Berdasarkan artikel 26 paragraf 2 dalam Katarina Thomasevski mengenai penawaran konstitusi untuk pendidikan gratis, pemerintah Jepang menginterprestasikan penawaran tersebut secara sempit sebagai pelarangan pemungutan uang sekolah. Pemerintah mempertimbangkan penyediaan gratis hanya pada buku-buku ajar sebagaimana opsi legislatif. Kenyataannya, orang tua harus dibebani dengan beban biaya pendidikan yang mahal termasuk biaya untuk materimateri pembelajaran, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan lain seperti seragam sekolah dan olah raga. Selanjutnya, Yoshio Sugimoto dalam Katarina Thomasevski telah mengkonfirmasikan temuan-temuan NGO ini dengan menyatakan secara umum bahwa pendidikan di Jepang merupakan suatu bisnis yang mahal. Dia juga telah menegaskan bahwa definisi yang efektif mengenai pendidikan gratis hanya merujuk kepada wajib belajar sembilan tahun dan gratis didefinisikan secara sempit hanya untuk menghindari pemungutan uang sekolah (2006: 232). Upaya pemerintah dan bangsa Jepang dalam meningkatkan pendidikan bisa dikatakan berhasil. Pendidikan yang meluas dan membumi membuat hampir semua orang Jepang melek huruf mendekati angka 100%. Berdasarkan data statistik tahun1985, siswa Jepang yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi 94 % dan yang melanjutkan ke PT lebih kurang 38 %. Tingginya standar pendidikan Jepang tidak semata-mata muncul dengan sendirinya, tetapi ada ungkapan yang baik bagi bangsa Jepang, yaitu: ”kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan”. Membaca bagi orang Jepang merupakan kegiatan yang tak dipaksakan. Membaca tidak lepas dari kehidupan sehari-hari, di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau dengan kata lain di mana ada kehidupan di situ mereka membaca. Menurut William K. Cummings dalam (eka_@yahoo.co.id), beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga, Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan, guru Jepang bersikap adil. Kiat-kiat di atas juga dilaksanakan oleh negara lain, seperti Thailand, dalam buku Belajar dari Monyet, guru Shampon menerapkan pendidikan untuk monyet dengan biaya murah, tanpa membedabedakan peserta didik, bersikap adil, penuh dedikasi, dan pendidikan diprioritaskan pada skill (Rung Kaewdang: 2002). Disamping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide
egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Menurut Danasasmita dalam (eka_@yahoo.co.id), ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan ringannya mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain walaupun bantuan itu tidak seberapa. Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadehita (maaf, Anda telah berusaha payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria). Dari karakteristik yang disebutkan diatas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan bukanlah sekedar proses kegiatan belajar mengajar saja, melainkan sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai ”manusia” bukanlah seolah-olah manusia dijadikan ” jagung” atau ”padi” yang setiap enam bulan sekali diganti metode ”penanamannya”, Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep Pencerahan Pendidikan apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.

Pendidikan di Indonesia dan Pencerahannya
Pendidikan merupakan soko guru kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari hidup dan matinya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan ”Pendidikan adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan itu menjadi cambuk bagi kemajuan bangsa. Namun, kenyataannya hanyalah sebuah ”cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana rimbanya. Mengenang Indonesia yang dulu terkenal sebagai negara yang kaya raya tata, titi, tentrem, kerta, tur raharja sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan dikawasan ASSEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan. Bila kita bandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Vietnam sekalipun, kita masih kalah, apalagi dengan Malaisia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan ”ekspor” dosen-dosen kita mengajar di sana. Kurikulum made in Indonesia pun pernah dipekerjakan di Malaisia dekade tahu 70-an. Hasilnya, sungguh luar biasa, mereka berhasil investasi pendidikan dari bangsa serumpun itu telah\ berubah manis. Kemajuannya membuat mereka kini berkata ” Malaisia is Truly Asia”. Namun, sekarang kualitas pendidikan di Indonesia telah disalip oleh Malaisia dan Vietnam yang dulu masih berada jauh dibawah Indonesia. Ada pameo yang menyatakan bahwa Indonesia ini banyak koruptor, tetapi tidak ada koruptor ( artinya begitu licinnya para koruptor dalam menghindari jeratan hukum sehingga sulit ditangkap. Atau mungkin para penegak hukum masih ”malu-malu” menangkap koruptor. Hanya Allao swt. Yang Mahatahu. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusia-manusia dengan jalan memerangi semua bentuk pengucilan. Mengacu pada model pendidikan di Jepang bahwa pendidikan harus bersifat adil, tidak membeda-bedakan, tidak mahal, guru penuh dedikasi, kurikulum sarat, wajib belajar sembilan tahun dan pendidikan gratis, dan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pendidikan adalah baik untuk diterapkan di Indonesia. Membaca adalah kegiatan rutin. Di mana ada kehidupan di situ ada kegiatan membaca. Hafid Abbas dalam Education For All: The Purpose, Artikel III, butir satu mengatakan bahwa pendidikan dasar harus diberikan untuk semua anak-anak, pemuda, dan orang dewasa. Pada akhirnya, kualitas yang diberikan pada pendidikan dasar harus dikembangkan dan konsisiten pada aturan dan harus digunakan untuk mengurangi perbedaan. Pernyataan itu sesuai dengan prinsip keadilan dalam pendidikan dasar. Guru harus bisa bersikap adil kepada peserta didiknya tanpa membedakan atas dasar halhal yang melatar belakangi peserta didik. Pemberantasan buta huruf juga telah dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, agar program pemerintah bisa berhasil seperti di Jepang maka memerlukan proaktif dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, usaha harus dilakukan dengan melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khas mereka. Hal ini berarti para orang tua harus diikutsertakan berbicara tentang persekolahan anak-anaknya. Keluarga-keluarga miskin harus diberi bantuan sehingga mereka memandang bahwa sekolah untuk anak-anaknya bukan suatu biaya yang tidak teratasi.

Untuk menciptakan berbagai kemungkinan mengenali bakat dan keterampilan terpendam, dan untuk pengakuan sosial, sistem-sistem pengajaran hendaklah sejauh mungkin dianekaragamkan. Adapun, keluarga-keluarga dan penduduk serta lembaga-lembaga yang aktif di dalam masyarakat hendaklah dilibatkan dalam kemitraankemitraan pendidikan. Terlebih lagi, penting untuk belajar menerima keanekaragaman. Pendidikan untuk kemajemukan bukanlah diperlukan untuk berlindung terhadap kekerasan. Namun, adalah suatu prinsip aktif untuk pengayaan kehidupan budaya dan kewarganegaraan di dalam masyarakat sekarang. Antara hal-hal yang ektrem, abstrak, kesemestaan dan relativisme yang tidak membuat permintaan lebih tinggi diatas cakrawala setiap kebudayaan tertentu. Perlu ditegaskan adanya dua hal, yakni hak untuk berbeda dan penerimaan atas nilai-nilai universal (semesta) (UNESCO, 1996). Pendidikan dalam toleransi dan penghormatan kepada manusia-manusia lain, suatu prasarat untuk demokrasi hendaklah dipandang suatu usaha yang umum dan berkelanjutan. Untuk itu, yang dapat dilakukan di sekolah-sekolah adalah memberi kemudahan bagi praktik toleransin sehari-hari dengan membantu murid-murid menerima pandangan yang berbeda dari murid-maurid lain. Akan tetapi, juga diperlukan peranan sekolah untuk menjelaskan kepada kaum muda, latarbelakang sejarah, budaya atau religious dari berbagai ideologi yang bersaing untuk diperhatikan di dalam masyarakat sekitar mereka atau di sekolah. Rekomendasi-rekomendasi di atas bila dikaitkan dengan bidang Poleksosbud dalam pendidikan sebagai berikut. Bidang politik, bahwa pendidikan adalah proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila bangsa di sebuah negara adalah abngsa yang cerdas, akan berpengaruh pada pengelolaan dan tatanan pemerintahan maupun kehidupan bernegara. Pendidikan demokrasi dilaksanakan agar hasil pendidikan dapat mencerminkan sikap demokrasi dalam kehidupan. Bidang ekonomi, pendidikan yang dilaksanakan secara berkeadilan dan memfokuskan pada life skill seperti di Jepang
dan Thailand dapat menciptakan kesejahteraan bangsanya. Kesejahteraan ekonomi dan kehidupan bangsa sangat berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan suatu negara. Bidang sosial, pendidikan yang bersifat menghormati, toleransi, keadilan, serta memberdayakan berbagai golongan minoritas untuk pengendalian masa depannya adalah penting dilakukan, Hal ini, dapat membentuk manusia yang empati terhadap sesama dalam praktik kehidupan sehari hari sehingga tercipta masyarakat yang rukun dan damai. Bidang budaya, melalui pendidikan dapat menciptakan beraneka ragam budaya untuk mengembangkan budaya bangsa. Selain itu, melalui pendidikan diharapkan para generasi muda bisa menfilter masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan peradapaban dan kepribadian bangsa. Melalui pendidikan upaya melestarikan budaya bangsa lebih mengena.

SIMPULAN
Pembahasan di atas bisa disimpulkan sebagai berikut. Beberapa faktor yang mendukung berhasilnya Jepang merombak masyarakat melalui pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga,
Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.Keempat. kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit produksi. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Kesembilan, guru Jepang bersikap adil. Di samping hal-hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam Hamzah Nur, Potret Pendidikan di Jepang Sebagai Konsep Pencerahan Pendidikan berbagai hal, misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan;(2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relative setara;(3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi;(4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita ke mana akan dibawa. Yang pertama harus dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada tempatnya di antara kekuatan-kekuatan yang bekerja didalam masyarakat. Melindungi fungsinya sebagai tempat berbaurnaya manusiamanusia
dengan jalan memerangi semua bentuk pengucilan.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hafid. (2003). Community- Based Education. Jakarta: Teraju
Anonim. (2007). Potret Pendidikan di Jepang.
<<eka_kos@yahoo.co.id (Senin, 25 Juni 2007
Jacques Delor, Chairman. (1996). Belajar Harta Karun di Dalamnya. Jakarta: UNESCO.
Terjemahan dari Learning: The Treasure
Within oleh W.P. Napitupulu.
Kaewdang, Rung. (2002). Belajar dari Monyet. Jakarta: Grasindo

Tomasevski, Katarina. (2006). The State of The Right to Education Worldwide. Copenhagen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar